Mungkin bapak terlalu capek. Meski tidak begitu jauh dari rumah, tapi biasanya bapak berangkat kerja setelah subuh. Dan tidak jarang pulang malam. Memang, setelah dibukanya dipo pasir di pinggir desa, kondisi ekonomi bapak jadi lebih baik. Tapi ya, harus ada harga yang harus dibayar. Waktu, tenaga harus lebih ekstra lagi. Belum lagi saat ada yang lembur, jam satu atau jam dua pagi sudah ada yang berangkat menambang pasir. Waktu enak-enaknya untuk istirahat, tapi harus standby di pinggir sungai. Â
"Pak, do'akan aku ya, biar aku punya kerjaan yang dekat bapak juga ibu. Kerja jauh-jauh paling juga habis buat makan. Gak bisa nabung."
"Lah, di kampung emang mau kerja apa? Di sini juga susah, apalagi kalau sungainya banjir, nggak bisa nyari pasir."
Â
Begitulah, ketika aku minta untuk dido'akan, agar aku bisa dapat kerjaan yang lebih baik, juga bisa dekat dengan mereka. Masih saja ada kekhawatiran, "memang di sini mau kerja apa?" padahal tinggal berdo'a, biar Allah yang mengatur bagaimana nantinya. Karena aku percaya, do'a mereka adalah doa yang terkabul.
Ibu juga demikian. "Sudah, di sana saja, kamu kan sudah jadi karyawan tetap. Yang penting bisa makan, bisa bayar sekolah anak."
Â
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya bapak mondok di rumah sakit. Sebelumnya sudah pernah dua atau tiga kali dengan sakit yang menyebabkan harus menginap sekitar semingguan. Dulunya, bapak adalah perokok berat. Tiada hari berlalu tanpa merokok. Pagi, siang, sore, malam. Hingga akhirnya beliau sakit. Batuk yang disertai dengan bercak darah. Dan alhamdulillah, sejak sakit itu bapak berhenti merokok.
Kebiasaan merokok ternyata tidak menurun padaku. Malah aku sangat benci dengan hal itu. Asap rokok membuatku pusing. Dan aku tidak suka jika duduk di dekat orang yang sedang merokok. Aku tidak mau menghirup asapnya, sebab aku bukanlah perokok. Bahkan aku merasa tidak nyaman ketika masuk ke ruangan, yang sebelumnya ada bekas orang merokok. Meskipun sudah berlalu, tetap saja baunya masih terasa.
Masih terkenang bagaimana aku dimarahi bapak saat disuruh beli rokok, kemudian aku bertanya, "beli rokok apa, pak?". Aku dimarahi karena  tidak juga paham merek rokoknya, padahal sudah sering beli, dan hampir tiap hari melihatnya tergeletak di meja. Dasar aku anak kecil yang belum mengerti candu. Bahwa ternyata ia punya ciri khas masing-masing. Aku kira mereka semua sama, tapi ternyata tidak. Tiap orang punya merek tersendiri. Dan mereka paham betul rasanya.
Mungkin saja sakit yang diderita bapak waktu itu bukanlah karena kebiasaannya merokok. Sebab jauh-jauh hari sebelum sakit itu, aku sudah lebih dulu mengalaminya. Menjelang ujian kelulusan di SMK, aku terkena TBC. Sedih, sudah pasti. Karena aku telah memupuskan harapan bapak. Besar harapannya padaku, agar setelah lulus sekolah bisa langsung bekerja. Seperti cerita-cerita yang sering beliau dengar dari para orang tua yang anaknya bekerja di berbagai perusahaan otomotif dengan gaji besar. Atau juga yang anak-anaknya sukses setelah bekerja di luar negeri, jepang dan korea.
Â
Aku tahu, beliau sangat kecewa saat itu. Aku mampu melihat rasa itu bergelayut di garis-garis mukanya. Tapi apalah dayaku, aku tak punya kuasa melawan takdir. Dan aku harus menjalani proses pengobatan selama enam bulan. Hanya bisa menyaksikan teman-teman ikut serta dalam tes perekrutan tenaga kerja dari perusahaan terkemuka di Cikarang. Mereka jemput bola, dengan mengadakan tes di aula sekolah. Sedangkan aku hanya bisa memberikan dukungan, dengan harapan suatu hari aku juga bisa ikut tes seperti mereka, kemudian bekerja di perusahaan yang bonafit. Aku terharu, setelah selesai tes, Sara Utoyo menghampiriku yang sedang menunggu di depan ruang guru. Dia memberiku sepotong kue yang belum sempat dimakannya saat tes. Aku merasa punya arti, disaat seperti itu, masih ada yang menaruh perhatian, meski hanya sepotong kue yang diberikan.
"Mas, seandainya bapak pakai susuk, bagaimana solusinya?"