Selain itu, pengawasan diri akan menciptakan perasaan puas atas tanggung jawab yang mereka pikul dan membantu mereka memaknai tugas profesi sebagai panggilan moral. Dengan adanya kontrol diri, seorang hakim tidak mudah tergoda oleh materi atau kenikmatan, tetapi fokus pada misi utama yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Ketika seorang hakim benar-benar menginternalisasi nilai-nilai ini, mereka mampu menempatkan profesionalisme dan integritas di atas segala dorongan yang bersifat material.
Mengawasi Diri Sendiri Sebagai Solusi Etis yang Fundamental
Konsep "mengawasi diri sendiri" menuntut setiap hakim untuk memiliki integritas yang tak tergoyahkan, sebuah komitmen yang tidak didorong oleh rasa takut pada hukuman, tetapi karena mereka percaya pada nilai intrinsik dari tugas mereka sebagai penegak hukum. Sebagaimana Aristoteles menjelaskan dalam virtue ethics, tindakan moral yang benar akan muncul dari karakter yang berkeutamaan, yaitu karakter yang didasarkan pada kebajikan dan nilai-nilai luhur. Dengan adanya pengawasan diri, integritas seorang hakim tidak hanya bersifat formal, tetapi merupakan kesadaran moral yang tertanam dalam setiap tindakan mereka.
Ketika setiap hakim bisa menerapkan self-regulation, mereka akan terus mempertimbangkan konsekuensi etis dari tindakan mereka tanpa perlu diawasi oleh pihak eksternal. Pengawasan diri yang kuat mengajarkan individu untuk bertindak secara benar meskipun tidak ada yang mengawasi, sehingga memperkuat budaya integritas di seluruh sistem peradilan.
Di era di mana nilai-nilai materialisme dan hedonisme semakin merasuk ke berbagai lapisan masyarakat, hakim harus memiliki komitmen yang lebih kuat terhadap integritas moral. Kehidupan modern dengan segala godaannya menuntut para hakim untuk tidak hanya mengandalkan kode etik yang tertulis, tetapi juga menghidupi nilai-nilai etika tersebut secara internal melalui pengawasan diri. Ketika integritas menjadi bagian dari identitas seorang hakim, mereka tidak hanya melindungi diri sendiri dari korupsi, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Dengan demikian, konsep “mengawasi diri sendiri” bukanlah sekadar wacana, tetapi merupakan pendekatan yang dapat diterapkan untuk membentengi integritas di tengah ancaman gaya hidup materialisme dan hedonisme. Pengawasan diri akan mengingatkan para hakim bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada kemewahan atau kekayaan, tetapi dalam menjalankan tugas dengan jujur dan memberikan keadilan kepada masyarakat.
Penutup: Budaya Mengawasi Diri Sendiri sebagai Benteng Terakhir Integritas
Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi peradilan, pengawasan diri muncul sebagai solusi yang efektif dan mendasar untuk mengatasi korupsi. Dengan menginternalisasi rasa tanggung jawab dan kesadaran etis, setiap hakim diharapkan mampu menjaga integritas pribadi mereka. Pengawasan diri tidak hanya melindungi integritas seorang hakim, tetapi juga membantu membangun kembali kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan.
Sebagaimana filosofi integritas yang diusung oleh pemikir-pemikir besar, seperti Aristoteles dan Nietzsche, keadilan sejati hanya akan tercapai ketika setiap penegak hukum mampu bertindak dengan kebajikan yang tulus. Integritas yang lahir dari dalam, melalui pengawasan diri, akan menjadi pondasi kokoh yang memungkinkan hakim untuk menolak segala godaan korupsi dan, pada akhirnya, menegakkan keadilan yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H