Saat transit di Jakarta dari Dubai sebelum ke Bali, orang Mesir ini menyempatkan diri keluar bandara di tengah malam. Namun betapa dia sangat kecewa karena dipaksa membayar Rp 1 juta oleh sopir taksi yang kemudian dia tawar menjadi Rp 500 ribu untuk diturunkan di tempat gelap yang dia sebut dekat "temple" yang ternyata adalah Monas. Karena malam, dia juga tidak tahu harus kemana.
"Saya tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta," katanya.
Cerita lain terjadi 2 tahun yang lalu saat seorang teman dari luar negeri mengunjungi saya di Jakarta.
Sebelum di Jakarta, kita sempat travelling bareng ke Bali, Lombok, Surabaya, dan Borobudur.
Seperti kesan orang Mesir tadi, si teman ini sangat terkesan dengan Bali dan Lombok. Sepanjang perjalanan tak jarang dia melihat kembali foto-foto selama di Bali dan Lombok.
Entah mengapa Surabaya dan Borobudur tidak terlalu membuatnya berkesan. Saya lebih menyukai alam seperti pantai, gunung, dan danau ujarnya. Bagi saya preferensi orang memang bisa beda-beda, bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah saat di Jakarta.Â
Saya sempatkan mengajak ke Kota Tua, ikon bersejarah Jakarta. Tapi baru saja menginjakkan kaki di sekitaran Kota Tua, dia langsung pucat pasi melihat kemacetan di area Kota Tua, banyaknya pedagang di kanan kiri jalan, dan banyaknya orang yang lalu lalang.
Memang saat itu adalah libur panjang anak sekolah. Keringat dingin langsung bercucuran dan belum juga memasuki areal Kota Tua dia sudah mengajak meninggalkan area itu. Tapi Kota Tua bukanlah bagian terburuk.Â
Karena saya kerja, teman ini saya ajari bagaimana memilih taksi dan juga mencoba Trans Jakarta kalau pengin jalan sendiri.
Dua hari pertama lancar-lancar saja, sampai saat hari ketiga ketika dia mau balik ke Eropa, hanya 6 jam sebelum jadwal penerbangan, teman saya ini kecopetan dan kehilangan dompet, plus IPhone.
Saat saya tanya apakah sempat melapor ke petugas di halte busway, dengan penuh penyesalan dia bilang bahkan orang di halte busway sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan.