Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tiga Alasan Mengapa Sikap Baik dan Santun Saja Justru Menghancurkan Tim

11 Januari 2022   20:30 Diperbarui: 12 Januari 2022   21:00 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah tim kerja di kantor. Sumber: Kompas.com

Awal tahun ini bos saya, atau tepatnya bos dari bos saya yang jauh nun di sana memperkenalkan diri sebagai orang baru yang mengisi jabatan Presiden Direktur area Asia Pasifik. Beliau memperkenalkan diri pada saat meeting perdana secara online untuk menjelaskan "Business Policy 2022".

Salah satu hal yang menarik adalah ketika beliau menyampaikan mottonya yaitu :

  • cool head but warm hearth
  • every person is my mentor
  • be authentic

Motto tersebut merupakan intisari dari pengalamannya dalam bekerja lebih dari 30 tahun menghadapi berbagai persoalan dan berbagai macam temperamen orang dari berbagai belahan dunia.

Motto tersebut menggambarkan bahwa kita harus menjadi diri sendiri (be authentic) dan lebih mengedepankan "baik hati" daripada "sikap baik".

Mengapa demikian?

Sebagai contoh, ketika perusahaan merekrut karyawan atau ketika seorang manajer membangun tim, mereka cenderung memilih orang yang bersikap baik dan ramah.

Mereka memperkerjakan orang-orang yang bersikap baik dan mendorong interaksi yang sopan, basa-basi yang ramah, dan perilaku yang manis.

Tim seperti ini terlihat cukup bagus dari luar, namun belum tentu bagus kinerjanya. Pada beberapa kasus justru hal yang kelihatan bagus seperti ini tidak berlangsung lama.

Tanpa diduga tidak berapa lama kemudian mulai muncul kasak-kusuk, keluhan, konflik, dan masalah dalam tim yang pada akhirnya menghancurkan tim tersebut.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Berlawanan dengan persepsi orang pada umumnya, ternyata "sikap baik" dan santun saja tidak cukup. Untuk membentuk tim yang tangguh dan unggul kita butuh lebih dari "sikap baik" dan santun. Kita membutuhkan karyawan yang "baik hati".

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Association of Professional Executives of the Public Service of Canada (APEX) disimpulkan bahwa tim dalam lingkungan yang saling menghormati dan baik (tulus) hati akan memberikan kepuasan kerja 36% lebih banyak dan 44% lebih berkomitmen pada organisasi mereka.

Meskipun "sikap baik"dan "baik hati" kelihatannya serupa namun sebenarnya keduanya berbeda. Kebaikan hati yang tulus lebih utama karena memberikan kekuatan untuk memotivasi tim, meningkatkan produktivitas, dan menumbuhkan budaya yang menarik dan mempertahankan talenta terbaik.

Ilustrasi anggota Tim di tempat kerja, Sumber: Forbes.com
Ilustrasi anggota Tim di tempat kerja, Sumber: Forbes.com

Berdasarkan pendapat dari para ahli perilaku manusia dan rangkuman dari berbagai literatur, terdapat tiga alasan mengapa sikap baik dan santun saja tidak cukup, yaitu:

1. Sikap baik saja tidak dapat bertahan di bawah tekanan

Sikap baik dan sopan dengan cepat memudar ketika orang berada di bawah tekanan, mengalami konflik atau menghadapi situasi yang sulit. Jika mereka bertemu seseorang yang tidak sopan seperti mereka atau berhadapan dengan orang yang meremehkan mereka, mereka tidak tahan dan berubah dari bersikap manis menjadi temperamental atau agresif. 

Perubahan temperamen seperti ini akan merugikan tim dan pada gilirannya anggota tim lain terbebani untuk memperbaiki hubungan yang rusak ini.

Sebaliknya, orang yang baik hati tidak terpengaruh oleh faktor eksternal. Mereka berdiri teguh dalam keyakinan diri mereka untuk menghormati orang lain, bahkan jika kebaikan mereka tidak berbalas. Karena ketulusan mereka ini, mereka mendapatkan kepercayaan dan mendapatkan pengaruh dengan mudah, terlepas dari jabatan mereka.

2. Orang yang bersikap baik ingin menjaga image mereka (Jaim)

Orang yang bersikap baik dan orang yang baik hati mungkin menunjukkan perilaku yang sama, namun motivasi mereka sangat berbeda.

Orang yang bersikap baik sangat tergantung dari pendapat atau penilaian orang lain. Mereka sangat berhati-hati untuk mengelola "nama baik" mereka, terutama di depan orang-orang yang mereka anggap penting. Tindakan dan perilaku mereka adalah "Jaim".

Orang baik hati juga ingin dianggap baik, namun bukan itu yang mendorong mereka. Mereka terutama dimotivasi oleh apa yang dapat mereka berikan, bahkan bila tindakan mereka tidak terlihat langsung.

Mereka melihat melalui mata empati dan dapat terhubung dengan kebutuhan orang lain. Fokus mereka pada niat baik yang tulus tanpa pamrih membantu anggota tim merasa aman dan dihargai.

3. Bersikap baik kadang menghambat kemajuan

Orang yang bersikap baik mungkin menghindari konflik dan menghindar dari mengemukakan pendapat yang berbeda agar tidak terjadi keributan.

Keinginan kuat mereka untuk disukai hampir selalu di atas segalanya, artinya mereka mungkin membiarkan anggota tim melakukan kesalahan tanpa menegurnya untuk menghindari percakapan yang tidak nyaman.

Dalam kasus ini, kepasifan mereka memperlambat kemajuan karena tim mengalami kemunduran yang mahal dari keputusan buruk yang sebenarnya bisa dihindari.

Orang baik hati memiliki keberanian untuk berbicara tentang kebenaran dengan santun, meskipun mereka mungkin tidak dianggap sopan karena melakukan itu. Keberanian mereka mendorong pemecahan masalah, mendorong inovasi, dan meningkatkan produktivitas.

Refleksi diri:

Bersikap baik hanya sebagai kosmetik saja dan tidak didasari dengan motivasi yang benar dan tulus untuk berempati terhadap kebutuhan orang lain akan membawa kita bersikap "ABS" atau "Jaim" dan lebih parah lagi bisa dicap sebagai "penjilat".

Agar kita mempunyai perilaku yang "authentic", apa adanya dan tulus berbuat baik maka kita perlu memeriksa motivasi kita dalam berbuat baik.

Apakah kita akan tetap melakukan perbuatan baik tersebut meskipun:

  • tidak ada yang melihatnya?
  • tidak dianggap orang lain?
  • tidak dihargai, tidak dipuji, tidak dibalas dengan kebaikan lain?

Kita juga bisa menanyakan kepada orang lain kesan mereka terhadap diri kita agar mendapatkan gambaran yang lebih obyektif

Jawaban mereka akan meningkatkan kesadaran diri kita dan mengungkapkan titik-titik buta yang mungkin perlu kita perbaiki.

Refleksi diri ini bermanfaat bagi semua orang, terutama bagi seorang pemimpin atau manajer karena mereka harus menjadi contoh bagi orang lain yang dipimpinnya.

Ketika kita menilai motif dan perilaku kita sendiri dan membuat penyesuaian yang diperlukan, kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dan mengembangkan "budaya kebaikan hati" dalam Tim, di mana setiap orang dapat berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun