Sementara itu, pemeriksaan laboratorium untuk screening hepatitis dan HIV sudah dapat dilakukan di negara kita. Prosedur ini penting karena data terbaru di Indonesia menunjukkan tren kenaikan HIV, dengan kasus tertinggi ketiga adalah pada kelompok ibu rumah tangga.
Hasil penelitian tahun 2010 pada 1.091 donor ASI mendapati sekitar 3,3 persen hasil screening serologi menemukan kandungan virus sifilis, Hepatitis B, Hepatitis C, HTLV, dan HIV. Penelitian lain mengungkap temuan pertumbuhan berbagai bakteri pada sejumlah ASI yang belum dipasteurisasi.
Oleh karena itu, Dr. Ariani menegaskan bahwa setelah memastikan ASI donor bebas dari Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, dan HTLV, ASI tersebut juga harus dipasteurisasi dengan cara tertentu. Setelah itu, barulah ASI donor tersebut dinyatakan aman untuk dikonsumsi bayi.
"Jadi, memberikan donor ASI tidak semudah itu. Belum lagi jika bicara penyimpanan. Idealnya, pengiriman harus diperlakukan seperti darah, yaitu disimpan dalam kotak pendingin khusus dan petugas pengelola menggunakan alat pelindung diri," tegas Dr. Yohmi.
"Karena itu, Satgas ASI IDAI sangat berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi. ASI donor bukan sekedar dari saudara atau orang yang sudah dikenal, tapi apakah beliau bebas dari penyakit atau tidak," pungkas Dr. Ariani.
Saat ini, baru RSCM yang memiliki unit pengelolaan ASI yang cukup baik. Di negara-negara lain, unit penyimpanan dan bank ASI sudah sangat terstruktur. Bank ASI tidak hanya memastikan keamanan ASI, tetapi juga menjamin kandungan zat gizi dalam ASI tetap terjaga.
Dr. Yohmi mengakui, pembentukan bank ASI di Indonesia masih terhambat persoalan regulasi, dana untuk screening, dan fasilitas penyimpanan. Oleh sebab itu, yang dapat dilakukan saat ini adalah terus memberikan sosialisasi yang benar terkait donor ASI, terutama bagi media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H