Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Demo (Salah Sasaran) Menolak Zero-ODOL, Aturan Rumit Versus Mimpi Biaya Logistik Rendah

25 Februari 2022   20:25 Diperbarui: 26 Februari 2022   01:27 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi truk ODOL, Sumber: kompas.com

Ratusan sopir truk dari seluruh Jawa Timur, pada hari Selasa (22/02/2022) melakukan aksi demo di depan kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim Jalan Frontage Ahmad Yani Surabaya, untuk menuntut Dishub Jatim agar mengkaji ulang kebijakan Over Dimension Over Loading (ODOL).

Ratusan truk tersebut masuk ke kota Surabaya melalui Bundaran Waru yang merupakan akses utama ke kota Surabaya lanjut ke jalan Ahmad Yani dan menutup hampir seluruh badan jalan. Akibatnya kendaraan lain yang akan masuk ke kota Surabaya terjebak kemacetan berjam-jam sebelum truk-truk tersebut diatur oleh petugas.

Demo yang terjadi di Surabaya ini merupakan demo gabungan dari kota-kota di seluruh Jawa Timur, seperti dari Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, Lamongan, Tuban, Trenggalek, Mojokerto, Jombang dan lain-lain.

Selain di Jatim, ratusan sopir truk di Jawa Tengah juga menggelar aksi yang sama. Diketahui, demo sopir truk ini menggelar aksi di kawasan Pantura Jawa Tengah. Di antaranya seperti di Kudus, Batang, Boyolali, Kabupaten Semarang, Banjarnegara dan Purbalingga.

Dalam unjuk rasa tersebut, para sopir truk menyampaikan keluhannya terkait kebijakan Zero ODOL yang dinilai menyusahkan sopir truk.

Dalam tuntutannya, perwakilan komunitas sopir truk menyampaikan keluhannya terkait peraturan soal kelebihan dimensi dan muatan (ODOL) yang diterapkan kepada pelaku jasa angkutan. Disebutkan, para sopir truk itu akan menyampaikan tiga tuntutan.

  • pertama mereka mengharapkan pemerintah pusat melakukan revisi UU No 22 tahun 2009 terkait kualitas angkutan jalan
  • kedua mereka menginginkan adanya penyesuaian tarif dari pengusaha
  • ketiga mereka menginginkan keselamatan dalam artian luas

Sebenarnya ketiga tuntutan di atas bias dan tidak ada kaitannya dengan para sopir, tuntutan kedua masih ada sedikit kaitannya dengan mereka tapi salah alamat.

Pertama, UU No 22 tahun 2009 mengatur mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan yang harus dipatuhi oleh para pengguna jalan untuk keselamatan bersama.

Bila ada kendaraan yang ukurannya melebihi standar yang ditetapkan (over dimension) atau kelebihan muatan (overloading) selain membahayakan diri sendiri juga membahayakan orang lain. Jadi seharusnya aturan ini mutlak diikuti dengan segala konsekuensinya.

Standar yang ditentukan dalam aturan ini mengacu pada standar internasional untuk menjamin keselamatan di jalan raya dan sudah dikaji oleh para ahli dibidangnya. Jadi bukan aturan yang mengada-ada atau "pesanan" pihak tertentu.

Kedua, tarif angkut barang biasanya merupakan kesepakatan antara pemilik barang dengan perusahaan angkutan barang dengan memperhitungkan semua variable termasuk gaji sopir.

Gaji sopir adalah hasil kesepakatan antara sopir dengan perusahaan angkutan barang. Sistimnya borongan per rit dan ongkos yang disepakati biasanya termasuk biaya bahan bakar, tol dan gaji sopir dan biaya tidak terduga seperti biaya parkir, tilang atau mel-melan yang lain.

Bila mereka tidak puas dengan gaji mereka saat ini semestinya mereka unjuk rasa ke pemberi kerja dan bila sudah mentok bisa ke Disnaker, bukan ke Dishub seperti saat ini.

Ketiga, mereka menginginkan keselamatan dalam artian luas padahal dengan kondisi overloading dan over dimension saat ini justru membahayakan keselamatan mereka. Ini sangat ironis, mereka menginginkan keselamatan tapi menolak aturan yang dapat menjamin keselamatan mereka.

Selain ketiga alasan yang kurang relevan, semestinya yang melakukan unjuk rasa ini bukan para sopir tapi pemilik barang karena mereka yang paling dirugikan dengan aturan ini.

Sebagai contoh, bila sebelumnya kita sebagai pemilik barang bisa mengirim barang sebanyak 40ton sekali jalan, bila aturan Zero ODOL ini dijalankan dengan ketat kita hanya bisa mengirim barang 20ton sekali jalan. Ongkos kirim akan naik dua kali lipat.

Jadi yang paling dirugikan adalah pemilik barang karena tarif angkut barang ini didasarkan pada jumlah rit bukan pada volume atau berat barang meskipun terkadang ada perkecualian namun ini sangat jarang.

Kalau demikian mengapa para sopir melakukan unjuk rasa menentang pemberlakuan aturan Zero ODOL ini ?

Karena mereka yang terimbas langsung di lapangan dan berhadapan dengan oknum yang "mencari-cari" kesalahan berdasarkan aturan yang kurang tegas implementasinya di lapangan.

Sejak adanya razia penerapan over dimension over loading (ODOL) sopir yang kena langsung akibatnya, mereka yang di-tilang padahal yang menentukan muatan bukan mereka, begitu juga mengenai dimensi kendaraan yang mengubah di luar standar juga bukan mereka.

Bila sopir di-tilang dalam sebuah razia besar dan terpadu antara Dishub dengan anggota kepolisian, biasanya mereka bisa minta pemilik truk atau pemilik barang yang membayarnya atau mereka bayar dulu kemudian diganti. Jadi ini tidak terlalu masalah bagi para sopir.

Namun bila jumlah muatan sudah jauh melebihi yang diijinkan selain di-tilang mereka tidak boleh meneruskan perjalanan sebelum muatan dipindahkan atau dikurangi menjadi sesuai standar.

Untuk memindahkan muatan yang berat seperti semen, kaca atau besi-baja biasanya perlu alat khusus atau alat berat yang perlu didatangkan dari lokasi lain dan juga truk untuk muat limpahan muatan tersebut.

Proses ini biasanya akan memakan waktu berhari-hari sehingga selama proses menunggu tersebut sopir praktis hanya bisa menunggu dan tidak dapat bekerja seperti biasa.

Selain itu dalam banyak kasus, meskipun tidak ada razia khusus polisi dapat menggunakan aturan ini untuk menindak kendaraan di jalan yang kedapatan kelebihan muatan ataupun over-dimension.

Aturan ini karena antara ada dan tiada dan tidak dipahami oleh kebanyakan sopir maka seringkali menjadi alat bagi oknum tertentu untuk menindak atau menilang para sopir. Dalam hal ini, biasanya sopir tidak mau berpanjang-panjang sehingga mereka terpaksa ber-nego atau "berdamai" dengan menggunakan uang sendiri dari sebagian gajinya sebagai sopir.

Hal inilah yang kira-kira menjadi alasan mengapa para sopir melakukan unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah beberapa waktu yang lalu. Semestinya tuntutan mereka bukan untuk menolak kebijakan Zero ODOL namun semestinya menentang "pungli" atau "tilang" yang semena-mena.

Tapi ya sudahlah, mungkin mereka sudah lama punya uneg-uneg seperti ini tapi tidak ada media atau sarana untuk menyalurkannya. Dan isu zero ODOL bisa mereka gunakan untuk meluapkan uneg-uneg yang lama terpendam. Dan mungkin secara langsung maupun tidak langsung hal ini juga direstui oleh "bos" mereka.

Selain itu, dari sisi pembuat kebijakan atau pemerintah juga terkesan maju-mundur dalam menerapkan kebijakan ODOL ini sehingga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat luas.

ODOL merupakan singkatan dari Over Dimension Over Loading.

  • Over Dimensi adalah terjadinya perubahan ukuran kendaraan barang baik panjang, tinggi dan lebar, tidak sesuai dengan ketentuan/ijin yang diberikan.
  • Over Loading adalah terjadinya pengangkutan muatan yang melebihi jumlah berat yang diijinkan (JBI).

Sebenarnya kebijakan ODOL sudah lama ada dan ini bukanlah hal yang baru, aturan tersebut diundangkan pada tahun 2009 melalui UU No. 22 tahun 2009 yang berbunyi: Pengemudi dan/atau perusahaan angkutan logistik WAJIB mematuhi tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan.

Namun aturan di atas pada praktiknya tidak jalan karena ditolak oleh sebagian besar perusahaan angkutan logistik dan pemilik barang dengan berbagai alasan meskipun sudah seringkali dilakukan sosialisasi.

Setelah bertahun-tahun aturan mengenai ODOL hanya tinggal aturan di atas kertas, maka pada tahun 2014 Pemerintah berkomitmen untuk menjalankan aturan tersebut secara bertahap dengan terbitnya PP No. 74 tahun 2014.

Poin penting dari PP No. 74 tahun 2014 adalah, muatan angkutan logistik yang melebihi 5%-20% akan dilakukan tilang atau denda, sedangkan yang melebihi 20% akan dilakukan tilang dan pengemudi wajib MENURUNKAN kelebihan muatan.

Setahun kemudian aturan tersebut diperketat dengan terbitnya Permenhub No. PM 134 Thn. 2015 yang merupakan revisi dari aturan sebelumnya yaitu: Kelebihan muatan > 5-20 % akan dilakukan tilang; sedangkan kelebihan muatan > 20 % akan dilakukan tilang & DILARANG MENERUSKAN perjalanan.

Dua tahun kemudian aturan ini dipertegas lagi melalui Perdirjen Hubdat SK.736/AJ.108/DRJD/2017 yang berbunyi: Muatan angkutan logistik yang melebihi  5 % akan dilakukan tilang & DILARANG MENERUSKAN perjalanan, boleh MENERUSKAN perjalanan setelah MEMINDAHKAN kelebihan muatan.

Aturan yang diundangkan pada tahun 2017 ini diberlakukan mulai tahun 2018 atas permintaan Asosiasi (GAIKINDO, DPP ORGANDA, DPP APTRINDO, ASKARINDO, Asosiasi Baja, Asosiasi Semen, Asosiasi Pupuk).

Setelah diterapkan pada tahun 2018, menurut data dari Dishub selama periode April-Desember 2018 jumlah kendaraan yang masuk jembatan timbang sebanyak 572,894 unit, dari jumlah tersebut sebanyak 404,225 unit atau 70,56 % dinyatakan melanggar aturan dan 168,669 unit atau 29,44% tidak melanggar.

Kemudian per Nopember 2019, data dari Dishub menunjukkan perbaikan yaitu dari total sekitar dua juta kendaraan yang masuk jembatan timbang, yang melanggar hanya 39% sedangkan yang tidak melanggar meningkat menjadi 61%.

Pada tahun 2020 aturan diperluas ke pelaksanaan kendaraan Zero ODOL di pelabuhan penyeberangan yang diundangkan pada 1 Feb 2020 dan berlaku efektif mulai 1 Mei 2020.

Berdasarkan rapat koordinasi terkait ODOL antara Kemenhub dengan Kementerian PUPR, Korlantas Polri, Kementerian Perindustrian, dan stakeholder pada 24 Februari 2020, disepakati aturan Zero ODOL akan diberlakukan secara bertahap semakin tahun semakin ketat dan akan berlaku penuh mulai awal 2023.

Untuk itu mulai awal tahun 2022 ini Dishub mulai melakukan sosialisasi termasuk mengadakan razia di jalan tol untuk kendaraan yang  over dimension overloading (ODOL) dan momentum inilah yang menjadi pemicu demo ratusan sopir truk pada 22 Feb 2022 yang lalu.

Terlepas dari semua itu kita semestinya berterimakasih pada para sopir truk yang melakukan demo, karena ini bisa berfungsi sebagai salah satu mekanisme check and balance.

Bila kebijakan zero ODOL ini dipaksakan harus berjalan 100%, maka biaya pengiriman akan naik dan dampaknya pada kenaikan harga barang dan pada akhirnya inflasi juga akan meningkat.

Jadi memang harus ada jalan tengah yang kreatif agar kepentingan semua pihak dapat terakomodasi dan biaya logistik di negara kita bisa kompetitif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun