Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jejak di Hening Senja

13 November 2024   17:19 Diperbarui: 13 November 2024   17:24 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jejak di Hening Senja

Di sebuah senja yang temaram, angin membawa sepi yang merambat perlahan. Langit memancarkan warna jingga keemasan, seolah menyembunyikan setiap cerita yang telah hilang di balik cahaya terakhir. Di bawah pohon yang renta, seorang pria tua duduk dengan pandangan kosong, menatap jauh ke arah lautan yang mulai menggelap. Hatinya penuh oleh kenangan, oleh cinta yang pernah ada, dan oleh rasa kehilangan yang tak kunjung pergi.

Ia menghela napas panjang, seolah mencoba menghirup setiap serpihan masa lalu yang tertinggal di udara. Ingatan tentang wajah-wajah yang ia cintai kini hanya tersisa sebagai bayang-bayang samar. Namun, ia tahu bahwa di dalam hatinya, kenangan itu tetap hidup, meski terkadang menyakitkan.

Di bawah langit merah saga,
Kutatap jejak-jejak senja,
Kenangan datang bagai ombak,
Menghempas hati yang rapuh dan retak.

Kau pernah di sini, dalam diam,
Menemani hari-hari kelam,
Kini kau pergi, tak berjejak,
Tinggalkan bayang yang kian meretak.

Waktu berjalan, tiada henti,
Menggulung harap dalam sunyi,
Kuingin bertanya pada angin,
Mengapa kau pergi tanpa pesan?

Malam pun tiba, menggantikan jingga senja dengan gelap yang pekat. Pria itu tetap di sana, dengan mata terpejam, seolah merasakan kehadiran yang tak terlihat. Ia teringat akan seseorang yang pernah ia sayangi, yang kini telah pergi meninggalkannya sendirian di dunia yang begitu luas namun terasa sempit.

"Apakah kau juga merindukan malam-malam seperti ini?" gumamnya perlahan. "Atau mungkin kau telah melupakan semua yang pernah kita jalani bersama?"

Tak ada jawaban, hanya suara ombak yang memecah keheningan, membawa pergi setiap pertanyaan yang tak terucapkan. Dan pria tua itu tahu, meskipun ia terus menunggu, jawabannya tak akan pernah datang. Hanya sepi yang setia menemani, hanya angin yang sudi mendengar.

Malam sunyi, aku bertanya,
Pada bintang yang berkedip lelah,
Apakah kau juga menunggu?
Apakah kau juga merindu?

Kutitipkan sajak di ujung malam,
Semoga kau dengar di alam mimpi,
Sebab cinta tak kenal batas,
Menyusuri ruang tanpa jeda, tanpa lelah.

Jika ada satu pintaku,
Kumohon datanglah dalam mimpiku,
Sekali saja, biar kutatap,
Wajah yang kurindu di balik kabut malam.L

angit malam mulai bertabur bintang, seperti mutiara yang tersebar di hamparan samudra hitam. Pria tua itu memandang langit dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Di antara kerlip bintang, ia merasa melihat bayangan wajah yang pernah ia cintai, tersenyum lembut seperti dulu, saat senyum itu adalah dunia baginya.

Ia mengusap matanya, mencoba menghapus air mata yang tak kuasa ia tahan. Dulu, di tempat yang sama, mereka pernah berbagi janji. Janji yang kini hanya tinggal kenangan. Janji yang tak sempat mereka penuhi karena takdir telah memisahkan mereka dengan cara yang paling sunyi.

Ia pun teringat pada saat-saat terakhir mereka bersama. Wajahnya pucat dan lelah, namun masih terselip senyum yang menenangkan, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, pria tua itu tahu, saat senyum itu menghilang, separuh jiwanya turut pergi bersamanya.

Di ujung malam yang temaram,
Kupetik kenangan di batas kelam,
Senyum manismu, pelita dalam gulita,
Menghantui jiwa, membawa lara.

Kau pernah bisikkan kata,
"Takkan ada yang memisah kita,"
Namun waktu tak kenal janji,
Mengambilmu pergi, tinggalkan sepi.

Kini hanya bayang, hanya sisa,
Di antara angin dan suara ombak yang mereda,
Aku mencarimu di ujung senja,
Namun hanya bayangmu yang tersisa.

Pria tua itu akhirnya berdiri perlahan, tubuhnya gemetar dimakan usia. Ia berjalan menuju bibir pantai, membiarkan ombak menyentuh kakinya yang lelah. Dingin air laut menembus kulitnya, membawa serta rasa rindu yang tak kunjung surut. Ia menunduk, memandang air yang beriak, seolah mencari jejak kaki yang pernah berdiri di sampingnya.

Malam semakin larut. Pria tua itu memutuskan untuk berbicara dengan bintang-bintang, mengadu pada mereka tentang rasa yang tak pernah pudar meski waktu terus bergulir. Ia mengangkat tangannya ke arah langit, seolah ingin meraih sesuatu yang tak terjangkau.

"Aku tahu kau ada di sana, melihatku dari kejauhan," bisiknya. "Jika malam ini aku bisa merasakan hadirmu, meski hanya sesaat, itu sudah cukup bagiku."

Bintang-bintang di angkasa raya,
Apakah kau dengar rintihku di sini?
Bawalah rinduku dalam cahayamu,
Sampaikan pada dia yang kucinta selalu.

Dalam dingin angin malam,
Kutunggu jawaban yang tak pernah datang,
Namun hati ini tetap setia,
Mencintaimu dalam sunyi yang abadi.

Jika kau tak bisa kembali,
Biar kutitipkan hatiku pada malam,
Agar di saat terakhirku nanti,
Kita bertemu di batas mimpi.

Ombak terus datang dan pergi, menghapus setiap jejak kaki yang tertinggal di pasir. Pria tua itu memandang laut sekali lagi sebelum berbalik meninggalkan pantai. Ia tahu, cinta yang ia rasakan tak pernah benar-benar hilang. Cinta itu tetap hidup dalam setiap helaan napas, dalam setiap detik yang berlalu, dan dalam setiap tatapan yang ia arahkan ke langit malam.

Di perjalanan pulang, dengan langkah yang perlahan, ia tersenyum kecil. Meski raganya semakin renta, hatinya tetap muda dalam cinta yang tak pernah pudar. Ia sadar, cinta sejati bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang mengingat dan merasakan kehadiran meski tak lagi berwujud.

Malam itu, pria tua itu pulang dengan hati yang lebih tenang, membawa serta kenangan yang terbungkus rindu. Di balik jendela kamarnya, ia menatap langit untuk terakhir kali sebelum tidur. Dan di dalam mimpinya, ia bertemu kembali dengan cinta yang selama ini ia cari. Dalam pelukan malam, mereka bersatu kembali, meski hanya dalam mimpi yang abadi.

Dalam tidur, kutemukanmu,
Di dunia yang tak kenal jarak dan waktu,
Kita menari di bawah sinar bulan,
Tanpa kata, tanpa luka yang menganga.

Meski pagi kan memisah kita,
Dan kau kembali jadi kenangan semata,
Biarlah malam ini aku bahagia,
Bersamamu, dalam mimpi yang tak berakhir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun