Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Self-Regulation sebagai Upaya Mereduksi Korupsi Judisial. Oleh : Rudi Sinaba

28 Oktober 2024   12:52 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:20 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bukunya Ethics and the Limits of Philosophy, Bernard Williams menjelaskan bahwa hedonisme memiliki kecenderungan untuk mengaburkan batas moral karena menjadikan kenikmatan sebagai tujuan tertinggi. Dalam profesi yang memiliki kode etik seperti peradilan, hedonisme menjadi ancaman nyata, karena hakim yang terpengaruh oleh prinsip ini dapat melupakan tanggung jawab mereka dan mengabaikan dampak sosial dari tindakan mereka. Misalnya, kesenangan sesaat yang diperoleh dari suap mungkin dinilai “sepadan” jika dibandingkan dengan risiko dan dampak jangka panjang pada keadilan dan integritas peradilan.

Materialisme dan Hedonisme sebagai “Penggerus” Sumpah Jabatan dan Kode Etik

Sumpah jabatan yang diikrarkan oleh seorang hakim sejatinya adalah janji moral untuk menegakkan keadilan tanpa pengaruh dari kepentingan pribadi. Namun, materialisme dan hedonisme memiliki daya tarik yang dapat merusak komitmen ini. Dalam pandangan etika profesional, seperti yang dijelaskan oleh Sissela Bok, seorang filsuf kontemporer, sumpah etis adalah komitmen yang seharusnya melindungi integritas seseorang dari konflik kepentingan pribadi. Bok berargumen bahwa ketika sumpah dilanggar demi keuntungan pribadi, kerusakan tidak hanya terjadi pada diri individu, tetapi juga pada institusi dan masyarakat yang mempercayainya.

Pada saat seorang hakim membiarkan materialisme dan hedonisme membentuk gaya hidup mereka, kode etik yang dulunya dijunjung tinggi bisa kehilangan makna. Pelanggaran yang awalnya tampak kecil dapat berlanjut menjadi tindakan korupsi yang lebih besar. Bahkan, ketika hasrat untuk kemewahan menjadi bagian dari kehidupan,Bahkan, ketika hasrat untuk kemewahan menjadi bagian dari kehidupan, komitmen seorang hakim terhadap keadilan bisa terkikis sedikit demi sedikit. Proses ini tidak selalu terjadi secara instan; seringkali ia muncul secara bertahap melalui kompromi-kompromi kecil yang, lama-kelamaan, melonggarkan integritas etis seorang hakim. Misalnya, penerimaan “hadiah kecil” yang awalnya dianggap tidak berbahaya bisa membuka jalan bagi tawaran yang lebih besar di kemudian hari. Saat kebiasaan mengejar kepuasan pribadi dan kemewahan semakin terbentuk, motivasi untuk bertindak sesuai kode etik berkurang, dan akhirnya, tindakan korupsi pun dianggap lumrah.

Para filsuf moralitas seperti Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan seseorang harus didasarkan pada prinsip yang bisa diuniversalkan dan bukan untuk keuntungan pribadi. Bagi Kant, seorang hakim seharusnya bertindak berdasarkan prinsip keadilan tanpa memedulikan keuntungan pribadi, karena keadilan adalah tugas moral yang harus ditegakkan secara konsisten. Namun, ketika prinsip materialisme dan hedonisme mulai berpengaruh, para penegak hukum seperti hakim akan melihat etika sebagai sesuatu yang “fleksibel”—sebuah kerangka moral yang bisa disesuaikan demi kenyamanan dan kepuasan diri.

Materialisme dan Hedonisme sebagai Tantangan Integritas

Materialisme dan hedonisme bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga suatu pola pikir yang bisa mengubah cara seseorang memandang peran mereka dalam masyarakat. Seorang hakim yang terpengaruh oleh gaya hidup seperti ini tidak lagi melihat posisinya sebagai “pelayan keadilan,” tetapi sebagai sarana untuk memperoleh manfaat pribadi. Filosof Max Weber pernah memperingatkan bahwa profesionalisme dalam pekerjaan seharusnya tidak dikotori oleh nilai-nilai eksternal seperti materi dan kenikmatan yang bisa mengaburkan fokus utama dari peran mereka.

Weber juga memperkenalkan konsep “etos kerja,” di mana ia menekankan bahwa pekerjaan harus dijalankan dengan kesungguhan moral dan tanggung jawab tinggi. Namun, ketika etos kerja digantikan oleh dorongan materialisme, pekerjaan seorang hakim berubah menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup yang mewah. Saat ini terjadi, sumpah jabatan dan komitmen terhadap keadilan justru menjadi penghalang yang terasa membatasi keinginan pribadi, bukan sebagai pedoman moral yang menjaga mereka dari penyimpangan.

Mengatasi Pengaruh Materialisme dan Hedonisme dengan Pengawasan Diri

Di tengah derasnya pengaruh materialisme dan hedonisme, pengawasan diri menjadi benteng terakhir untuk menjaga komitmen terhadap keadilan. Mengawasi diri sendiri berarti menginternalisasi nilai-nilai moral dan prinsip keadilan sebagai bagian dari identitas profesional. Seorang hakim yang memiliki pengawasan diri akan memiliki kontrol internal yang kuat terhadap dorongan-dorongan pribadi, sehingga mereka bisa mengelola keinginan akan materi atau kesenangan dengan baik.

Filsuf klasik seperti Epictetus dan Seneca dari aliran Stoikisme mengajarkan pentingnya kontrol diri sebagai cara untuk menghindari ketergantungan pada kekayaan dan kenikmatan duniawi. Menurut mereka, seseorang yang bijak akan mencari kebahagiaan dalam integritas dan pemenuhan tugas moral, bukan dalam kepemilikan atau kemewahan. Bagi seorang hakim, ajaran Stoikisme ini relevan karena tugas mereka adalah melayani keadilan dan bukan diri sendiri. Dengan memiliki pengawasan diri, seorang hakim tidak hanya mampu menjaga diri dari korupsi, tetapi juga memberikan contoh etis bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun