Pendahuluan
Kasus korupsi di lingkungan badan peradilan belakangan ini tidak hanya mencoreng wajah peradilan, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.
Di tahun ini sebut saja, kasus yang menjerat HH Sekretaris Mahkamah Agung, Hakim Agung GS dan terakhir di bulan Oktober 2024 ini kita dikejutkan dengan berita ditangkapnya ZR mantan pejabat Mahkamah Agung karena menjadi makelar perkara yang menjerat 3 hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, masih menghiasi media tanah air. Mirisnya, di rumah ZR Kejaksaan Agung menyita uang hampir 1 triliun rupiah dan emas 51 kg yang diduga hasil praktek makelar perkara oleh ZR selama bertugas sebagai pejabat di Mahkamah Agung sejak tahun 2012 sampai 2022.
Para pemerhati hukum tentu saja bertanya-tanya perkara apa saja yang pernah dimakelari oleh ZR, jika ini bergulir tentu saja akan menyeret lebih banyak lagi hakim dan pejabat pengadilan, mengingat ZR mengaku lupa perkara apa saja yang pernah dimakelarinya.
Bagaimana mungkin para hakim yang sudah berikrar di bawah sumpah, memahami hukum, dan menyadari ancaman pidana, tetap tergoda oleh suap? Mengapa pengawasan eksternal, yang selama ini dipercaya mampu mengawasi hakim dan lembaga peradilan, tetap gagal menghalangi mereka dari tindak korupsi? Beberapa ahli menduga bahwa kasus-kasus yang terungkap hanyalah puncak gunung es sebuah gejala bahwa masih banyak kasus lain yang belum terdeteksi.
Di tengah krisis kepercayaan ini, pendekatan pengawasan diri sendiri atau self-regulation muncul sebagai konsep menarik yang layak untuk didalami. Mengawasi diri sendiri, yang lahir dari kesadaran moral individu, berpotensi menjadi benteng terakhir untuk melindungi integritas hakim. Dengan adanya self-regulation, seorang hakim tidak lagi hanya bertindak benar karena diawasi atau takut sanksi, tetapi karena ia memahami bahwa perannya sebagai penegak hukum menuntut komitmen etis yang tinggi. Menurut Aristoteles, tindakan manusia yang benar bukan hanya bergantung pada aturan, melainkan pada karakter baik yang dibentuk dari kebiasaan, etika, dan kebajikan. Pengawasan diri membawa harapan bagi kita untuk menyaksikan kebangkitan kembali peradilan yang benar-benar berintegritas.
Dehumanisasi dan Hilangnya Makna Keadilan
Salah satu alasan penting mengapa self-regulation diperlukan adalah untuk mencegah proses dehumanisasi yang terjadi di kalangan hakim. Dehumanisasi adalah kondisi di mana individu mulai melihat manusia, dalam hal ini para pencari keadilan, bukan lagi sebagai entitas yang memiliki hak dan martabat, tetapi sebagai alat atau sumber penghasilan. Ketika seorang hakim terjebak dalam praktik korupsi, makna keadilan sering kali hilang dan digantikan oleh kepentingan pribadi. Viktor Frankl, seorang psikolog yang mengembangkan teori logo-therapy, menekankan pentingnya manusia menemukan makna dalam setiap aspek hidup, termasuk dalam pekerjaan. Menurutnya, hilangnya makna adalah akar dari kekosongan eksistensial, dan orang yang mengalami kekosongan ini cenderung mencari penggantinya dalam bentuk material atau kepuasan egoistik.
Dengan pengawasan diri, seorang hakim bisa terus mengingatkan diri bahwa ia berperan untuk menegakkan keadilan yang bermakna, bukan untuk keuntungan pribadi. Saat individu menjaga makna luhur dari tugas mereka, risiko dehumanisasi pun berkurang karena mereka melihat pekerjaan mereka bukan sekadar "pemasukan," melainkan tanggung jawab moral yang mengarah pada pemaknaan hidup yang lebih besar.
Gejala "Gunung Es" dan Fenomena "Kurang Beruntung" Dalam Korupsi Judicial
Kenyataan bahwa banyak kasus korupsi hakim yang hanya terungkap karena "kurang beruntung" atau "tidak sengaja" menunjukkan lemahnya efektivitas pengawasan eksternal. Pengawasan semacam ini hanya mengandalkan keberuntungan dalam menemukan pelanggaran, sementara tindakan korupsi lain bisa saja tersembunyi dan tetap berlangsung. Fenomena ini dikenal sebagai "gejala gunung es," di mana hanya sebagian kecil dari masalah yang terlihat di permukaan, sementara sisanya tetap tidak terdeteksi. Dengan kata lain, hanya sebagian kecil tindakan korupsi yang terungkap, sementara yang lainnya mungkin tak terlihat karena keterbatasan pengawasan.
Dalam pandangan ahli sosial, seperti sosiolog Emile Durkheim, ketika integritas menjadi "norma internal" atau sesuatu yang melekat dalam diri seseorang, maka tindakan korupsi tidak lagi tergantung pada adanya pengawasan atau tidak. Durkheim menekankan bahwa norma sosial yang terinternalisasi lebih efektif dalam mengatur tindakan individu dibandingkan sanksi eksternal yang dipaksakan. Oleh karena itu, jika setiap hakim mampu melakukan pengawasan diri, integritas menjadi bagian dari identitas mereka, bukan sesuatu yang hanya mereka tunjukkan ketika ada pengawasan.
Nihilisme Moral: Ketika Hukum Kehilangan Esensinya
Nihilisme moral adalah pandangan yang menganggap bahwa nilai-nilai dan moralitas tidak memiliki dasar yang objektif. Dengan kata lain, prinsip-prinsip etika dianggap tidak lebih dari formalitas belaka, dan tidak ada yang benar-benar "benar" atau "salah." Ketika seorang hakim mengadopsi nihilisme moral, mereka mungkin mulai melihat hukum bukan lagi sebagai prinsip yang harus ditegakkan demi keadilan, tetapi sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan pribadi. Friedrich Nietzsche, seorang filosof besar yang mengamati fenomena nihilisme, menyoroti bahwa ketika individu kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai moral, mereka akan mengalami krisis eksistensial yang pada akhirnya menuntun pada keputusasaan dan ketidakpedulian.
Seorang hakim yang terjebak dalam nihilisme moral akan melihat hukum sebagai aturan yang bisa "dibengkokkan" demi keuntungan sendiri. Ketika moralitas diabaikan, tindakan korupsi menjadi lebih mudah dilakukan karena individu merasa tidak ada tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Self-regulation atau pengawasan diri yang baik dapat mencegah munculnya nihilisme moral dengan terus-menerus mengingatkan individu pada tanggung jawab etis yang mereka emban.
Pengaruh Gaya Hidup Materialisme dan Hedonisme terhadap Integritas Hakim
Di tengah eksposur media dan dinamika ekonomi, fenomena materialisme dan hedonisme semakin banyak memengaruhi perilaku profesional, termasuk di lingkungan peradilan. Materialisme, yang mendewakan nilai-nilai kepemilikan materi sebagai tujuan utama hidup, serta hedonisme, yang mengejar kesenangan sebagai prioritas utama, dapat melemahkan komitmen etis seseorang terhadap integritas dan tanggung jawab moral. Dalam profesi hakim, yang idealnya berlandaskan pada prinsip moralitas tinggi dan komitmen untuk menegakkan keadilan, pengaruh gaya hidup seperti ini bisa merusak kode etik yang pernah diikrarkan dalam sumpah jabatan.
Materialisme dan Pencarian Status melalui Kekayaan
Materialisme menempatkan kepemilikan materi sebagai ukuran kesuksesan. Dalam kondisi sosial di mana kekayaan menjadi simbol status, seorang hakim mungkin merasa terdorong untuk "mengejar standar hidup" yang diinginkan, meskipun cara-cara itu bertentangan dengan kode etik profesi mereka. Fenomena ini semakin menguat ketika masyarakat dan lingkungan kerja mulai menilai seseorang berdasarkan kepemilikan, bukan atas integritas atau prestasi moral. Ahli psikologi sosial, Tim Kasser, dalam penelitiannya mengenai materialisme dan kesejahteraan psikologis, menemukan bahwa semakin tinggi nilai seseorang pada materi, semakin rendah kesejahteraan psikologis dan moralitasnya. Ketika kepuasan hidup ditentukan oleh materi, dorongan untuk memperolehnya dengan cara apa pun semakin tinggi.
Dalam konteks profesi hakim, materialisme dapat menggerus prinsip dasar mereka dan membuat mereka rentan terhadap tawaran suap atau korupsi. Keinginan untuk memperkaya diri, bahkan dengan risiko merusak integritas, bisa terjadi karena obsesi pada status dan gaya hidup yang dianggap “berkelas.” Akibatnya, standar etika yang seharusnya menjadi pijakan malah tergeser oleh ambisi pribadi.
Hedonisme dan Pengejaran Kepuasan Pribadi
Hedonisme mempromosikan prinsip bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi, dan karena itu segala sesuatu yang memberikan kesenangan, bahkan jika bertentangan dengan etika, dianggap sah untuk dikejar. Ketika seorang hakim hidup dalam bayang-bayang hedonisme, mereka mungkin merasa berhak untuk menikmati fasilitas dan kemewahan tertentu sebagai hasil dari posisi mereka. Hedonisme ini sering kali membawa individu pada tindakan yang mengorbankan etika demi kenikmatan pribadi.
Dalam bukunya Ethics and the Limits of Philosophy, Bernard Williams menjelaskan bahwa hedonisme memiliki kecenderungan untuk mengaburkan batas moral karena menjadikan kenikmatan sebagai tujuan tertinggi. Dalam profesi yang memiliki kode etik seperti peradilan, hedonisme menjadi ancaman nyata, karena hakim yang terpengaruh oleh prinsip ini dapat melupakan tanggung jawab mereka dan mengabaikan dampak sosial dari tindakan mereka. Misalnya, kesenangan sesaat yang diperoleh dari suap mungkin dinilai “sepadan” jika dibandingkan dengan risiko dan dampak jangka panjang pada keadilan dan integritas peradilan.
Materialisme dan Hedonisme sebagai “Penggerus” Sumpah Jabatan dan Kode Etik
Sumpah jabatan yang diikrarkan oleh seorang hakim sejatinya adalah janji moral untuk menegakkan keadilan tanpa pengaruh dari kepentingan pribadi. Namun, materialisme dan hedonisme memiliki daya tarik yang dapat merusak komitmen ini. Dalam pandangan etika profesional, seperti yang dijelaskan oleh Sissela Bok, seorang filsuf kontemporer, sumpah etis adalah komitmen yang seharusnya melindungi integritas seseorang dari konflik kepentingan pribadi. Bok berargumen bahwa ketika sumpah dilanggar demi keuntungan pribadi, kerusakan tidak hanya terjadi pada diri individu, tetapi juga pada institusi dan masyarakat yang mempercayainya.
Pada saat seorang hakim membiarkan materialisme dan hedonisme membentuk gaya hidup mereka, kode etik yang dulunya dijunjung tinggi bisa kehilangan makna. Pelanggaran yang awalnya tampak kecil dapat berlanjut menjadi tindakan korupsi yang lebih besar. Bahkan, ketika hasrat untuk kemewahan menjadi bagian dari kehidupan,Bahkan, ketika hasrat untuk kemewahan menjadi bagian dari kehidupan, komitmen seorang hakim terhadap keadilan bisa terkikis sedikit demi sedikit. Proses ini tidak selalu terjadi secara instan; seringkali ia muncul secara bertahap melalui kompromi-kompromi kecil yang, lama-kelamaan, melonggarkan integritas etis seorang hakim. Misalnya, penerimaan “hadiah kecil” yang awalnya dianggap tidak berbahaya bisa membuka jalan bagi tawaran yang lebih besar di kemudian hari. Saat kebiasaan mengejar kepuasan pribadi dan kemewahan semakin terbentuk, motivasi untuk bertindak sesuai kode etik berkurang, dan akhirnya, tindakan korupsi pun dianggap lumrah.
Para filsuf moralitas seperti Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan seseorang harus didasarkan pada prinsip yang bisa diuniversalkan dan bukan untuk keuntungan pribadi. Bagi Kant, seorang hakim seharusnya bertindak berdasarkan prinsip keadilan tanpa memedulikan keuntungan pribadi, karena keadilan adalah tugas moral yang harus ditegakkan secara konsisten. Namun, ketika prinsip materialisme dan hedonisme mulai berpengaruh, para penegak hukum seperti hakim akan melihat etika sebagai sesuatu yang “fleksibel”—sebuah kerangka moral yang bisa disesuaikan demi kenyamanan dan kepuasan diri.
Materialisme dan Hedonisme sebagai Tantangan Integritas
Materialisme dan hedonisme bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga suatu pola pikir yang bisa mengubah cara seseorang memandang peran mereka dalam masyarakat. Seorang hakim yang terpengaruh oleh gaya hidup seperti ini tidak lagi melihat posisinya sebagai “pelayan keadilan,” tetapi sebagai sarana untuk memperoleh manfaat pribadi. Filosof Max Weber pernah memperingatkan bahwa profesionalisme dalam pekerjaan seharusnya tidak dikotori oleh nilai-nilai eksternal seperti materi dan kenikmatan yang bisa mengaburkan fokus utama dari peran mereka.
Weber juga memperkenalkan konsep “etos kerja,” di mana ia menekankan bahwa pekerjaan harus dijalankan dengan kesungguhan moral dan tanggung jawab tinggi. Namun, ketika etos kerja digantikan oleh dorongan materialisme, pekerjaan seorang hakim berubah menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup yang mewah. Saat ini terjadi, sumpah jabatan dan komitmen terhadap keadilan justru menjadi penghalang yang terasa membatasi keinginan pribadi, bukan sebagai pedoman moral yang menjaga mereka dari penyimpangan.
Mengatasi Pengaruh Materialisme dan Hedonisme dengan Pengawasan Diri
Di tengah derasnya pengaruh materialisme dan hedonisme, pengawasan diri menjadi benteng terakhir untuk menjaga komitmen terhadap keadilan. Mengawasi diri sendiri berarti menginternalisasi nilai-nilai moral dan prinsip keadilan sebagai bagian dari identitas profesional. Seorang hakim yang memiliki pengawasan diri akan memiliki kontrol internal yang kuat terhadap dorongan-dorongan pribadi, sehingga mereka bisa mengelola keinginan akan materi atau kesenangan dengan baik.
Filsuf klasik seperti Epictetus dan Seneca dari aliran Stoikisme mengajarkan pentingnya kontrol diri sebagai cara untuk menghindari ketergantungan pada kekayaan dan kenikmatan duniawi. Menurut mereka, seseorang yang bijak akan mencari kebahagiaan dalam integritas dan pemenuhan tugas moral, bukan dalam kepemilikan atau kemewahan. Bagi seorang hakim, ajaran Stoikisme ini relevan karena tugas mereka adalah melayani keadilan dan bukan diri sendiri. Dengan memiliki pengawasan diri, seorang hakim tidak hanya mampu menjaga diri dari korupsi, tetapi juga memberikan contoh etis bagi masyarakat.
Selain itu, pengawasan diri akan menciptakan perasaan puas atas tanggung jawab yang mereka pikul dan membantu mereka memaknai tugas profesi sebagai panggilan moral. Dengan adanya kontrol diri, seorang hakim tidak mudah tergoda oleh materi atau kenikmatan, tetapi fokus pada misi utama yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Ketika seorang hakim benar-benar menginternalisasi nilai-nilai ini, mereka mampu menempatkan profesionalisme dan integritas di atas segala dorongan yang bersifat material.
Mengawasi Diri Sendiri Sebagai Solusi Etis yang Fundamental
Konsep "mengawasi diri sendiri" menuntut setiap hakim untuk memiliki integritas yang tak tergoyahkan, sebuah komitmen yang tidak didorong oleh rasa takut pada hukuman, tetapi karena mereka percaya pada nilai intrinsik dari tugas mereka sebagai penegak hukum. Sebagaimana Aristoteles menjelaskan dalam virtue ethics, tindakan moral yang benar akan muncul dari karakter yang berkeutamaan, yaitu karakter yang didasarkan pada kebajikan dan nilai-nilai luhur. Dengan adanya pengawasan diri, integritas seorang hakim tidak hanya bersifat formal, tetapi merupakan kesadaran moral yang tertanam dalam setiap tindakan mereka.
Ketika setiap hakim bisa menerapkan self-regulation, mereka akan terus mempertimbangkan konsekuensi etis dari tindakan mereka tanpa perlu diawasi oleh pihak eksternal. Pengawasan diri yang kuat mengajarkan individu untuk bertindak secara benar meskipun tidak ada yang mengawasi, sehingga memperkuat budaya integritas di seluruh sistem peradilan.
Di era di mana nilai-nilai materialisme dan hedonisme semakin merasuk ke berbagai lapisan masyarakat, hakim harus memiliki komitmen yang lebih kuat terhadap integritas moral. Kehidupan modern dengan segala godaannya menuntut para hakim untuk tidak hanya mengandalkan kode etik yang tertulis, tetapi juga menghidupi nilai-nilai etika tersebut secara internal melalui pengawasan diri. Ketika integritas menjadi bagian dari identitas seorang hakim, mereka tidak hanya melindungi diri sendiri dari korupsi, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Dengan demikian, konsep “mengawasi diri sendiri” bukanlah sekadar wacana, tetapi merupakan pendekatan yang dapat diterapkan untuk membentengi integritas di tengah ancaman gaya hidup materialisme dan hedonisme. Pengawasan diri akan mengingatkan para hakim bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada kemewahan atau kekayaan, tetapi dalam menjalankan tugas dengan jujur dan memberikan keadilan kepada masyarakat.
Penutup: Budaya Mengawasi Diri Sendiri sebagai Benteng Terakhir Integritas
Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi peradilan, pengawasan diri muncul sebagai solusi yang efektif dan mendasar untuk mengatasi korupsi. Dengan menginternalisasi rasa tanggung jawab dan kesadaran etis, setiap hakim diharapkan mampu menjaga integritas pribadi mereka. Pengawasan diri tidak hanya melindungi integritas seorang hakim, tetapi juga membantu membangun kembali kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan.
Sebagaimana filosofi integritas yang diusung oleh pemikir-pemikir besar, seperti Aristoteles dan Nietzsche, keadilan sejati hanya akan tercapai ketika setiap penegak hukum mampu bertindak dengan kebajikan yang tulus. Integritas yang lahir dari dalam, melalui pengawasan diri, akan menjadi pondasi kokoh yang memungkinkan hakim untuk menolak segala godaan korupsi dan, pada akhirnya, menegakkan keadilan yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H