Dalam pandangan ahli sosial, seperti sosiolog Emile Durkheim, ketika integritas menjadi "norma internal" atau sesuatu yang melekat dalam diri seseorang, maka tindakan korupsi tidak lagi tergantung pada adanya pengawasan atau tidak. Durkheim menekankan bahwa norma sosial yang terinternalisasi lebih efektif dalam mengatur tindakan individu dibandingkan sanksi eksternal yang dipaksakan. Oleh karena itu, jika setiap hakim mampu melakukan pengawasan diri, integritas menjadi bagian dari identitas mereka, bukan sesuatu yang hanya mereka tunjukkan ketika ada pengawasan.
Nihilisme Moral: Ketika Hukum Kehilangan Esensinya
Nihilisme moral adalah pandangan yang menganggap bahwa nilai-nilai dan moralitas tidak memiliki dasar yang objektif. Dengan kata lain, prinsip-prinsip etika dianggap tidak lebih dari formalitas belaka, dan tidak ada yang benar-benar "benar" atau "salah." Ketika seorang hakim mengadopsi nihilisme moral, mereka mungkin mulai melihat hukum bukan lagi sebagai prinsip yang harus ditegakkan demi keadilan, tetapi sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan pribadi. Friedrich Nietzsche, seorang filosof besar yang mengamati fenomena nihilisme, menyoroti bahwa ketika individu kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai moral, mereka akan mengalami krisis eksistensial yang pada akhirnya menuntun pada keputusasaan dan ketidakpedulian.
Seorang hakim yang terjebak dalam nihilisme moral akan melihat hukum sebagai aturan yang bisa "dibengkokkan" demi keuntungan sendiri. Ketika moralitas diabaikan, tindakan korupsi menjadi lebih mudah dilakukan karena individu merasa tidak ada tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Self-regulation atau pengawasan diri yang baik dapat mencegah munculnya nihilisme moral dengan terus-menerus mengingatkan individu pada tanggung jawab etis yang mereka emban.
Pengaruh Gaya Hidup Materialisme dan Hedonisme terhadap Integritas Hakim
Di tengah eksposur media dan dinamika ekonomi, fenomena materialisme dan hedonisme semakin banyak memengaruhi perilaku profesional, termasuk di lingkungan peradilan. Materialisme, yang mendewakan nilai-nilai kepemilikan materi sebagai tujuan utama hidup, serta hedonisme, yang mengejar kesenangan sebagai prioritas utama, dapat melemahkan komitmen etis seseorang terhadap integritas dan tanggung jawab moral. Dalam profesi hakim, yang idealnya berlandaskan pada prinsip moralitas tinggi dan komitmen untuk menegakkan keadilan, pengaruh gaya hidup seperti ini bisa merusak kode etik yang pernah diikrarkan dalam sumpah jabatan.
Materialisme dan Pencarian Status melalui Kekayaan
Materialisme menempatkan kepemilikan materi sebagai ukuran kesuksesan. Dalam kondisi sosial di mana kekayaan menjadi simbol status, seorang hakim mungkin merasa terdorong untuk "mengejar standar hidup" yang diinginkan, meskipun cara-cara itu bertentangan dengan kode etik profesi mereka. Fenomena ini semakin menguat ketika masyarakat dan lingkungan kerja mulai menilai seseorang berdasarkan kepemilikan, bukan atas integritas atau prestasi moral. Ahli psikologi sosial, Tim Kasser, dalam penelitiannya mengenai materialisme dan kesejahteraan psikologis, menemukan bahwa semakin tinggi nilai seseorang pada materi, semakin rendah kesejahteraan psikologis dan moralitasnya. Ketika kepuasan hidup ditentukan oleh materi, dorongan untuk memperolehnya dengan cara apa pun semakin tinggi.
Dalam konteks profesi hakim, materialisme dapat menggerus prinsip dasar mereka dan membuat mereka rentan terhadap tawaran suap atau korupsi. Keinginan untuk memperkaya diri, bahkan dengan risiko merusak integritas, bisa terjadi karena obsesi pada status dan gaya hidup yang dianggap “berkelas.” Akibatnya, standar etika yang seharusnya menjadi pijakan malah tergeser oleh ambisi pribadi.
Hedonisme dan Pengejaran Kepuasan Pribadi
Hedonisme mempromosikan prinsip bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi, dan karena itu segala sesuatu yang memberikan kesenangan, bahkan jika bertentangan dengan etika, dianggap sah untuk dikejar. Ketika seorang hakim hidup dalam bayang-bayang hedonisme, mereka mungkin merasa berhak untuk menikmati fasilitas dan kemewahan tertentu sebagai hasil dari posisi mereka. Hedonisme ini sering kali membawa individu pada tindakan yang mengorbankan etika demi kenikmatan pribadi.