Kita tak berdaya, ketika tanah air yang kaya ini justru tak memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Gunung-gunung kita menyimpan emas, tetapi yang menikmati kemakmuran adalah korporasi asing. Laut kita luas, tetapi nelayan kita berjuang melawan kapal-kapal besar yang mengeruk hasil laut tanpa batas. Hutan kita hijau, tetapi perlahan ditebang hingga yang tersisa hanya tanah gersang. Sawah kita terbentang, tetapi petani kita justru tercekik harga pupuk dan benih yang dikendalikan pasar global. Keringat rakyat menetes di ladang, tetapi keuntungan mengalir ke negeri seberang. Sumber daya yang melimpah bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan dikuasai oleh pemodal yang tak peduli pada kesejahteraan negeri ini. Kita hanya menjadi penonton di tanah sendiri, menggigit jari melihat kekayaan kita dijual murah. Beginilah nasib bangsa yang tak berdaya dalam menguasai hartanya sendiri.
Kita tak berdaya, saat investor asing datang bukan sebagai mitra, melainkan sebagai penguasa. Dengan modal besar, mereka membeli tanah, mendikte kebijakan, dan mengendalikan harga. Pemerintah kita tunduk pada kontrak-kontrak yang merugikan, terjebak dalam perjanjian yang mempersempit ruang gerak ekonomi nasional. BUMN kita diprivatisasi, industri strategis kita dijual, sementara kita hanya menerima sisa-sisa dari meja perjamuan mereka. Regulasi disusun untuk melayani mereka, bukan untuk kepentingan rakyat. Kita kehilangan kendali atas pasar, atas harga, atas arah ekonomi kita sendiri. Ketika bangsa lain membangun kemandirian, kita justru semakin tergantung. Ini bukan kerja sama, ini penjajahan dalam bentuk baru.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi persaingan global yang kian brutal. Negara-negara maju memperkuat industri dan teknologinya, sementara kita masih berkutat pada eksploitasi sumber daya mentah. Kita tak mampu menciptakan teknologi sendiri, hanya menjadi pengguna dari inovasi bangsa lain. Mesin-mesin kita impor, perangkat lunak kita buatan asing, jaringan komunikasi kita bergantung pada satelit milik negara lain. Akademisi kita cerdas, tetapi mereka lebih dihargai di luar negeri daripada di tanah air sendiri. Kita hanya menjadi pasar, bukan pencipta. Ketergantungan ini bukan sekadar ekonomi, tetapi perbudakan intelektual yang menghambat kemandirian bangsa.
Kita tak berdaya, ketika rakyat kecil kehilangan sumber penghidupan mereka. Petani tak memiliki lahan karena tanah mereka telah dibeli oleh korporasi besar. Nelayan tak bisa melaut karena laut telah diprivatisasi. Buruh kehilangan pekerjaan karena pabrik berpindah ke negara dengan upah lebih murah. Generasi muda kita tersingkir dari dunia kerja karena tenaga asing lebih diutamakan. Kota-kota besar penuh dengan pengangguran, desa-desa dipenuhi orang tua yang menunggu anak-anak mereka pulang dengan harapan yang semakin pudar. Hidup semakin mahal, tetapi pendapatan tak bertambah. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terhimpit.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi korupsi yang merajalela. Uang rakyat mengalir ke rekening pejabat, proyek-proyek negara menjadi ladang bancakan. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus besar menghilang di meja pengadilan, sementara rakyat kecil dihukum tanpa ampun. Transparansi hanya jargon, keadilan hanya ilusi. Kita tak mampu memberantas korupsi karena mereka yang seharusnya membersihkan justru ikut bermain dalam kegelapan. Kekuasaan bukan lagi alat untuk melayani, tetapi untuk memperkaya diri. Negeri ini dijarah dari dalam, oleh mereka yang seharusnya menjaga.
Kita tak berdaya, ketika ketahanan pangan kita semakin rapuh. Sawah-sawah berubah menjadi perumahan, petani beralih profesi menjadi buruh kasar. Kita menggantungkan kebutuhan pangan dari impor, sehingga harga bahan pokok naik setiap saat. Perusahaan asing mengendalikan benih dan pupuk, membuat petani tak punya pilihan selain membeli dengan harga mahal. Kemandirian pangan hanya menjadi wacana, sementara kita terus menerus bergantung pada suplai dari luar negeri. Jika krisis datang, kita tak punya cukup stok untuk bertahan. Negara agraris ini justru lapar di tanah suburnya sendiri.
Kita tak berdaya, dalam ketahanan energi yang semakin mengkhawatirkan. Listrik kita bergantung pada batubara yang diekspor ke luar negeri, sementara rakyat sendiri mengalami pemadaman. Minyak bumi kita terus berkurang, tetapi kita tetap menjualnya ke negara lain dengan harga murah. Energi terbarukan hanya menjadi proyek wacana, tanpa realisasi yang nyata. Kita terlalu nyaman membeli dari luar, bukannya mengembangkan sendiri. Ketika harga minyak dunia melonjak, rakyat kita yang pertama kali merasakan dampaknya. Kita bukan pengendali energi, kita hanya konsumen yang harus membayar lebih mahal untuk kebutuhan sendiri.
Kita tak berdaya, dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi. Mata uang kita terus melemah, daya beli rakyat semakin menurun. Hutang luar negeri menumpuk, tetapi pembangunan tak berujung pada kesejahteraan. Sektor produksi melemah, industri dalam negeri mati perlahan-lahan. Pasar kita dibanjiri produk impor, sementara produk lokal kalah bersaing. Pemerintah tak punya strategi yang jelas, hanya menjadi penonton dalam perang ekonomi global. Ketika bangsa lain melindungi industri mereka, kita justru membuka pintu selebar-lebarnya untuk produk asing. Pasar bebas bukan kesejahteraan, tetapi jebakan yang membuat kita semakin terpuruk.
Kita tak berdaya, dalam menghadapi derasnya arus informasi yang dikendalikan asing. Media sosial kita dikuasai oleh platform luar negeri, algoritma mereka menentukan apa yang kita lihat, baca, dan pikirkan. Data kita bocor, dikumpulkan dan digunakan untuk kepentingan mereka. Teknologi digital yang kita gunakan setiap hari adalah buatan asing, membuat kita semakin tergantung. Kita tak memiliki sistem keamanan informasi yang kuat, sehingga setiap gerakan kita diawasi oleh kekuatan global. Di era informasi ini, yang menguasai data menguasai dunia—dan kita hanya menjadi pengguna yang tak berdaya.
Kita tak berdaya, karena kita terus menerus membiarkan ketidakberdayaan ini terjadi. Kita diam saat tanah kita diambil, kita pasrah saat ekonomi kita dikuasai, kita tunduk saat kebijakan kita didikte. Kita seolah tak punya pilihan, tetapi sejatinya kita hanya terbiasa menyerah. Jika ini terus berlanjut, apa yang akan tersisa untuk anak cucu kita? Apakah kita akan terus menjadi bangsa yang tak berdaulat di negeri sendiri? Ataukah kita akan bangkit, menolak tunduk, dan merebut kembali kendali atas nasib kita sendiri? Itu bukan hanya pertanyaan, itu adalah panggilan. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya, tetapi bangsa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.