Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Solar, Krisis Migor, Krisis Batubara di Tahun Ini: Indikasi bahwa Para Menteri Tidak Mampu Bekerja, Salah Antisipasi atau Memang Lagi Apes Saja?

30 Maret 2022   18:28 Diperbarui: 30 Maret 2022   20:56 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis solar terjadi karena kuota solar bersubsidi terbatas sementara pemakaian solar ini meningkat cukup tajam seiring dengan pulihnya ekonomi paska redanya kasus pandemi covid-19.

Sebenarnya subsidi untuk bahan bakar solar ini juga berpotensi terjadi penyimpangan baik selama proses pengalokasian dan pendistribusian sampai dengan pembeli akhir. Sebagai contoh ada pihak yang seharusnya tidak berhak mengkonsumsi solar bersubsidi tapi tetap menggunakannya.

Bagi pemerintah pilihannya ada dua, yaitu menaikkan kuota solar bersubsidi atau mencabut subsidi solar sama sekali. Masing-masing pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang serius bagi kestabilan ekonomi dan sosial masyarakat.

Bila pilihan pertama diambil, kuota subsidi solar dinaikkan, konsekuensinya adalah anggaran pemerintah untuk mensubsidi solar akan naik sehingga membebani keuangan negara.

Selain itu berapa pun kuota solar subsidi ditambah tidak akan cukup apabila penindakan terhadap penyelewengan solar bersubsidi di lapangan masih lemah.

Penyebab penyelewengan di lapangan karena selisih harga yang jauh antara solar bersubsidi dan nonsubsidi. Solar bersubsidi dijual ke masyarakat dengan harga Rp5.500 per liter, sedangkan solar nonsubsidi yang paling murah dijual senilai Rp13.300.

Selisih harga itu membuat pengguna solar nonsubsidi beralih menggunakan solar bersubsidi. Sebagai contoh banyak truk tambang dan perkebunan ikut mengantre di SPBU untuk mendapatkan solar bersubsidi.

Padahal, truk tambang dan perkebunan seharusnya tidak termasuk dalam kategori penerima solar bersubsidi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Bila pilihan kedua yang diambil, subsidi solar dihapus maka harga solar biasa akan naik lebih dari dua kali lipat, dari Rp5.500 per liter menjadi Rp13.300 per liter.

Kenaikan harga solar lebih dari dua kali lipat ini menyebabkan inflasi tinggi dan kenaikan harga-harga barang yang tidak terkendali, bahkan berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat luas karena mereka yang tidak puas akan protes atau demo besar-besaran.

Pilihan kedua ini resikonya sangat besar dan bahkan berpotensi menyebabkan kerugian yang lebih besar bila kondisi sosial ekonomi dan keamanan masyarakat terganggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun