Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Solar, Krisis Migor, Krisis Batubara di Tahun Ini: Indikasi bahwa Para Menteri Tidak Mampu Bekerja, Salah Antisipasi atau Memang Lagi Apes Saja?

30 Maret 2022   18:28 Diperbarui: 30 Maret 2022   20:56 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kendaraan antri isi solar, Sumber: kompas TV

Sejak awal tahun ini setidaknya sudah ada tiga krisis atau kelangkaan barang yang berdampak secara Nasional.

Yang pertama adalah krisis pasokan batubara untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berbuntut dengan dicopotnya Rudy Hendra Prastowo dari posisi Direktur Energi Primer PT PLN oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Yang kedua adalah krisis minyak goreng yang sampai hari ini masih belum ada solusi yang memuaskan masyarakat. Termasuk janji Mendag untuk mengungkap mafia migor yang tidak ada kelanjutannya lagi, bahkan keberadaan mafia migor yang antara ada dan tiada sampai saat ini masih menjadi polemik.

Yang ketiga dan mudah-mudahan menjadi yang terakhir adalah krisis solar yang belakangan ini terjadi dimana-mana diseluruh wilayah negara kita.

Berbeda dengan Krisis Batubara dan Krisis Migor, Krisis Solar memang disebabkan karena jumlah produksi di dalam negeri yang terbatas. Sebaliknya produksi Batubara dan CPO serta turunannya di dalam negeri jauh di atas kebutuhan nasional dan sebagian besar justru diekspor.

Pada kasus kelangkaan batubara dan minyak goreng, keduanya disebabkan karena para produsen dalam negeri memilih mengekspor produknya keluar negeri karena harganya lebih mahal sehingga mereka mendapat keuntungan yang lebih besar.

Pada kasus kelangkaan solar, produksi dalam negeri memang tidak mencukupi kebutuhan Nasional bahkan sebagian besar harus impor untuk menutupi kebutuhan solar di dalam negeri.

Jadi semestinya kasus kelangkaan batubara dan minyak goreng tidak akan terjadi jika para produsen mematuhi aturan pemerintah mengenai DMO (Domestic Market Obligation) yang mewajibkan sebagian produk mereka wajib dijual untuk kebutuhan domestik atau dalam negeri.

Namun kenyataannya krisis Batubara dan Krisis minyak goreng tetap terjadi. Ini mengindikasikan bahwa penegakan aturan DMO belum efektif karena belum dibangun sistim pengawasan dan monitoring terpadu yang transparan dan bisa diakses banyak pihak.

Pada prinsipnya para pengusaha akan berusaha mendapatkan untung sebanyak-banyaknya, jadi kalau dijual ke luar negeri lebih untung mereka kan menjual sebanyak-banyaknya keluar negeri.

Prinsip ekonomi ini tidak salah, namun negara atau pemerintah juga harus mengatur dan menjamin kepentingan semua pihak bisa terakomodasi dan tidak merugikan salah satu pihak atau mengancam kepentingan nasional.

Dalam hal krisis batubara kepentingan nasional, untuk menjamin kesinambungan pasokan listrik bagi seluruh masyarakat harus didahulukan. Dalam hal krisis minyak goreng kepentingan rakyat yang membutuhkan minyak goreng murah harus diperhatikan jangan sampai hanya kepentingan sekelompok pengusaha yang ingin untung sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu negara perlu mengatur keseimbangan antara kepentingan pihak-pihak yang berkaitan melalui aturan DMO (Domestic Market Obligation).

Jadi tujuan dari DMO adalah untuk menyeimbangkan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan nasional dengan kepentingan para pengusaha untuk meraup "cuan".

Namun demikian pada prakteknya aturan seperti DMO juga rawan "dimainkan" atau diakali sehingga hanya sebatas formalitas padahal substansinya tidak dijalankan.

Untuk menghindari hal-hal seperti ini maka perlu dibangun sebuah sistim pengawasan dan monitoring yang transparan dalam menerapkan aturan DMO ini. Sistim ini juga harus bisa diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti YLKI, komunitas atau wakil masyarakat sehingga dapat mencegah penyimpangan atau manipulasi dari salah satu pihak.

Tanpa adanya sistim pengawasan dan monitoring yang baik, DMO ini hanya sebatas aturan di atas kertas yang tidak punya dampak apa-apa. Selain itu bagi yang melanggar aturan juga harus diberikan sangsi yang tegas dan jelas agar mereka tidak main-main.

Meskipun aturan DMO ini dapat dijalankan dengan tegas dan transparan, namun stok barang dipasaran masih berpotensi untuk "dimainkan" oleh para distributor besar sebagai penghubung antara produsen atu pabrik dengan para penjual eceran atau konsumen.

Jadi aturan DMO harus dibarengi dengan sangsi yang tegas bagi para mereka menimbun atau menahan stok. Dengan demikian jalur distribusi barang dari produsen ke konsumen akhir tidak terhambat yang dapat menimbulkan kelangkaan.

Dalam hal kelangkaan batubara dan minyak goreng semestinya tidak akan menjadi masalah yang besar bila aturan DMO beserta dengan segala konsekuensinya atau sangsinya dijalankan dengan tegas dan transparan oleh pemerintah.

Untuk Krisis Solar tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan DMO karena memang produksi dalam negeri sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Krisis solar terjadi karena kuota solar bersubsidi terbatas sementara pemakaian solar ini meningkat cukup tajam seiring dengan pulihnya ekonomi paska redanya kasus pandemi covid-19.

Sebenarnya subsidi untuk bahan bakar solar ini juga berpotensi terjadi penyimpangan baik selama proses pengalokasian dan pendistribusian sampai dengan pembeli akhir. Sebagai contoh ada pihak yang seharusnya tidak berhak mengkonsumsi solar bersubsidi tapi tetap menggunakannya.

Bagi pemerintah pilihannya ada dua, yaitu menaikkan kuota solar bersubsidi atau mencabut subsidi solar sama sekali. Masing-masing pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang serius bagi kestabilan ekonomi dan sosial masyarakat.

Bila pilihan pertama diambil, kuota subsidi solar dinaikkan, konsekuensinya adalah anggaran pemerintah untuk mensubsidi solar akan naik sehingga membebani keuangan negara.

Selain itu berapa pun kuota solar subsidi ditambah tidak akan cukup apabila penindakan terhadap penyelewengan solar bersubsidi di lapangan masih lemah.

Penyebab penyelewengan di lapangan karena selisih harga yang jauh antara solar bersubsidi dan nonsubsidi. Solar bersubsidi dijual ke masyarakat dengan harga Rp5.500 per liter, sedangkan solar nonsubsidi yang paling murah dijual senilai Rp13.300.

Selisih harga itu membuat pengguna solar nonsubsidi beralih menggunakan solar bersubsidi. Sebagai contoh banyak truk tambang dan perkebunan ikut mengantre di SPBU untuk mendapatkan solar bersubsidi.

Padahal, truk tambang dan perkebunan seharusnya tidak termasuk dalam kategori penerima solar bersubsidi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Bila pilihan kedua yang diambil, subsidi solar dihapus maka harga solar biasa akan naik lebih dari dua kali lipat, dari Rp5.500 per liter menjadi Rp13.300 per liter.

Kenaikan harga solar lebih dari dua kali lipat ini menyebabkan inflasi tinggi dan kenaikan harga-harga barang yang tidak terkendali, bahkan berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat luas karena mereka yang tidak puas akan protes atau demo besar-besaran.

Pilihan kedua ini resikonya sangat besar dan bahkan berpotensi menyebabkan kerugian yang lebih besar bila kondisi sosial ekonomi dan keamanan masyarakat terganggu.

Pilihan mana yang akan dilakukan oleh pemerintah?

Dengan mempertimbangkan resiko di atas, tampaknya pilihan pertama yang akan diambil oleh pemerintah. Pemerintah melalui Pertamina juga telah mengusulkan agar BPH Migas menambah kuota solar bersubsidi menjadi 17 juta kiloliter dari semula 15,1 juta kiloliter per tahun.

Bila mengacu pada besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk setiap liter solar subsidi yang dibeli oleh masyarakat yaitu sebesar Rp 7.800 per liter, maka anggaran untuk subsidi solar akan membengkak sebesar 132,6 triliun rupiah.

Paralel pemerintah juga berusaha menekan penyelewengan atau penyalahgunaan solar bersubsidi di lapangan.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, "Kami juga akan mengendalikannya bersama BPH Migas, melibatkan aparat penegakan hukum untuk memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran"

Pertamina juga mendesak agar pemerintah menerbitkan aturan turunan dari Perpres 191/2014, yang mengatur secara lebih rinci siapa saja yang berhak mendapatkan solar bersubsidi.

Sejauh ini Perpres tersebut hanya mengatur kendaraan yang berhak dapat subsidi adalah maksimal roda 6 dan pembatasan pembelian solar subsidi maksimum 30 liter untuk kendaraan pribadi, 60 liter untuk truk. Tetapi tidak ada atau tidak disebutkan sanksinya bagi yang melanggar.

Penindakan bagi yang melanggar aturan ini sangat penting untuk memberikan efek jera dan memberikan kepastian hukum bagi yang lain. Oleh karena itu Perpres ini perlu dijabarkan lebih detil lagi sebagai dasar bagi penegakan hukum di lapangan.

Ketiadaan sangsi dalam Perpres inilah yang menyebabkan masih banyak pelanggaran seperti truk perkebunan dan pertambangan yang ternyata menggunakan solar bersubsidi. Selain itu masih banyak pihak yang melakukan tindakan-tindakan seperti penimbunan.

Tanpa pengawasan dan penindakan yang tegas, seberapa banyak pun kuota solar bersubsidi ditambah, tidak akan pernah mencukupi.

Jadi krisis yang terjadi bertubi-tubi sejak awal tahun 2022 ini tentu bukan karena faktor eksternal yang diluar kendali semata. Para menteri yang menentukan kebijakan di negara ini tidak boleh kalah melawan pihak-pihak yang berusaha meraup untung dengan mengakali aturan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun