Mohon tunggu...
Rudiyel Rijaal
Rudiyel Rijaal Mohon Tunggu... Koki - Karyawan pabrik

Orang baik, suka nulis pengalaman sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerimis di Akhir Desember

12 September 2023   19:57 Diperbarui: 12 September 2023   20:09 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Membaca pesan WA dari kakak, aku tertegun. Hasil pemeriksaan kemarin, kakak bilang hanya sayaraf kejepit dan pengapuran tulang belakang. Aku khawatir kalau dioperasi nantinya malah ada efek samping ke mana-mana. Apalagi itu tentang syaraf. Aku takut malah nantinya semakin parah. Tempo hari bapak hanya mengeluhkan kaki kirinya yang sakit, juga nyeri di pinggang.

Ketika pulang kemarin, aku sempatkan diri untuk memijatnya. Jarum jam menunjuk angka tiga. Aku baru sampai setelah menempuh delapan jam perjalanan dari Cikarang. Meski masih ngantuk, tapi masih kutahan karena tidak lama lagi adzan subuh berkumandang. Aku memang tidak pandai memijat, aku hanya memijat sesuai pengalaman pribadi. Aku terbiasa melakukan terapi sendiri setelah lelah bermain futsal. Jadi, apa yang kurasa nyaman, kupraktekkan ke tubuh bapak. Aku hanya beberapa hari di rumah, kemudian harus berangkat lagi. Sedih rasanya, karena tempatku bekerja jauh dari mereka, jadi tidak bisa pulang tiap hari. Tidak bisa merawat mereka ketika satu dari mereka ada yang sakit. Sehingga tugas itu dibebankan kepada kakak perempuanku yang belum lama ini baru pulang dari luar negeri.

 
"Jangan operasi dulu lah, nanti aku beliin obat herbal, siapa tahu cocok!" Kebetulan aku punya teman yang kerja di toko herbal yang lengkap dan juga harganya jauh lebih murah dibanding bila harus beli di toko lain. Aku biasa beli di toko itu. Barang pesanan sudah dikirim tapi belum bayarpun tidak masalah. Sudah saling percaya.

"Ini bukan syaraf kejepitnya, tapi benjolan di depan bahu sebelah kiri .. Sudah tiga bulan sakit, tapi Bapak nggak mau cerita sama siapa-siapa, kecuali Ibu. Begitu juga ibu, tidak mau cerita sama siapa-siapa karena memang bapak yang minta." Aku memahami hal itu. Walaupun niatan awalnya mungkin hanya "tidak mau merepotkan", tapi yang namanya benjolan di tubuh yang tidak normal tetap harus diwaspadai. Apalagi jika itu disertai rasa sakit. Kalau jadi ganas bagaimana? Tentu akan lebih rumit lagi penanganannnya.

Masih segar dalam ingatan bagaimana lik Iman dulu. Dengan benjolan di leher yang setelah dioperasi malah semakin pesat pertumbuhan sel kankernya. Hingga akhirnya hidupnya berakhir dengan rasa sakit yang mendalam. Aku yang baru masuk sekolah di SMK, belum bisa berbuat banyak. Hanya bisa cerita, tentang kondisi sekolahan, guru-guru, dan pelajaran yang baru saja dia tinggalkan.

Saat pulang kampung bulan lalu, sebenarnya bapak juga mengeluhkan sakit di bahu kirinya. Namun saat kupijat, aku tidak menemukan benjolan itu.  Kukira itu hanya nyeri biasa karena lelah bekerja. Jadi saat bapak minta dialihkan untuk memijit area lain aku nurut saja. Dan aku tidak merasa bahwa ternyata bapak menyembunyikan sesuatu.

Begitulah, bapak memang tidak suka bercerita banyak hal kepada kami, anak-anaknya. Terlebih itu adalah tentang sakit yang dirasa. Beliau hanya memberi kisi-kisi. Tidak langsung "to the point" pada inti permasalahan. Hal itulah yang membuat kami, terutama aku, kadang tidak bisa memahami apa yang dia mau. Aku yang kurang peka, juga iya. Sehingga sering menganggap semua dalam keadaan baik-baik saja.

Aku berencana pulang akhir bulan ini. Ada saudara sepupu yang akan menikah, sekaligus mau membawa sepeda statis untuk bapak, agar bisa melakukan terapi mandiri di rumah. Sepeda itu kubeli sekitar setahun yang lalu, dari teman yang menawarkan di grup WA. Kemudian hasil penjualannya disumbangkan untuk pembangunan gedung sekolah di sebuah pesantren, di dekat stasiun Telaga Murni. Karena aku yakin, bapak, ibu, juga saudara-saudara yang lain, mereka sering sakit karena kurang atau bahkan tidak pernah berolahraga. Capek karena kerjaan mungkin iya, tapi olahraga? Seperti lari, senam, aneka permainan yang menguras tenaga dan keringat dalam suasana gembira. Aku yakin tidak.
 

Disaat-saat seperti ini, aku mulai bosan hidup di perantauan. Disaat ada orang tua yang sakit aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak bisa menemani mereka. Padahal aku ingin menjadi anak yang berbakti, menggapai surga dengan baktiku merawat mereka berdua, selagi mereka masih ada. Harus menempuh perjalanan sekitar delapan jam, kalau harus pulang. Rasa lelah di perjalanan itu pasti. Meski hanya sekedar duduk dan tidur di bangku bus AKAP.

 Pada saat istri hamil dan melahirkan pada pertengahan tahun lalu, senang rasanya hampir tiap bulan bisa pulang. Menemui anak istri, sekaligus menjenguk mereka. Dan sekarang setelah keluarga kecilku berkumpul di sini, paling tidak ketika ada momen-momen tertentu barulah aku bisa pulang. Sangat terharu ketika mendengar cerita sahabatku, Arif Supriyanto yang harus sering pulang saat ibunya terkena strok. Mengantar ibunya periksa ke rumah sakit, terapi. Padahal waktu itu saat pandemi. Beruntung dia sudah punya mobil jadi bisa gerak cepat. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal dunia, diapun punya kesempatan terakhir untuk menunggui. Sungguh aku ingin seperti dia. Punya bakti yang besar bagi orang tua. Punya arti dalam kehidupan mereka. Bahkan hingga saat-saat terakhirpun, masih bisa membersamai.

"Alhamdulillah, mas, operasi sudah selesai. Tapi harus nunggu dua minggu buat tahu jenis benjolannya, ganas apa enggaknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun