Jangan biarkan bahagia itu padam
Aku harap dia tetap menyala, hingga suatu hari tiba
Bunga-bungaku bermekaran
Memberi wangi, mewarnai hari, menemani usia senja
Gerimis turun di kota ini, sebelum tahun berganti
Ku coba menerka, apakah ia akan turun tanpa jeda
Atau hanya pengingat, hujan akan segera tiba
Ingin memelukmu, bersama dingin yang terbawa
Ayah.
*
"Mas, besok bapak mau operasi. Sekarang sudah "mondok" di rumah sakit."
Membaca pesan WA dari kakak, aku tertegun. Hasil pemeriksaan kemarin, kakak bilang hanya sayaraf kejepit dan pengapuran tulang belakang. Aku khawatir kalau dioperasi nantinya malah ada efek samping ke mana-mana. Apalagi itu tentang syaraf. Aku takut malah nantinya semakin parah. Tempo hari bapak hanya mengeluhkan kaki kirinya yang sakit, juga nyeri di pinggang.
Ketika pulang kemarin, aku sempatkan diri untuk memijatnya. Jarum jam menunjuk angka tiga. Aku baru sampai setelah menempuh delapan jam perjalanan dari Cikarang. Meski masih ngantuk, tapi masih kutahan karena tidak lama lagi adzan subuh berkumandang. Aku memang tidak pandai memijat, aku hanya memijat sesuai pengalaman pribadi. Aku terbiasa melakukan terapi sendiri setelah lelah bermain futsal. Jadi, apa yang kurasa nyaman, kupraktekkan ke tubuh bapak. Aku hanya beberapa hari di rumah, kemudian harus berangkat lagi. Sedih rasanya, karena tempatku bekerja jauh dari mereka, jadi tidak bisa pulang tiap hari. Tidak bisa merawat mereka ketika satu dari mereka ada yang sakit. Sehingga tugas itu dibebankan kepada kakak perempuanku yang belum lama ini baru pulang dari luar negeri.
Â
"Jangan operasi dulu lah, nanti aku beliin obat herbal, siapa tahu cocok!" Kebetulan aku punya teman yang kerja di toko herbal yang lengkap dan juga harganya jauh lebih murah dibanding bila harus beli di toko lain. Aku biasa beli di toko itu. Barang pesanan sudah dikirim tapi belum bayarpun tidak masalah. Sudah saling percaya.
"Ini bukan syaraf kejepitnya, tapi benjolan di depan bahu sebelah kiri .. Sudah tiga bulan sakit, tapi Bapak nggak mau cerita sama siapa-siapa, kecuali Ibu. Begitu juga ibu, tidak mau cerita sama siapa-siapa karena memang bapak yang minta." Aku memahami hal itu. Walaupun niatan awalnya mungkin hanya "tidak mau merepotkan", tapi yang namanya benjolan di tubuh yang tidak normal tetap harus diwaspadai. Apalagi jika itu disertai rasa sakit. Kalau jadi ganas bagaimana? Tentu akan lebih rumit lagi penanganannnya.
Masih segar dalam ingatan bagaimana lik Iman dulu. Dengan benjolan di leher yang setelah dioperasi malah semakin pesat pertumbuhan sel kankernya. Hingga akhirnya hidupnya berakhir dengan rasa sakit yang mendalam. Aku yang baru masuk sekolah di SMK, belum bisa berbuat banyak. Hanya bisa cerita, tentang kondisi sekolahan, guru-guru, dan pelajaran yang baru saja dia tinggalkan.
Saat pulang kampung bulan lalu, sebenarnya bapak juga mengeluhkan sakit di bahu kirinya. Namun saat kupijat, aku tidak menemukan benjolan itu. Â Kukira itu hanya nyeri biasa karena lelah bekerja. Jadi saat bapak minta dialihkan untuk memijit area lain aku nurut saja. Dan aku tidak merasa bahwa ternyata bapak menyembunyikan sesuatu.
Begitulah, bapak memang tidak suka bercerita banyak hal kepada kami, anak-anaknya. Terlebih itu adalah tentang sakit yang dirasa. Beliau hanya memberi kisi-kisi. Tidak langsung "to the point" pada inti permasalahan. Hal itulah yang membuat kami, terutama aku, kadang tidak bisa memahami apa yang dia mau. Aku yang kurang peka, juga iya. Sehingga sering menganggap semua dalam keadaan baik-baik saja.
Aku berencana pulang akhir bulan ini. Ada saudara sepupu yang akan menikah, sekaligus mau membawa sepeda statis untuk bapak, agar bisa melakukan terapi mandiri di rumah. Sepeda itu kubeli sekitar setahun yang lalu, dari teman yang menawarkan di grup WA. Kemudian hasil penjualannya disumbangkan untuk pembangunan gedung sekolah di sebuah pesantren, di dekat stasiun Telaga Murni. Karena aku yakin, bapak, ibu, juga saudara-saudara yang lain, mereka sering sakit karena kurang atau bahkan tidak pernah berolahraga. Capek karena kerjaan mungkin iya, tapi olahraga? Seperti lari, senam, aneka permainan yang menguras tenaga dan keringat dalam suasana gembira. Aku yakin tidak.
Â
Disaat-saat seperti ini, aku mulai bosan hidup di perantauan. Disaat ada orang tua yang sakit aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak bisa menemani mereka. Padahal aku ingin menjadi anak yang berbakti, menggapai surga dengan baktiku merawat mereka berdua, selagi mereka masih ada. Harus menempuh perjalanan sekitar delapan jam, kalau harus pulang. Rasa lelah di perjalanan itu pasti. Meski hanya sekedar duduk dan tidur di bangku bus AKAP.
 Pada saat istri hamil dan melahirkan pada pertengahan tahun lalu, senang rasanya hampir tiap bulan bisa pulang. Menemui anak istri, sekaligus menjenguk mereka. Dan sekarang setelah keluarga kecilku berkumpul di sini, paling tidak ketika ada momen-momen tertentu barulah aku bisa pulang. Sangat terharu ketika mendengar cerita sahabatku, Arif Supriyanto yang harus sering pulang saat ibunya terkena strok. Mengantar ibunya periksa ke rumah sakit, terapi. Padahal waktu itu saat pandemi. Beruntung dia sudah punya mobil jadi bisa gerak cepat. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal dunia, diapun punya kesempatan terakhir untuk menunggui. Sungguh aku ingin seperti dia. Punya bakti yang besar bagi orang tua. Punya arti dalam kehidupan mereka. Bahkan hingga saat-saat terakhirpun, masih bisa membersamai.
"Alhamdulillah, mas, operasi sudah selesai. Tapi harus nunggu dua minggu buat tahu jenis benjolannya, ganas apa enggaknya."
Mungkin bapak terlalu capek. Meski tidak begitu jauh dari rumah, tapi biasanya bapak berangkat kerja setelah subuh. Dan tidak jarang pulang malam. Memang, setelah dibukanya dipo pasir di pinggir desa, kondisi ekonomi bapak jadi lebih baik. Tapi ya, harus ada harga yang harus dibayar. Waktu, tenaga harus lebih ekstra lagi. Belum lagi saat ada yang lembur, jam satu atau jam dua pagi sudah ada yang berangkat menambang pasir. Waktu enak-enaknya untuk istirahat, tapi harus standby di pinggir sungai. Â
"Pak, do'akan aku ya, biar aku punya kerjaan yang dekat bapak juga ibu. Kerja jauh-jauh paling juga habis buat makan. Gak bisa nabung."
"Lah, di kampung emang mau kerja apa? Di sini juga susah, apalagi kalau sungainya banjir, nggak bisa nyari pasir."
Â
Begitulah, ketika aku minta untuk dido'akan, agar aku bisa dapat kerjaan yang lebih baik, juga bisa dekat dengan mereka. Masih saja ada kekhawatiran, "memang di sini mau kerja apa?" padahal tinggal berdo'a, biar Allah yang mengatur bagaimana nantinya. Karena aku percaya, do'a mereka adalah doa yang terkabul.
Ibu juga demikian. "Sudah, di sana saja, kamu kan sudah jadi karyawan tetap. Yang penting bisa makan, bisa bayar sekolah anak."
Â
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya bapak mondok di rumah sakit. Sebelumnya sudah pernah dua atau tiga kali dengan sakit yang menyebabkan harus menginap sekitar semingguan. Dulunya, bapak adalah perokok berat. Tiada hari berlalu tanpa merokok. Pagi, siang, sore, malam. Hingga akhirnya beliau sakit. Batuk yang disertai dengan bercak darah. Dan alhamdulillah, sejak sakit itu bapak berhenti merokok.
Kebiasaan merokok ternyata tidak menurun padaku. Malah aku sangat benci dengan hal itu. Asap rokok membuatku pusing. Dan aku tidak suka jika duduk di dekat orang yang sedang merokok. Aku tidak mau menghirup asapnya, sebab aku bukanlah perokok. Bahkan aku merasa tidak nyaman ketika masuk ke ruangan, yang sebelumnya ada bekas orang merokok. Meskipun sudah berlalu, tetap saja baunya masih terasa.
Masih terkenang bagaimana aku dimarahi bapak saat disuruh beli rokok, kemudian aku bertanya, "beli rokok apa, pak?". Aku dimarahi karena  tidak juga paham merek rokoknya, padahal sudah sering beli, dan hampir tiap hari melihatnya tergeletak di meja. Dasar aku anak kecil yang belum mengerti candu. Bahwa ternyata ia punya ciri khas masing-masing. Aku kira mereka semua sama, tapi ternyata tidak. Tiap orang punya merek tersendiri. Dan mereka paham betul rasanya.
Mungkin saja sakit yang diderita bapak waktu itu bukanlah karena kebiasaannya merokok. Sebab jauh-jauh hari sebelum sakit itu, aku sudah lebih dulu mengalaminya. Menjelang ujian kelulusan di SMK, aku terkena TBC. Sedih, sudah pasti. Karena aku telah memupuskan harapan bapak. Besar harapannya padaku, agar setelah lulus sekolah bisa langsung bekerja. Seperti cerita-cerita yang sering beliau dengar dari para orang tua yang anaknya bekerja di berbagai perusahaan otomotif dengan gaji besar. Atau juga yang anak-anaknya sukses setelah bekerja di luar negeri, jepang dan korea.
Â
Aku tahu, beliau sangat kecewa saat itu. Aku mampu melihat rasa itu bergelayut di garis-garis mukanya. Tapi apalah dayaku, aku tak punya kuasa melawan takdir. Dan aku harus menjalani proses pengobatan selama enam bulan. Hanya bisa menyaksikan teman-teman ikut serta dalam tes perekrutan tenaga kerja dari perusahaan terkemuka di Cikarang. Mereka jemput bola, dengan mengadakan tes di aula sekolah. Sedangkan aku hanya bisa memberikan dukungan, dengan harapan suatu hari aku juga bisa ikut tes seperti mereka, kemudian bekerja di perusahaan yang bonafit. Aku terharu, setelah selesai tes, Sara Utoyo menghampiriku yang sedang menunggu di depan ruang guru. Dia memberiku sepotong kue yang belum sempat dimakannya saat tes. Aku merasa punya arti, disaat seperti itu, masih ada yang menaruh perhatian, meski hanya sepotong kue yang diberikan.
"Mas, seandainya bapak pakai susuk, bagaimana solusinya?"
"Hah, kata siapa?"
"Kata .. ku .. hehe .."
Aku yakin, sikap keras yang ada pada diri bapak bukan berasal dari hal-hal semacam itu. Tapi memang karena pembawaannya dari dulu. Bisa jadi karena didikan dari ibu angkatnya yang memang keras, sehingga membentuk karakternya yang seperti itu. Aku memahami. Karena darahnya juga mengalir di tubuhku.
Rindu rasanya memeluk tubuhnya yang kekar, yang  kini lebih sering terbaring di atas kasur busa di ruang keluarga, di depan televisi. Hanya bisa membayangkan, saat aku pulang nanti, beliau menahan tangis saat pertama kali melihat aku datang. Seperti saat di rumah sakit dulu.
Â
"Ayah dengarlah .. betapa sesungguhnya kumencintaimu .. kan kubuktikan .. ku mampu penuhi maumu .. "
Masih saja terngiang syair lagu itu, dan ..
*^
 Cerpen dari buku "Semua Tentang Ayah" karya Rudiyanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H