Mohon tunggu...
Romy
Romy Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mama

29 Oktober 2015   07:58 Diperbarui: 5 November 2015   15:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BSandi kecil sungguh tidak menyenangi pelajaran seni suara di sekolahnya. Bocah tampan berusia tujuh tahun yang duduk di kelas tiga sebuah sekolah dasar swasta terkenal ini sebenarnya tergolong sebagai anak cerdas. Sejak TK, ia sudah sering menggondol juara kelas Tapi, entah mengapa setiap kali harus mengikuti pelajaran olah vokal, keringatnya mengalir deras, lututnya gemetaran tak karuan. Sandi sangat ketakutan pada Hari Jumat. Hari dimana dia akan bertemu dengan pelajaran menyebalkan itu. Hari dimana Ibu guru Flora yang galak mengajar depan kelas. Bu guru yang senang mengajar dengan penggaris kayu panjang itu akan menyuruh setiap anak membaca not balok di papan tulis. Bila ada yang tidak bisa, ia tidak akan segan mendaratkan senjata kayu itu di pantat anak-anak.

Sandi benci dengan not balok. Ia tidak mengerti kenapa sekumpulan toge panjang itu harus dipelajari. Otaknya tidak bisa diajak berpikir untuk mengartikan setiap not balok kedalam notasi do re mi. Tidak seperi matematika dan ilmu pengetahuan alam yang lebih masuk akal. Dia lebih suka disuruh mengerjakan 100 soal matematika daripada harus menyanyikan sebaris not balok

“Mama yakin kamu pasti bisa…!” Mamanya selalu punya waktu untuk segala keluhan Sandi. Mereka Cuma tinggal berdua dalm sebuah rumah tua di pinggiran kota. Sejak papanya Sandi meninggal dua tahun yang lalu akibat kompilkasi ginjal dan lever, Ibunya bekerja sebagai seorang guru sekolah taman kanak-kanak.

“Tapi, Sandi malas Ma. Jangankan pelajarannya, melihat Bu Flora saja, Sandi serem !”

Bocah berambut ikal itu menjebikkan mulutnya.

“Yah, kamu harus belajar menyenangi pelajarannya dulu,” Mama membelai pundak Sandi. Anak itu hanya mengeluh panjang , menopangkan dagunya di atas meja belajar.

Buku-buku pelajaran seni suara berserakan begitu saja di atas meja

“Mama juga dulu seperti itu,” Ibu berumur setengah baya ini melanjutkan. “ Mama paling tidak suka dengan Matematika. Bagi Mama itu pelajaran memusingkan. Setiap kali ulangan Matematika, Mama selalu dapat nilai jelek”

Mata Mama menerawang, dan sambil tersenyum perempuan itu melanjutkan. “Tapi Mama berusaha untuk menyenanginya. Mama belajar dan belajar terus. Bertanya pada guru dan juga ikut belajar kelompok” Mama yakin suatu saat mama pasti bisa….

“Trus…jadi bisa ? “ Sandi menyela tak sabar. Kepalanya tengadah, tertarik dengan cerita sang Ibu.

“Yah, walau tidak terlalu bagus dibanding teman-teman, Mama bisa mendapatkan nilai lebih bai

“ Karena itu kamu harus yakin, semuanya akan berhasil, kalau ada tekad dan kerja keras”

Mama tersenyum sembari meletakkan sepiring kue brownis hangat dan secangkie susu

“ Sekarang sayang, kamu cicipin kue Mama dulu baru terusin belajar yah…Mama yakin .kamu pasti bisa!”

Mama berlalu menuju dapur. Sandi masih tercenung dengan kerisauannya

“ Tapi, aku benci dengan Bu Flora…aku benci dengan cara dia mengajar”….Bisik anak itu perlahan. “Mama mungkin dapat guru yang terbaik, tapi aku….Aku….”Sandi melamun lagi

Cukup lama bocah pendiam itu tercenung sambil mengunyah brownis bikinan Mama. Akhirnya Sandi membuka tas, membuka buku matematika, kesukaannya. Ia menyingkirkan semua buku seni suara, dan mulai tenggelam dalam pelajaran berhitung,

Hari Jumat yang ditakutipun datang. Sedari pagi Sandi masih bermalasan di tempat tidur .

“Sandi, udah jam enam !”Suara Mama yang lembut membujuk dia. “Mandi ya sayang, nanti kamu terlambat”

“Ya, Mam, sebentar lagi” Sandi berjalan gontai dari tempat tidur. Langkahnya seakan berat menuju kamar mandi. Mama tersenyum memberikan sehelai handuk.

Ayo dong…kamu kan sudah gede…semangat yah belajar

Sandi mengangguk pelan tapi jauh di dalam lubuk hatinya ia kesal membayangkan hari itu. Baginya hari Jumat hari yang berat luar biasa.

Menit-menit akhir pelajaran Bahasa Indonesia pagi itu adalah menit-menit menakutkan buat sang bocah karena setelah ini, pelajaran yang paling dibencinya akan dimulai.. Pagi itu. Bu Flora kelihatan lebih menyeramkan. Wanita setengah tua berwajah judes dengan alis mata yang hampir menyatu itu semenit kemudian sudah berdiri di depan pintu kelas.

“Anak-anak, Ibu harap hari ini kalian sudah lebih paham dengan pelajaran not balok kemaren” Ia melangkah ke tengah. Matanya menyapu seluruh ruangan.

Anak-anak terdiam, apalagi Sandi. Dia seperti kehilangan degup jantungnya.

“Untuk kesekian kali Ibu akan coba daya ingat kalian satu persatu”

Bu Flora beranjak menuju papan tulis dengan rol besar di tangannya. Dengan cekatan ia mulai menulis sekumpulan not balok. Satu-persatu murid-murid dipanggil untuk menjajal kemampuan. Banyak yang berhasil dan kini giliran Sandi

Lutut Sandi seakan bergetar saat namanya disebut.

Bocah kecil ini hanya bisa berdiri mematung di depan. Matanya kosong. Otaknya buntu. Ia sungguh tidak bisa mengartikan not balok toge itu.

Ketika Bu Flora mendekat, keringatnya makin bercucuran. Ia yakin sebentar lagi rol kayu besar akan menghajar pantatnya

“Sekali lagi kamu tidak tahu ! Kenapa dengan kamu, Sand?” Bu Flora, wanita pemarah itu menghardik. “Kenapa tidak seperti teman-temanmu yang lain, mereka bisa!”

“Saya bosan dengan kamu. Plak…plak…plak !”Tiga kali penggaris bu Flora mendarat

Sandi membisu. Kepalanya tertunduk dalam. Sakit di pantanya tak sebanding dengan rasa malu.

“Sekarang coba katakan pada saya, di depan teman-temanmu, kenapa kamu tidak bisa menguasai not balok ?” Suara Ibu guru meninggi.

Sandi bingung. Teman-temannya menatap dari semua penjuru,ingin tahu.Antara sadar dan tidak, diujung ketakutannya dia spontan berujar lirih

“Mama…mama saya tidak meyukai saya belajar seni suara!” Sandi merasa dia pembual besar. Dia yakin dia berbohong, tapi dia malu

“Ohhh…begitu yah….baik…kalau begitu besok ibu minta mamamu besok ke sekolah!”Bu Flora menyelidik. “ Sebaiknya kamu tidak berbohong…karena itu akan mempersulit kamu nanti !”

            Sandi mulai menyesali ucapannya tadi. Ia bingung menjawab.Apalagi saat istirahat, Raymond, sobat dekatnya datang mendekat.

“Harusnya tadi kamu bilang aja belum belajar jadi nggak bisa baca not. Jangan bilang karena orangtua, nanti jadi kacau!”

Sandi jadi takut. Bagaimana nanti kalau Bu Flora tahu dia berbohong. Saking bingungnya bekal makanan dari mama tidak sanggup dihabiskan.

Siang itu, Sandi menangis dalam pelukan mamanya..

“Yah…Mama diminta Bu Flora datang ke sekolah” Terbata-bata bocah itu berujar “Bu guru ingin bicara …tentang pelajaran seni suara!”

Rasa takut akan kebohongannya sendiri membuat bocah kecil itu tidak mampu berterusterang sepenuhnya

“Bu guru tanya kenapa Sandi ….tidak bisa baca not ……Sandi bingung!”

“Sudahlah sayang, biar mama yang ngomong dengan bu gurumu nanti. Perkataan mama yang lembut itu seperti air yang menyiram api di dalam hatinya. Mamanya yang gemuk membelai kepalanya.

Ia ingin melanjutkan omongannya tapi ia tak kuasa. Lidahnya kelu. Ia malu menceritakan kebohongannya sendiri. Takut Mama marah. Yah, Sandi merasa menjadi orang paling jahat di dunia

Satu minggu telah lewat. Hari Jumat yang ditakutipun datang. Ibu Flora dengan pelajaran not baloknya sudah beridir di depan kelas. Anak-anak satu-persatu maju. Sekarang Giliran Sandi, dan ia tetap tidak bisa.

“Kamu jangan bilang lagi semuanya ini karena mamamu melarang kamu belajar seni suara ya !” Ibu Flora sudah berdiri di samping dengan angker.”Ibu sudah ngomong dengan mamamu dan ia tidak bicara begitu! Kamu tidak jujur!” Sekali lagi penggaris kayu mendarat keras.Sandi sangat malu. Kepalanya hanya bisa tunduk.Dia merasa semua mata sinis tertuju padanya. Teman-teman pasti sudah tidak percaya lagi. Teman-teman pasti sudah tidak mau berteman lagi. Dia pasti akan dikucilkan, semua akan menghinanya.

Hari itu hari paling memalukan dalam hidup Sandi Ia tak kuat menahan tangis. Tangis itu terus dibawanya pulang. Derai air mata membasahi jalan yang dilaluinya menuju rumah.

“Apa aku sanggup menjumpai Mama….aku sudah berdosa padanya…..Mama pasti marah karena aku sudah bohong.”

Langkah bocah kecil ini terhenti beberapa meter dari pagar rumah. Ia ragu bertemu dengan Mamanya. Mama yang baik

Ia tercenung di depan pagar. Diantara segukan tangis, Sandi putuskan untuk tidak masuk. Ia berbalik.

“Sandi…Sini sayang!” Lapat-lapat ia mendengar suara itu dari arah teras rumah. Suara yang sangat dirindukannya. Mama berlari menghampiri.Tangan Mama yang lembut menyentuh pundaknya,memaksa dia untuk berhenti.

“Mama sudah mengerti semuanya …” Hanya itu yah dan hanya itu yang diucapkan sang mama. Tapi itu cukup untuk Sandi. Mamanya memeluk dia di depan rumah mereka. Pelukan Mama sudah cukup untuk semuanya. Hatinya yang terluka sudah terobati.

Sejak hari itu, Sandi kecil mulai tekun belajar not balok. Sandi yakin dia mau belajar bukan karena suara judes Ibu Flora. Buka pula karena tatapan sinis teman-teman. Ia melakukan semuanya karena ia sayang mama. Ia akan berhasil bukan karena didikan Bu Flora. Bukan pula karena takut pada penggaris sang guru, tapi karena Mama. Karena pelukan Mama yang selalu hangat menyambutnya . Dekapan Mama yang selalu menentramkan hatinya. Ia tidak ingin melukai hati Mama lagi. Tidak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun