ASI merupakan makanan alami yang terbaik bagi bayi. Namun, faktanya ada sejumlah kondisi ketika ibu tak dapat memberikan ASI. Di sinilah donor ASI hadir sebagai solusi, meski ia juga harus disertai edukasi.
Sebagai ibu yang baru melahirkan, Diana Yunita Sari merasakan manfaat dan kemudahan dari donor ASI. Ia harus melahirkan prematur di usia kehamilan 34 minggu, yang membuatnya harus langsung masuk ICU karena kondisi kesehatannya menurun.
Begitu ia mengunggah kondisinya di media sosial, tidak lama tawaran dari pendonor ASI masuk ke ponsel suaminya. Pemberi donor itu menawarkan ASI lengkap dengan informasi mengenai dirinya, dari jenis kelamin dan usia anaknya, sampai diet sang ibu.
Sebelumnya, dokter perinatologi yang merawat bayi prematur Diana sempat memberikan ASI donor. Namun, muncul reaksi bayi yang tidak diharapkan. Akhirnya, ASI donor tidak jadi diberikan.
Kondisi berbeda dialami Pradaningrum Mijarto, seorang konsultan, yang beberapa tahun lalu mendadak mendapat anugerah mengasuh bayi. Adiknya yang baru melahirkan meninggal dunia.
Ningrum, yang tidak punya pengalaman sama sekali mengurus bayi, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Perawat menganjurkan mencari donor ASI. Tanpa bekal informasi yang cukup, Ningrum merasa pasrah menerima donor ASI donor.
Meningkatnya kesadaran ibu di Indonesia dalam memberikan ASI eksklusif merupakan kemajuan positif. Ini juga bentuk keberhasilan kampanye masif dari berbagai pihak.
Di balik keberhasilan tersebut, ada permasalahan yang cukup signifikan, terutama saat kondisi tertentu terkait ibu maupun bayi yang tidak memungkinkan situasi ideal pemberian ASI eksklusif. Di sinilah donor ASI hadir. Namun, donor ASI juga membawa sejumlah persoalan tersendiri.
Menyikapi hal ini, Dr. Elizabeth Yohmi Sp.A, IBCLC, Ketua Satgas ASI IDAI, menjelaskan bahwa donor ASI memang dibutuhkan. Tetapi, fakta yang berkembang saat ini berbeda.
Era media sosial membuat komunikasi antara pendonor dan penerima ASI semakin mudah. Sering kali, pencarian donor ASI beredar di grup-grup pesan instan atau media pertemanan sosial. Ini membuat praktik donor ASI di Indonesia berjalan ke arah yang tidak terkendali.
"Para ibu saat ini sudah sangat sadar untuk memberikan ASI kepada bayinya. Sayangnya, karena mereka bisa dengan mudah mendapat tawaran donor ASI, mereka jadi tidak mau berusaha memeras atau menyusui sendiri," jelas Dr. Yohmi.
Pendapat senada disampaikan oleh Dr. Ariani Dewi Widodo, Sp.A(K), dari RSAB Harapan Kita. Menurutnya, meski saat ini donor ASI marak di masyarakat, dunia medis justru sedang berupaya menurunkan, karena hal ini kurang baik jika tidak dijaga aspek medis.
"Sekarang ini, ada banyak ibu dengan maksud yang sangat baik hendak mendonorkan ASI mereka yang berlebih. Masalahnya, tanpa menjelekkan ibu yang donor, kita juga perlu mengetahui latar belakang kesehatan para pendonor," ujar Dr. Ariani.
Dr. Yohmi menegaskan bahwa ASI terbaik tetaplah ASI ibu ke anaknya sendiri, karena tubuh ibu memproduksi ASI dengan komposisi yang menyesuaikan dengan kondisi bayi.
Jadi, kapan terjadi kondisi saat donor ASI dibutuhkan? Menurut Dr. Yohmi, indikasi donor ASI di antaranya jika bayi lahir prematur dan ibu belum siap memproduksi ASI. Atau, bayi yang memiliki sindrom kelainan penyerapan usus yang tidak dapat diberikan susu formula, atau alergi protein susu sapi yang berat.
Lebih rinci, dokter yang berpraktik di RS St. Carolus ini memaparkan keuntungan dan kerugian dari donor ASI
Misalnya, sebagai alternatif makanan bayi, ASI donor adalah yang terbaik karena paling bisa ditoleransi.
"Namun, patut diingat bahwa meski ASI adalah susu, ia sebenarnya produk darah yang dapat mentransfer berbagai penyakit. Dalam donor ASI, kasus yang paling sering ditemui adalah penularan virus CMV, Hepatitis B dan C, dan HTLV, virus pemicu leukemia dan limfoma," tandas Dr. Yohmi
"Dalam ASI bisa terkandung zat-zat atau penyakit-penyakit dari ibu yang mengeluarkan ASI tersebut. Jika sang ibu ternyata mengidap Hepatitis B atau penyakit menular lain, maka dapat menular melalui ASI jika tidak dilakukan screening sebelumnya," tegas Dr. Ariani.
Tak pelak screening, atau pemeriksaan kesehatan menjadi kunci penting dalam persoalan donor ASI.
Badan Pencegahan dan Penularan Penyakit Amerika Serikat, misalnya, tidak merekomendasikan ASI donor tanpa didahului oleh screening atau penapisan. Prosedur tersebut tak hanya dilakukan pada ASI, tetapi juga pada ibu yang memproduksi ASI.
Screening dapat berupa pemeriksaan secara lisan (wawancara) atau tertulis, dilanjutkan screening laboratorium. Pertanyaan umumnya meliputi apakah sang ibu pernah menerima transfusi dalam 12 bulan terakhir, mengonsumsi alkohol, sedang minum obat hormonal, atau menjalani diet vegetarian yang akan berdampak pada kualitas ASI.
Sementara itu, pemeriksaan laboratorium untuk screening hepatitis dan HIV sudah dapat dilakukan di negara kita. Prosedur ini penting karena data terbaru di Indonesia menunjukkan tren kenaikan HIV, dengan kasus tertinggi ketiga adalah pada kelompok ibu rumah tangga.
Hasil penelitian tahun 2010 pada 1.091 donor ASI mendapati sekitar 3,3 persen hasil screening serologi menemukan kandungan virus sifilis, Hepatitis B, Hepatitis C, HTLV, dan HIV. Penelitian lain mengungkap temuan pertumbuhan berbagai bakteri pada sejumlah ASI yang belum dipasteurisasi.
Oleh karena itu, Dr. Ariani menegaskan bahwa setelah memastikan ASI donor bebas dari Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, dan HTLV, ASI tersebut juga harus dipasteurisasi dengan cara tertentu. Setelah itu, barulah ASI donor tersebut dinyatakan aman untuk dikonsumsi bayi.
"Jadi, memberikan donor ASI tidak semudah itu. Belum lagi jika bicara penyimpanan. Idealnya, pengiriman harus diperlakukan seperti darah, yaitu disimpan dalam kotak pendingin khusus dan petugas pengelola menggunakan alat pelindung diri," tegas Dr. Yohmi.
"Karena itu, Satgas ASI IDAI sangat berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi. ASI donor bukan sekedar dari saudara atau orang yang sudah dikenal, tapi apakah beliau bebas dari penyakit atau tidak," pungkas Dr. Ariani.
Saat ini, baru RSCM yang memiliki unit pengelolaan ASI yang cukup baik. Di negara-negara lain, unit penyimpanan dan bank ASI sudah sangat terstruktur. Bank ASI tidak hanya memastikan keamanan ASI, tetapi juga menjamin kandungan zat gizi dalam ASI tetap terjaga.
Dr. Yohmi mengakui, pembentukan bank ASI di Indonesia masih terhambat persoalan regulasi, dana untuk screening, dan fasilitas penyimpanan. Oleh sebab itu, yang dapat dilakukan saat ini adalah terus memberikan sosialisasi yang benar terkait donor ASI, terutama bagi media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H