3. Latih Empati dalam Setiap Komunikasi
Empati memungkinkan pejabat publik untuk memahami audiens dari sudut pandang mereka. Hal ini membantu menciptakan komunikasi yang relevan, sensitif, dan tidak menyinggung.
Ahli komunikasi Carl Rogers dalam pendekatannya tentang empathetic communication menekankan pentingnya mendengarkan secara aktif dan berbicara dengan kepekaan untuk membangun hubungan yang mendalam.
Symbolic Interactionism yang diajarkan oleh George Herbert Mead menyatakan : empati adalah kunci untuk memahami simbol dan makna yang penting bagi audiens.
Misalnya : Saat berbicara kepada petani yang terkena dampak gagal panen, seorang pejabat menggunakan kalimat seperti, “Kami memahami perjuangan bapak/ibu, dan pemerintah berkomitmen membantu mengatasinya.”. Jangan malah mengatakan bahwa kegagalan panen adalah akibat kurangnya inovasi petani, tanpa mempertimbangkan kendala sistemik.
4. Hindari Retorika yang Provokatif dan Manipulatif
Komunikasi publik harus bebas dari unsur provokasi, fitnah, atau manipulasi yang dapat memicu perpecahan.
Jurgen Habermas dalam Theory of Communicative Action menyatakan bahwa komunikasi publik harus didasarkan pada rasionalitas dan dialog, bukan retorika yang merusak kepercayaan atau membingungkan audiens.
Misalnya : Menyampaikan kebijakan dengan argumen yang transparan, disertai bukti dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukannya, menyebarkan informasi yang setengah benar atau menggunakan data yang telah dimanipulasi untuk mendukung agenda tertentu.
5. Evaluasi Pesan Sebelum Berbicara
Sebelum menyampaikan informasi, pejabat publik harus mengevaluasi pesan dari sudut pandang etika, potensi dampak sosial, dan keakuratan.