Sementara itu, Jerman mengimpor sekitar 58 bcm gas dari Rusia setara dengan 58% dari konsumsi Nasional, dan belum menemukan pasokan pengganti jangka panjang yang cukup dari negara lain.
Ditengah krisis Energi yang diakibatkan oleh dihentikannya pasokan gas dari Rusia, terjadilah aksi peledakan jalur pipa gas Nord Stream-1 (jalur lama) dan Nord Stream 2 (jalur baru) yang  memupus harapan untuk memulihkan pasokan gas dari Rusia melalui jalur tersebut.
Aksi yang disebut sebagai sabotase atau ulah terorisme negara karena untuk melakukan peledakan pipa tersebut butuh teknologi, peralatan dan skill seorang professional mengingat pipa tersebut terbuat dari baja tahan karat khusus dengan ketebalan 4cm ditambah dengan lapisan luar berupa beton setebal 10cm.
Posisi pipa juga berada 70m dibawah air. Aksi seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh kelompok teroris biasa atau amatir karena perlu persenjataan berat atau alat peledak dengan hulu ledak 80-120kg untuk dapat merusakkan pipa tersebut.
Selain itu titik kebocoran berjarak 50km satu sama lain, terlalu jauh untuk satu bencana alam atau kerusakan yang tidak disengaja. Dan semua titik kebocoran berada di laut internasional sekitar 2-3Km dari perairan Denmark.
Berdasarkan fakta tersebut menurut Professor Michael Clarke seorang analis pertahanan dari King's College London menyatakan bahwa kejadian ini mengarah pada sabotase.
Terkait kejadian ini kedua belah pihak, yaitu Rusia dan NATO (Uni Eropa dan Amerika Serikat) saling tuding sebagai dalang dari peristiwa ini.
NATO menduga kuat kebocoran itu akibat sabotase. NATO juga mengancam bakal menindak pihak yang diduga melakukan sabotase hingga memicu kebocoran pipa gas Nord Stream.
"Setiap serangan yang disengaja terhadap infrastruktur penting Sekutu akan ditanggapi dengan tanggapan bersama dan tegas," bunyi pernyataan NATO yang dikutip Reuters, Kamis (29/9).
Melalui pernyataan resmi, NATO menegaskan bahwa jalur pipa gas yang menghubungkan Rusia dan Eropa itu melewati negara anggota mereka, termasuk Denmark.