Pemerintah menetapkan 10 destinasi pariwisata sebagai Bali Baru untuk menggenjot devisa, salah satunya adalah Jakarta dengan Pulau Seribu dan Kota Tua sebagai tumpuannya. Pertanyaaannya, seberapa menarik Pulau Seribu dan Kota Tua atau Jakarta dalam mendatangkan wisatawan mancanegara untuk berkunjung?
Pertanyaan tadi sebenarnya sedikit berbenturan dengan apa yang pernah diulas Zipjet dalam rilis mereka "The 2017 Global Least & Most Stressful Cities Ranking": Jakarta dipandang sebagai salah satu kota yang paling dihindari di dunia!
Dalam publikasi tersebut Jakarta ditempatkan pada urutan 132 dari 150 kota yang diranking. Semakin tinggi urutan, maka kota dimaksud dipandang semakin "stressful".
Penggolongan seberapa bikin stres ini diukur dari 17 indikator yaitu kepadatan penduduk, ruang terbuka hijau, transportasi umum, kemacetan, keamanan, hari cerah, polusi udara, polusi suara, polusi cahaya, pengangguran, tingkat hutang masyarakat, jaminan sosial, daya beli masyarakat, kesehatan mental, kesetaraan jender, serta kesetaraan ras.Â
Dari 17 indikator tersebut Jakarta hanya unggul di aspek polusi cahaya (tidak terlalu banyak lampu) serta berlimpahnya sinar matahari sepanjang tahun. Keduanya adalah anugerah dari Tuhan.
Dengan ranking 132 ini, Jakarta hanya lebih baik dari Manila di antara negara ASEAN serta lebih baik dari beberapa kota yang disebut rawan kejahatan seperti Johannesberg, Sao Paolo, dan Mumbai juga kota sarat konflik seperti Damascus, Baghdad, Caracas, ataupun Kabul.
Sebenernya bukan tujuan utama saya untuk mencari keburukan Jakarta. Awalnya saya mau browsing ranking Jakarta di antara kota-kota lain di dunia yang paling banyak dikunjungi.
Nyatanya, ranking Jakarta sebagai salah kota yang paling bikin stres malah muncul di baris yang lebih atas pada peramban.Â
Sementara itu, pencarian saya tentang ranking Jakarta dalam hal banyaknya kunjungan juga tidak berujung manis.
Menurut laporan Euromonitor Internasional, Jakarta berada pada ranking 83 dari 100 negara yang paling banyak dikunjungi dengan jumlah kedatangan sebanyak 3,6 juta pada 2017.
Kota lain di Indonesia dengan ranking lebih baik tentu saja Denpasar yang berada pada ranking 50 dengan jumlah kunjungan 6,2 juta pada tahun 2017.
Sebenarnya cukup mengecewakan karena kota-kota Asia seperti Hongkong, Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur masuk dalam 10 besar dengan jumlah kunjungan di atas 12 juta sampai 25 juta per tahun.
Namun, harapan tetap ada dan kita patut optimis karena jumlah kunjungan ke Jakarta dan juga Denpasar melonjak masing-masing 48,5% dan 52,9% dari 2016 ke 2017 atau tertinggi di antara 100 negara yang masuk daftar. Kebijakan bebas visa yang diterapkan pemerintah disebut telah berhasil mendongkrak jumlah kunjungan.Â
Namun apalah artinya tingkat kunjungan yang meningkat kalau para traveller itu hanya pulang dengan membawa cerita buruk tentang Jakarta.
Upaya untuk mengubah persepsi Jakarta sebagai kota paling stressful di dunia perlu dilakukan segera sebelum terlambat, atau mungkin sebelum semakin parah. Infrastruktur dasar, transportasi umum, kebersihan, kerapihan, dan juga keamanan mesti mendapatkan prioritas.
Bukan hanya sekali ini saja saya mendapati ulasan buruk tentang Jakarta. Saya telah mendengarkan kekecewaan beberapa turis asing dan teman dari luar negeri yang berkunjung ke Jakarta. Begitu banyak kekecewaan yang saya dengar hingga saya berhenti mempromosikan dan mengundang teman atau kenalan untuk datang.
Kalau saya belum bisa menyelematkan wajah Jakarta, wajar kalau saya perlu menyelamatkan wajah saya sendiri.Â
Tiga tahun yang lalu dalam penerbangan Denpasar-Jakarta, saya duduk di sebelah turis asal Mesir yang baru saja menghabiskan liburan di Bali.
Dengan mata berbinar-binar, dia menceritakan bagaimana dia bersyukur memutuskan datang ke Bali saat sebagian besar temannya biasanya pergi ke Thailand.
Pantai-pantai yang menawan, budaya yang begitu unik, alam yang penuh petualangan, gunung, sungai, danau, suasana malam yang meriah dan menarik, serta tentu saja orang Bali yang ramah serta keamanan yang terjamin.Â
Dia cerita bagaimana dia tidak habis pikir setelah 3 jam memarkir motor dengan kunci masih di stang karena lupa, motor tersebut masih berada di tempatnya padahal suasana sangat rame. Semua pengalaman itu diceritakan dengan berapi-api dan saya yakin saat pulang dia akan bercerita serupa kepada keluarga dan teman-temannya. Bali memang layak mendapatkan kehormatan itu.
Saat saya tanya kenapa tidak mampir di Jakarta, dia bilang bahwa dia sangat kecewa dengan Jakarta.
Saat transit di Jakarta dari Dubai sebelum ke Bali, orang Mesir ini menyempatkan diri keluar bandara di tengah malam. Namun betapa dia sangat kecewa karena dipaksa membayar Rp 1 juta oleh sopir taksi yang kemudian dia tawar menjadi Rp 500 ribu untuk diturunkan di tempat gelap yang dia sebut dekat "temple" yang ternyata adalah Monas. Karena malam, dia juga tidak tahu harus kemana.
"Saya tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta," katanya.
Cerita lain terjadi 2 tahun yang lalu saat seorang teman dari luar negeri mengunjungi saya di Jakarta.
Sebelum di Jakarta, kita sempat travelling bareng ke Bali, Lombok, Surabaya, dan Borobudur.
Seperti kesan orang Mesir tadi, si teman ini sangat terkesan dengan Bali dan Lombok. Sepanjang perjalanan tak jarang dia melihat kembali foto-foto selama di Bali dan Lombok.
Entah mengapa Surabaya dan Borobudur tidak terlalu membuatnya berkesan. Saya lebih menyukai alam seperti pantai, gunung, dan danau ujarnya. Bagi saya preferensi orang memang bisa beda-beda, bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah saat di Jakarta.Â
Saya sempatkan mengajak ke Kota Tua, ikon bersejarah Jakarta. Tapi baru saja menginjakkan kaki di sekitaran Kota Tua, dia langsung pucat pasi melihat kemacetan di area Kota Tua, banyaknya pedagang di kanan kiri jalan, dan banyaknya orang yang lalu lalang.
Memang saat itu adalah libur panjang anak sekolah. Keringat dingin langsung bercucuran dan belum juga memasuki areal Kota Tua dia sudah mengajak meninggalkan area itu. Tapi Kota Tua bukanlah bagian terburuk.Â
Karena saya kerja, teman ini saya ajari bagaimana memilih taksi dan juga mencoba Trans Jakarta kalau pengin jalan sendiri.
Dua hari pertama lancar-lancar saja, sampai saat hari ketiga ketika dia mau balik ke Eropa, hanya 6 jam sebelum jadwal penerbangan, teman saya ini kecopetan dan kehilangan dompet, plus IPhone.
Saat saya tanya apakah sempat melapor ke petugas di halte busway, dengan penuh penyesalan dia bilang bahkan orang di halte busway sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan.
Saat bertemu kembali beberapa waktu lalu dengan bercanda dia bilang,"You do not know how sorry I was for coming to Jakarta". Saya hanya bisa menyeringai penuh penyesalan.
Bukannya mau membuka aib Jakarta, tapi satu lagi cerita yang membuat saya takut mempromosikan Jakarta.
Beberapa waktu lalu saat mengurus tiket di Interlaken, saya menyodorkan paspor saya ke petugas tiket, seorang perempuan muda yang ramah. Dia bertanya di bagian mana di Indonesia saya tinggal. Dugaan saya, orang ini pernah ke Indonesia.
Saat saya bilang saya tinggal di Jakarta dia langsung menghela nafas dan bilang "Oh Goooddddd". Bukan pertanda bagus. "I got so stressed in Jakarta". Sekali lagi saya shocked.
Dia menyebutkan udara yang panas, transportasi yang susah, kaki lima yang berantakan dan terlihat kumuh, serta orang-orang yang tidak bisa berbahasa Inggris.Â
What can I say? Nothing. That's all true.
Demikianlah. Terlalu banyak penyesalan turis saat datang ke Jakarta. Begitu berat permasalahan yang disandang kota ini yang tidak akan selesai dalam satu malam, 1 tahun, 10 tahun, atau mungkin 50 tahun ke depan.
Tapi pertanda baik sudah mulai ada. Sebentar lagi kita akan memiliki MRT dan LRT setelah direncanakan sekian puluh tahun.
Untuk mencapai jaringan MRT seluas Singapura mungkin masih butuh 30 tahun ke depan. Satu jalur MRT dibangun dalam 5 tahun. Kita bisa perkirakan untuk membangun 5 jaringan atau lebih seperti Singapura akan butuh 25 tahun kalau 1 jaringan dibangun dalam 5 tahun dan jaringan lain harus menunggu. Bagaimanapun ada upaya.Â
Trotoar kota juga mulai diperbaiki dan diperlebar dan sebelum Asian Games diperkirakan selesai.
Memang lubang masih dimana-mana di berbagai trotoar yang tidak diperbaiki. Tapi perubahan tetap ada walaupun bertahap.
Sayangnya pedagang kaki lama yang merebut jalan dari masyarakat umum belum ada perbaikan. Mungkin terlalu muluk kalau kita mengharapkan pedagang kaki lima menjelma menjadi food truck atau seperti farmer market rapi di negara maju atau hawker center seperti Singapura.
Dari dulu saya berharap (kawasan) Sabang bisa menjadi Bukit Bintang versi Jakarta, tapi apa daya setetah belasan tahun, saya masih harus sabar bermimpi. Â
Namun sebagai penduduk Jakarta, yuk kita berkontribusi semampu kita.
Please, jangan buang sampah sembarangan. Tak jarang saya lihat orang membuang sampah dari pintu mobil. Atau makan di pinggir jalan dan membuang sampahnya sembarangan.
Memang tempat sampah tidak ada di setiap sudut tapi tetap saja ada di tempat tertentu. Karena tinggal dekat Sabang, saya selalu memperhatikan betapa kumuhnya kawasan ini terutama pagi hari dengan aroma bekas limbah pedagang kaki lima setiap malam.
Pusat jajanan di sebelah gedung Mandiri selalu penuh dengan sampah dan aroma apek. Ini Ring 1 mannnnnnn! Istana negara hanya 3 menit naik mobil dan 10 menit jalan kaki. Pusat pemerintahan juga ada di kawasan ini. Aduh.
Rasa peduli sebagai masyarakat juga perlu kita tingkatkan. Kalau ada aksi copet di bis atau di jalan, mari kita peduli. Teriak copet adalah bentuk kepedulian untuk memerangi kejahatan. Kita berikan rasa aman kepada pengunjung yang menjadi tamu kita.
Dan please ya teman-teman, adik-adik, jangan suka minta foto dengan bule, mereka terganggu. Dan sebagai orang Indonesia saya risih melihatnya. Jangan terlalu mengagung-agungkan orang bule. Kita sama sederajat. Hargai mereka dengan memberikan ketenangan yang bebas gangguan dan hargai diri kita sendiri.
Untuk keramahan yuk belajar bahasa asing minimal Bahasa Inggris. Kalau ada yang tanya kita bisa menjawab dengan baik. Kita tunjukkan kita bangsa yang terpelajar dan berbudaya. Sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Â Â Â
Berat memang menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata dunia tapi upaya harus terus dilakukan. Seribu langkah harus diawali dari satu langkah. Kita mulai dari diri kita dari sekarang. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H