Di sebuah senja yang temaram, angin membawa sepi yang merambat perlahan. Langit memancarkan warna jingga keemasan, seolah menyembunyikan setiap cerita yang telah hilang di balik cahaya terakhir. Di bawah pohon yang renta, seorang pria tua duduk dengan pandangan kosong, menatap jauh ke arah lautan yang mulai menggelap. Hatinya penuh oleh kenangan, oleh cinta yang pernah ada, dan oleh rasa kehilangan yang tak kunjung pergi.
Ia menghela napas panjang, seolah mencoba menghirup setiap serpihan masa lalu yang tertinggal di udara. Ingatan tentang wajah-wajah yang ia cintai kini hanya tersisa sebagai bayang-bayang samar. Namun, ia tahu bahwa di dalam hatinya, kenangan itu tetap hidup, meski terkadang menyakitkan.
Di bawah langit merah saga,
Kutatap jejak-jejak senja,
Kenangan datang bagai ombak,
Menghempas hati yang rapuh dan retak.
Kau pernah di sini, dalam diam,
Menemani hari-hari kelam,
Kini kau pergi, tak berjejak,
Tinggalkan bayang yang kian meretak.
Waktu berjalan, tiada henti,
Menggulung harap dalam sunyi,
Kuingin bertanya pada angin,
Mengapa kau pergi tanpa pesan?
Malam pun tiba, menggantikan jingga senja dengan gelap yang pekat. Pria itu tetap di sana, dengan mata terpejam, seolah merasakan kehadiran yang tak terlihat. Ia teringat akan seseorang yang pernah ia sayangi, yang kini telah pergi meninggalkannya sendirian di dunia yang begitu luas namun terasa sempit.
"Apakah kau juga merindukan malam-malam seperti ini?" gumamnya perlahan. "Atau mungkin kau telah melupakan semua yang pernah kita jalani bersama?"
Tak ada jawaban, hanya suara ombak yang memecah keheningan, membawa pergi setiap pertanyaan yang tak terucapkan. Dan pria tua itu tahu, meskipun ia terus menunggu, jawabannya tak akan pernah datang. Hanya sepi yang setia menemani, hanya angin yang sudi mendengar.
Malam sunyi, aku bertanya,
Pada bintang yang berkedip lelah,
Apakah kau juga menunggu?
Apakah kau juga merindu?
Kutitipkan sajak di ujung malam,
Semoga kau dengar di alam mimpi,
Sebab cinta tak kenal batas,
Menyusuri ruang tanpa jeda, tanpa lelah.