Bima hanya mengangguk lemah. Dalam hati ia berpikir, “Percuma. Gue emang ga pantes dapet kesempatan itu.”
Beberapa hari kemudian, Bima menerima email penolakan dari perusahaan tersebut. Meski sudah menduga hasilnya, tetap saja ia merasa terpukul. Rasa tidak mampu dan tidak berharga semakin menguat dalam dirinya.
“Tuh kan, lo emang ga bisa apa-apa,” suara dalam kepalanya kembali menghantui.
Bima menghabiskan hari-hari berikutnya dengan murung. Ia bahkan mulai jarang masuk kuliah. Trisha dan Rama mencoba menghiburnya, tapi Bima hanya meresponnya dengan dingin.
“Bim, lo ga bisa gini terus. Masih banyak kesempatan lain,” ujar Rama suatu malam.
Bima hanya diam, matanya tetap terpaku pada layar laptopnya.
“Iya Bim, jangan nyerah dong. Kita bantuin cari tempat magang lain ya?” tambah Trisha.
Bima menghela napas panjang. “Udahlah, ga usah. Gue… gue cuma butuh waktu sendiri.”
Trisha dan Rama saling pandang dengan khawatir, tapi akhirnya memutuskan untuk memberi Bima ruang.
Minggu-minggu berlalu. Deadline pengajuan magang semakin dekat. Bima tahu ia harus melakukan sesuatu, tapi rasa takut gagal kembali membuatnya lumpuh.
Suatu hari, Trisha mendatanginya dengan wajah berseri-seri. “Bim! Gue dapet info bagus nih. Ada startup baru yang lagi butuh orang magang sebagai programmer. Mereka bilang syaratnya ga terlalu ketat. Lo mau coba?”