Air sungai itu berkilau di bawah sinar matahari, namun di beberapa bagian terlihat bayangan gelap. Bima tersenyum tipis, menyadari bahwa sungai itu mirip dengan perjalanan hidup dan hubungan antar manusia. Ada bagian-bagian yang bercahaya, di mana kebahagiaan dan kepercayaan bersinar terang. Namun ada pula bagian-bagian gelap, di mana kesedihan dan keraguan kadang menyelinap. Sungai itu terus mengalir, tak peduli dengan apa yang dilewatinya.
Bima menyadari bahwa hidup adalah perjalanan penuh liku, di mana ia sering terjebak dalam keraguan dan merasa terasing di tengah keramaian. Meski masih ada hubungan yang belum sepenuhnya membaik, ia mulai melihat keberadaan orang-orang yang menunjukkan bahwa kejujuran dan ketulusan tetap bermakna. Bima belajar bahwa kesalahan bukan akhir segalanya, selalu ada harapan untuk memulai kembali, memperbaiki diri, dan menemukan jati diri. Di tengah kepentingan dan ketidakpastian hidup, ia mulai memahami bahwa persahabatan tulus dan kepercayaan adalah sesuatu yang harus dijaga.
Saat Bima masih tenggelam dalam pemikirannya, memandangi aliran sungai dari jendela bis, ponselnya bergetar. Ia meraba saku, mengeluarkan ponsel, dan melihat sebuah notifikasi pesan baru.
Dari Trisha.
Jantung Bima berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia membuka pesan itu. Matanya melebar membaca kalimat pertama:
“Bima, ada waktu buat ngobrol? Ada sesuatu yang harus kau tahu…”
Bima menelan ludah. Apa yang ingin Trisha sampaikan? Apakah ini akan mengubah segalanya lagi?
Bis berhenti di terminal. Bima turun dengan pikiran bingung, pesan itu masih terbuka di layar ponselnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H