Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ribut dengan Tetangga yang Agresif, Bagaimana Menyikapinya?

3 April 2022   20:59 Diperbarui: 4 April 2022   12:13 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi mereka yang  mengalami tinggal di sebuah kompleks perumahan baru biasanya merasakan suasana yang sangat nyaman. 

Salah satu faktor penyebabnya karena biasanya di kompleks perumahan yang baru penghuninya masih sedikit dan kebanyakan adalah keluarga baru atau masih lajang.

Saya juga mengalami saat awal awal menikah dan mulai tinggal di perumahan baru, hampir semua tetangga di blok atau cluster yang sama saling mengenal dengan baik. 

Kebetulan saat itu yang tinggal di blok yang saya tempati hanya sepertiga dari kapasitas yang seharusnya.

Dengan sebagian besar penghuni adalah keluarga muda, kita lebih mudah saling memahami, berbagi dan melakukan kegiatan secara bersamaan. Dan berbagai kegiatan bersama tersebut membuat kita semakin akrab dan kompak.

Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa tetangga mulai pindah rumah entah karena tempat kerja yang berpindah atau karena ingin tinggal dekat dengan sekolah anak-anak dan berbagai alasan lainnya.

Mereka yang pindah ada yang yang rumahnya dijual atau dikontrakkan sehingga penghuninya adalah warga baru yang belum kita kenal sebelumnya. 

Selain itu juga banyak warga baru yang mulai membangun atau menempati rumah baru karena memang masih banyak lahan yang kosong.

Saya termasuk yang pindah dari rumah yang dari awal saya tempati setelah sekitar 8 tahun tinggal di situ. 

Kebetulan pengembang membuka blok baru dan saya bisa memilih lokasi yang "ideal" di pojok menghadap taman sehingga tidak ada tetangga di depan dan di samping kanan saya.

Kisah yang dramatis ini dialami oleh salah satu keluarga yang tinggal di kompleks perumahan yang sama tapi beda blok dengan saya. 

Saya cukup mengenal keluarga ini karena sering ngobrol mengenai berbagai hal, sebut saja keluarga ini dengan sebutan "keluarga cemara".

Ceritanya keluarga cemara ini saat awal menikah membeli rumah di sebuah blok yang baru dikembangkan dan pada saat itu di samping kiri-kanan dan depan rumah mereka adalah kavling kosong.

Keadaan itu tidak banyak berubah sampai sekitar 5-6 tahun mereka tinggal di sana, hanya ada satu tambahan sebelah kiri mereka sudah dibangun rumah baru selebihnya masih lahan kosong.

Setelah itu keluarga ini pindah ke Jerman karena melanjutkan pendidikan selama kurang lebih 6 tahun, dan selama itu rumah mereka sempat kosong dan ditempati kerabat selama 1-2 tahun.

Setelah mereka kembali dari Jerman dan melihat kondisi rumah mereka, kondisi telah berubah banyak, di samping kanan mereka sudah berdiri 2 rumah diatas satu kavling, dan didepan 2 rumah tersebut juga ada 2 rumah pada satu kavling.

Keempat rumah tersebut ditempati empat bersaudara, dan kavling tersebut milik bapak mereka. 

Saya kenal dengan bapak ini, pensiunan pegawai BUMN yang kemudian dari pesangonnya membeli kavling-kavling yang masih kosong di beberapa blok kemudian dibangun rumah dan dijual.

Bapak ini orangnya baik, sering jalan-jalan di blok-blok lain sambil melihat-lihat rumah-rumah yang ada termasuk rumah atau lahannya sendiri yang tersebar di beberapa blok.

Ilustrasi dampak suara ultrasonik frekuensi tinggi bagi kesehatan manusia | Sumber: cnnindonesia.com
Ilustrasi dampak suara ultrasonik frekuensi tinggi bagi kesehatan manusia | Sumber: cnnindonesia.com

Bibit-bibit konflik mulai tercium sejak keluarga cemara ini mulai merenovasi atau lebih tepatnya membangun kembali rumah mereka yang sudah rusak setelah 6 tahun tidak ditempati dan bangunan lama juga terlalu kecil untuk kondisi mereka saat ini.

Rupanya selama mereka diluar negeri, rumah tersebut digunakan oleh tetangga baru mereka sebagai tempat bermain anak-anak mereka, tempat jemur baju, parkir kendaraan karena mereka merasa ini rumah kosong.

Ya memang selama ditinggalkan rumah ini sempat kosong beberapa tahun dan pada saat itulah keempat keluarga yang masih bersaudara ini membangun rumah mereka, empat rumah di atas 2 kavling.

Perlu diketahui rumah-rumah di kompleks perumahan ini sistimnya adalah cluster tertutup dengan konsep rumah taman sehingga tidak diperbolehkan membangun pagar rumah oleh manajemen estate, belakangan ini aturan ini banyak yang melanggar dan sekarang banyak rumah yang berpagar tinggi dan tertutup.

Demikian juga dengan keempat rumah baru yang dibangun di atas 2 kavling ini tentu saja juga melanggar konsep rumah taman dari manajemen estate.

Pertama mereka membangun rumah tidak sesuai dengan "design" awal dari pengembang baik dari sisi konsep rumah taman maupun model rumah karena tiap cluster punya design unik sesuai dengan tema yang diusung setiap cluster.

Jadi mereka membangun rumah sesuka-suka mereka seperti bukan di perumahan, satu kavling untuk dua rumah, semua tanah dipenuhi oleh bangunan, teras langsung menghadap jalan dan berpagar, tidak ada estetikanya sama sekali.

Namun rupanya bukan hanya model atau gaya rumah saja yang suka-suka, ternyata kebiasaan mereka juga sesuka-suka mereka, tanpa permisi mereka menggunakan halaman rumah orang lain untuk parkir kendaraan dan nongkrong bahkan ketika pemilik rumah yang sah sudah menempati rumah tersebut.

Dari sinilah bibit konflik mulai muncul. Rumah keluarga cemara yang telah direnovasi dan ditempati tetap mempertahankan konsep rumah taman yang tanpa pagar dan menyisakan halaman depan rumah yang cukup luas.

Rupanya halaman luas yang baru dipercantik setelah renovasi dianggap sebagai fasilitas yang bisa dipakai bersama oleh tetangga yang suka-suka ini. 

Mereka memarkir kendaraan, menjadikannya tempat bermain anak-anak mereka dengan tanpa permisi seolah memang demikian seharusnya.

Tentu saja kelakuan tetangga yang suka-suka ini diingatkan oleh keluarga cemara karena itu rumah mereka dan semestinya orang lain tidak menggunakan halaman rumah mereka dengan seenaknya.

Ketika diingatkan bukannya menyadari kesalahannya, tetangga keluarga cemara ini justru bersikap agresif, marah-marah dan tidak terima. 

Mereka bilang dari dulu mereka berbuat demikian tidak ada masalah -tentu saja pada saat keluarga cemara tidak menempati rumah ini. 

Mereka juga menuduh keluarga cemara ini tidak mau berbagi dengan tetangga, sombong dan berbagai tudingan negatif lannya.

Karena sudah diingatkan para tetangga yang suka-suka ini malah nge-gas dan tidak mau tahu, akhirnya keluarga cemara ini memutuskan untuk memasang pagar di depan rumah mereka seperti para tetangga yang lain meskipun hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan konsep rumah taman.

Dari sinilah perang antar tetangga yang sadis ini dimulai. Memasang pagar diartikan oleh keempat tetangga mereka bahwa keluarga cemara ini memang anti-sosial, tidak mau berbaur, egois, tidak mau berbagi dan beberapa tuduhan negatif lainnya.

Apalagi setelah itu keluarga cemara ini memelihara anjing, karena anak mereka memang penyuka binatang dan suka memelihara anjing.

Keempat tetangga yang dari awal memang berusaha mencari cara untuk "menyerang" keluarga cemara menggunakan hal ini untuk membenarkan prasangka mereka yang negatif terhadap keluarga cemara.

Akibatnya adalah keempat tetangga bersaudara ini semakin agresif "menyerang" keluarga cemara bahkan dengan cara-cara yang sadis ala preman jalanan.

Pertama kamera CCTV digital di depan rumah tiba-tiba bisa berputar sendiri bahkan mati sendiri yang mengindikasikan ada pihak lain yang mengendalikannya. Juga mereka tidak pernah mendaftarkan layanan penyimpanan melalui Cloud tiba-tiba ada yang minta verifikasi.

Kemudian nomor handphone mereka seperti sedang diawasi, ketika ada yang menelpon seperti ada suara anak kecil/bayi padahal keluarga cemara tidak punya balita dan yang ditelfon sedang sendirian di dalam mobil.

Perbuatan yang sudah mengarah ke ranah privat di atas sebenarnya jelas melanggar hukum dan bila diselidiki dengan serius bisa diungkap melalui jejak digital di era kemajuan teknologi digital saat ini. 

Meskipun demikian, keluarga cemara tidak mau melangkah lebih jauh dengan pertimbangan masalah akan semakin besar.

Dan tidak sampai disini saja, keluarga cemara juga di teror dengan suara ultrasonik frekuensi tinggi yang diarahkan ke rumah mereka di waktu-waktu tertentu terutama di malam hari.

Teror ini ditujukan untuk mengganggu kenyamanan keluarga cemara, karena frekuensi tinggi sejenis yang dipakai untuk pengusir tikus akan menyebabkan gangguan saraf.

Ini jelas teror ala premanisme yang sudah tidak punya nurani dan tidak punya etika. Kejadian ini sudah dilaporkan oleh keluarga cemara ke WAG grup RT setempat. Namun tidak ada yang merespon.

Rupanya keempat tetangga ini telah mempengaruhi sang ketua RT sehingga tidak mampu berbuat apa-apa, karena saudara mereka di blok lain merupakan ketua RW di lingkungan ini.

Jadi selain keempat keluarga ini, masih ada beberapa saudara mereka yang tinggal di blok lain, mereka merupakan keluarga besar. 

Oleh karena itu mereka dengan seenaknya berbuat sesuka-suka mereka karena jumlah mereka banyak dan merasa lebih kuat, terlepas benar atau salah.

Sebenarnya konflik antar tetangga seperti ini sering terjadi baik di kompleks perumahan maupun di perkampungan, namanya juga hidup bermasyarakat pasti tidak lepas dari gesekan.  Namun jarang sekali seperti yang dialami oleh keluarga cemara yang diteror secara sadis dengan berbagai cara.

Belajar dari kisah seram yang dialami keluarga cemara ini. Terkadang memang ada tetangga yang menghalalkan segala cara termasuk cara-cara premanisme untuk memaksa orang lain menuruti kemauan mereka, meskipun kemauan mereka melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan hukum.

Banyak orang tidak mau menghargai milik orang lain dan merasa berhak untuk menikmati fasilitas milik orang lain dengan berbagai alasan. 

Orang semacam ini merasa dirinya selalu benar, merasa dirinya adalah korban yang harus dikasihani tanpa pernah berpikir orang lain juga harus bekerja banting tulang untuk mendapatkan apa yang mereka miliki saat ini.

Inilah mindset premanisme, mindset korban, sehingga kalau hidup mereka susah maka hidup orang lain juga harus susah. Sangat sulit menyadarkan orang yang sudah terlanjur memiliki mindset seperti ini.

Salah satu solusinya adalah melalui seorang "negosiator" yang betul-betul netral dan obyektif dan yang dipercaya oleh kedua belah pihak yang berkonflik.

Negosiator ini mungkin dapat ditemukan pada tokoh di lingkungan tersebut yang terbukti bijaksana, berpikiran terbuka dan obyektif. 

Mereka mungkin seorang anggota TNI/Polri atau purnawirawan, tokoh masyarakat yang mau direpotkan untuk menyelesaikan konflik semacam ini.

Negosiator ini yang akan memberikan pencerahan bahwa kita hidup bersama di masyarakat dimana setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Ada fasilitas atau barang yang memang dimiliki pribadi dan ada yang diperuntukan untuk umum, jadi tidak bisa disamaratakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun