Kisah yang dramatis ini dialami oleh salah satu keluarga yang tinggal di kompleks perumahan yang sama tapi beda blok dengan saya.Â
Saya cukup mengenal keluarga ini karena sering ngobrol mengenai berbagai hal, sebut saja keluarga ini dengan sebutan "keluarga cemara".
Ceritanya keluarga cemara ini saat awal menikah membeli rumah di sebuah blok yang baru dikembangkan dan pada saat itu di samping kiri-kanan dan depan rumah mereka adalah kavling kosong.
Keadaan itu tidak banyak berubah sampai sekitar 5-6 tahun mereka tinggal di sana, hanya ada satu tambahan sebelah kiri mereka sudah dibangun rumah baru selebihnya masih lahan kosong.
Setelah itu keluarga ini pindah ke Jerman karena melanjutkan pendidikan selama kurang lebih 6 tahun, dan selama itu rumah mereka sempat kosong dan ditempati kerabat selama 1-2 tahun.
Setelah mereka kembali dari Jerman dan melihat kondisi rumah mereka, kondisi telah berubah banyak, di samping kanan mereka sudah berdiri 2 rumah diatas satu kavling, dan didepan 2 rumah tersebut juga ada 2 rumah pada satu kavling.
Keempat rumah tersebut ditempati empat bersaudara, dan kavling tersebut milik bapak mereka.Â
Saya kenal dengan bapak ini, pensiunan pegawai BUMN yang kemudian dari pesangonnya membeli kavling-kavling yang masih kosong di beberapa blok kemudian dibangun rumah dan dijual.
Bapak ini orangnya baik, sering jalan-jalan di blok-blok lain sambil melihat-lihat rumah-rumah yang ada termasuk rumah atau lahannya sendiri yang tersebar di beberapa blok.
Bibit-bibit konflik mulai tercium sejak keluarga cemara ini mulai merenovasi atau lebih tepatnya membangun kembali rumah mereka yang sudah rusak setelah 6 tahun tidak ditempati dan bangunan lama juga terlalu kecil untuk kondisi mereka saat ini.