Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Peran Sport Clinic dalam Olahraga Disabilitas

3 September 2019   00:06 Diperbarui: 3 September 2019   00:50 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kuliah Anatomi 1, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga (Sabtu, 31 Agustus 2019) - dokpri

Oleh: Roy Agustinus Soselisa*

Disampaikan pada Symposium and Workshop "3rd National Sport Science Meeting: 10-Year Experience in Comprehensive Management of Sport Clinic" yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Pelayanan Sport Clinic RSUD Dr. Soetomo Surabaya di Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, 30-31 Agustus 2019.

Penulis pada saat simposium berada dalam satu sesi pararel bersama I Putu Alan Pawana, dr. Sp.KFR(K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang membawakan tema Sport Prosthetics, dan Yasunori Umemoto, MD, Ph.D. dari Department of Rehabilitation Medicine, Wakayama Medical University, Japan yang membawakan tema How to Improve Sport Perfomance in Disabled Athletes. Untuk mendapatkan ulasan yang lebih lengkap tentang Peran Sport Clinic dalam Olahraga Disabilitas, maka artikel pendukung yang disertai dengan beberapa referensi lain (terletak pada bagian catatan kaki) dapat diunduh dalam format PDF pada URL berikut: bit.ly/DisabilitySportClinic.

Pendahuluan

Terkait dengan tujuan sesi ini, panitia telah menentukan tajuk untuk penulis sampaikan dalam simposium yaitu tentang Indonesian Disabled Athletes. Dengan memperhatikan derap kegiatan penulis selama ini yang berada dalam lingkup pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas di Provinsi Jawa Timur, maka penulis akan menggunakan titik berangkat perspektif dari dinamika yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Oleh sebab itu, perspektif penulis tidak mewakili perspektif secara nasional tentang Indonesian Disabled Athletes, terlebih tidak mewakili kewenangan yang dimiliki oleh Pengurus Pusat National Paralympic Committee Indonesia (NPCI).

Melalui tajuk yang diberikan oleh panitia, penulis akan mencoba menawarkan gagasan bagi audiens simposium. Apabila melihat tema besar dari simposium tentang "3rd National Sport Science Meeting: 10-Year Experience In Comprehensive Management Of Sport Clinic", maka gagasan yang coba ditawarkan akan menyasar pada segmen medis.

Mengingat artikel ini akan dilempar pula ke dalam cyberspace, dengan harapan gagasan yang coba ditawarkan dapat terdengar pula oleh stakeholder terkait, khususnya induk organisasi olahraga disabilitas yang berada pada tataran pengurus provinsi di Indonesia, maka penulis akan membubuhkan perspektif dari induk organisasi olahraga disabilitas.

Pada segmen medis, penulis akan menawarkan gagasan tentang peran apa yang dapat dilakukan oleh dunia medis dalam bingkai Sport Clinic bagi pembangunan olahraga disabilitas di Indonesia.

Sementara itu, pada segmen induk organisasi olahraga disabilitas yang berada pada tataran pengurus provinsi di Indonesia, penulis akan menawarkan gagasan tentang nilai tambah apa yang bisa didapatkan oleh induk organisasi olahraga disabilitas saat menjalin sinergi dengan dunia medis, mungkin Sport Clinic belum ada di seluruh Indonesia, tetapi setidaknya induk organisasi olahraga disabilitas di Indonesia sudah mulai bisa melirik dunia medis untuk menjadikannya sebagai salah satu pilar yang harus berdiri kokoh dalam pembangunan olahraga disabilitas.

Warisan Asian Para Games 2018

Indonesia mendapat kehormatan untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah dari pesta olahraga multi event tingkat Asia bagi paralimpian yang dikenal dengan Asian Para Games pada 6-13 Oktober 2018 yang lalu.

Pada perhelatan Asian Para Games edisi yang ketiga ini, Indonesia telah sukses sebagai penyelenggara, sekaligus sukses meraih prestasi dengan melampaui target yang dibebankan oleh pemerintah.

Paralimpian-paralimpian Indonesia mampu menjawab tantangan pemerintah dengan meraih total 37 medali emas dari yang ditargetkan 16 medali emas, hingga mengantarkan Indonesia pada posisi lima besar dari yang ditargetkan tujuh atau delapan besar.

Selain sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi, bagian yang tak kalah penting yakni sukses meninggalkan warisan yang berharga pascaperhelatan Asian Para Games 2018.

Warisan yang akan memberi warna tersendiri bagi kelangsungan pengembangan olahraga disabilitas di Indonesia, bahkan saat warisan ini tak disia-siakan, tak menutup kemungkinan dapat mempercepat pembangunan olahraga disabilitas di Indonesia dengan prestasi yang lebih gemilang dan mendunia.

Warisan berharga yang dimiliki oleh Indonesia pascaperhelatan Asian Para Games 2018 ini yakni banyak tersedianya tenaga keolahragaan yang memiliki kemampuan untuk melakukan klasifikasi disabilitas bagi setiap paralimpian sebelum bertanding dan berlomba yang disebut dengan Classifier.

Pada saat menyongsong perhelatan Asian Para Games 2018, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia melalui Deputi Peningkatan Tenaga dan Organisasi Keolahragaan bekerja sama dengan NPC Indonesia dan INAPGOC telah menyelenggarakan Pelatihan Nasional Classifier Olahraga Disabilitas bagi 50 orang yang berasal dari 11 provinsi yang merupakan hasil seleksi, mayoritas peserta berprofesi sebagai dokter, selanjutnya ada dari fisioterapis, perawat dan akademisi.

Hingga tiba saatnya perhelatan Asian Para Games 2018, para peserta pelatihan ini pun diberdayakan sebagai National Classifier dalam Asian Para Games 2018, bergabung bersama dengan puluhan International Classifier (bersertifikat internasional) dari berbagai negara.

Kini setelah berakhirnya Asian Para Games 2018, setidaknya telah ada 50 tenaga Classifier---yang pernah mengikuti pelatihan dan memiliki pengalaman sebagai National Classifier dalam perhelatan Asian Para Games 2018---yang tersebar pada 11 provinsi di Indonesia.

Warisan berharga inilah yang menjadi modal penting bagi pengembangan olahraga disabilitas di Indonesia, karena tenaga Classifier merupakan gerbang utama bagi setiap paralimpian untuk bisa bertanding dan berlomba dalam setiap kompetisi olahraga disabilitas, baik yang single event maupun yang multi event.

Tanpa melalui proses klasifikasi hingga dinyatakan lolos oleh tenaga Classifier, maka paralimpian tak akan pernah bisa berlaga, karena proses klasifikasi dibutuhkan untuk menciptakan kesetaraan kelas dalam setiap pertandingan dan perlombaan berdasarkan cabang olahraga yang diikuti.

Peran Sport Clinic dalam Pelayanan Klasifikasi Disabilitas

Dalam konteks Provinsi Jawa Timur sendiri, kami mengetahui setidaknya ada dua tenaga National Classifier yang pernah terlibat dalam perhelatan Asian Para Games 2018. Satu tenaga National Classifier yang bertugas pada cabang olahraga Tenpin Bowling atas nama Damayanti Tinduh, dan satu tenaga National Classifier yang bertugas pada cabang olahraga Badminton atas nama Kunjung Ashadi.

Kabar gembiranya, dari dua nama tersebut, salah satunya merupakan tenaga pengajar pada peguruan tinggi negeri dengan konsentrasi keilmuan yang terkait erat dengan disabilitas, selain itu beliau juga merupakan anggota dari tim Sport Clinic yang dikembangkan oleh rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Tentu keberadaan tenaga Classifier yang merupakan warisan dari Asian Para Games 2018 tersebut menjadi modal yang penting bagi pengembangan olahraga disabilitas di Provinsi Jawa Timur.

Dari modal yang telah ada ini, kami akan berupaya untuk mengembangkan olahraga disabilitas dengan lebih baik melalui jalinan sinergi antara Sport Clinic dengan induk organisasi olahraga disabilitas---terlebih sejak dua tahun sebelum perhelatan Asian Para Games 2018, sebenarnya Damayanti Tinduh pernah hadir kepada kami dengan presentasi singkatnya tentang pengembangan dan pelayanan Sport Clinic, tetapi kala itu kami belum menemukan pijakan dan arah yang tepat, sehingga kami belum merealisasi jalinan sinergi.

Peran dari Sport Clinic yang dikembangkan oleh RSUD Dr. Soetomo sendiri untuk saat ini yaitu memberikan pelayanan kesehatan (upaya promotif dan preventif) bagi masyarakat olahraga dalam bentuk (1) Penyuluhan masyarakat olahraga mengenai cedera olahraga, (2) Pelatihan-pelatihan untuk Guru PJOK, Pelatih Klub, dan lain-lain untuk penanganan komprehensif dasar cedera olahraga, (3) Skrining dan evaluasi kesehatan atlet. Selain itu, memberikan pelayanan medis (upaya kuratif dan rehabilitatif) mencakup penanganan cedera olahraga.

Selanjutnya, dengan adanya anggota dari tim Sport Clinic RSUD Dr. Soetomo yang pernah terlibat sebagai National Classifier pada Asian Para Games 2018, menjadi modal yang penting pula bagi pengembangan Sport Clinic sendiri.

Dengan memiliki tenaga Classifier di dalamnya, maka peran yang dimiliki oleh Sport Clinic akan makin bertambah kaya, salah satunya dapat memberikan pelayanan klasifikasi disabilitas bagi setiap paralimpian yang akan menghadapi kompetisi olahraga disabilitas.

Betapa pentingnya keberadaan pelayanan klasifikasi disabilitas tersebut di dalam pengembangan olahraga disabilitas, mengingat pada saat Asian Para Games 2018 yang lalu, terdapat sebelas paralimpian yang tak lolos klasifikasi disabilitas, dan dua paralimpian dari Indonesia termasuk di dalamnya.

Peristiwa ini tentu bisa dijadikan bahan evaluasi dan preseden untuk masa depan terkait dengan proses klasifikasi disabilitas yang bisa diberikan sebagai rekomendasi awal sebelum paralimpian diberangkatkan untuk mengikuti sebuah kompetisi olahraga disabilitas, bahkan proses klasifikasi disabilitas bisa dilakukan jauh sebelum paralimpian mengikuti pemusatan latihan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi sebuah kompetisi olahraga disabilitas.

Terutama proses klasifikasi disabilitas dapat diberikan bagi paralimpian yang sama sekali belum pernah mengikuti sebuah kompetisi olahraga disabilitas, sehingga pendatang baru ini dalam sebuah kompetisi akan berstatus New (N) yang berarti wajib mengikuti proses klasifikasi, atau paralimpian yang berstatus Review (R) yang masih akan dilihat masa berlaku identitas klasifikasinya untuk menentukan apakah perlu atau tidak mengikuti proses klasifikasi---berbeda halnya dengan paralimpian yang berstatus Confirmed (C) yang berarti klasifikasi disabilitasnya sudah ditetapkan, tidak perlu melalui proses klasifikasi, identitas dengan status Confirmed (C) tersebut lazimnya didapat oleh paralimpian dari data klasifikasi pada kompetisi olahraga disabilitas yang pernah diikuti sebelumnya atau pada kompetisi olahraga disabilitas yang tatarannya lebih tinggi dari yang sedang diikuti, sehingga identitas dengan status Confirmed (C) tersebut diakui oleh pihak penyelenggara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan proses klasifikasi.

Dalam konteks kompetisi olahraga disabilitas (multi event) pada tataran tingkat nasional, seperti Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) dan Pekan Olahraga Nasional Special Olympics Indonesia (PORNAS SOIna), pelayanan klasifikasi disabilitas pun sangat dibutuhkan keberadaannya sebagai rekomendasi awal sebelum paralimpian diberangkatkan untuk mengikuti kompetisi olahraga disabilitas (multi event), bahkan sebelum dilaksanakan pemusatan latihan daerah jangka panjang untuk menghadapi kompetisi olahraga disabilitas (multi event) tersebut.

Pelayanan klasifikasi disabilitas ini dapat diberikan oleh Sport Clinic dengan menggunakan dasar informasi dari induk organisasi olahraga disabilitas melalui buku pedoman yang dikeluarkan oleh pihak penyelenggara kompetisi olahraga disabilitas (multi event)---lazimnya buku pedoman akan dikeluarkan satu tahun atau beberapa bulan sebelum penyelenggaraan kompetisi olahraga disabilitas (multi event), ketika momen Chef de Mission (CdM) Meeting atau momen yang serupa dilangsungkan.

Pada saat Asian Para Games 2018 yang lalu, pihak penyelenggara mengeluarkan buku pedoman berdasarkan regulasi dari Asian Paralympic Committee, demikian pula untuk kompetisi olahraga disabilitas (multi event) yang berskala nasional seperti Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas), pihak penyelenggara pun akan mengeluarkan buku pedoman berdasarkan regulasi dari National Paralympic Committee Indonesia dengan mengacu pada regulasi internasional atau dengan penyesuaian yang seperlunya.

Selama ini pada tataran tingkat provinsi di Indonesia---secara khusus yang terjadi di Provinsi Jawa Timur saat menyongsong Peparnas---proses klasifikasi disabilitas hanya dilakukan dengan metode klasifikasi berbasis pengalaman.

Dalam artian, tenaga Classifier hanya berasal dari mantan paralimpian yang pernah mengikuti proses klasifikasi dalam berbagai kompetisi olahraga disabilitas semasa aktif sebagai paralimpian, kemudian kini menjadi pelatih dan dengan berbekal pengalaman yang dimiliki melakukan proses klasifikasi terhadap paralimpian yang akan dibina---selain berasal dari mantan paralimpian, penulis yang nondisabilitas dan notabene tak memiliki bekal pengalaman sebagai paralimpian, hanya memiliki kesempatan beberapa kali sebagai pelatih (dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir) yang mendampingi paralimpian dalam proses klasifikasi disabilitas saat pelaksanaan kompetisi olahraga disabilitas berskala nasional, turut memberanikan diri berperan sebagai tenaga Classifier dalam cabang olahraga Atletik di Provinsi Jawa Timur.

Metode klasifikasi disabilitas yang dilakukan hanya dengan berbasis pengalaman seperti demikian tak ubahnya dengan metode trial and error, hanya coba-coba mengikutsertakan paralimpian untuk mengikuti kompetisi olahraga disabilitas, tanpa memperhatikan dengan saksama proses klasifikasi disabilitas dari paralimpian yang bersangkutan.

Tentu merupakan sebuah kerugian yang besar, apabila paralimpian yang telah melalui proses pembinaan jangka panjang dalam pemusatan latihan olahraga disabilitas, kemudian saat mengikuti proses klasifikasi yang dilaksanakan oleh pihak penyelenggara kompetisi olahraga disabilitas hanya akan mendapatkan status tidak lolos klasifikasi.

Sepatutnya untuk saat ini proses klasifikasi disabilitas dilakukan dengan saksama, mengikuti perkembangan metode klasifikasi yang ada, mulai dari berbasis medis, berbasis mobilitas, hingga berbasis bukti.

Di sinilah letak peran Sport Clinic dalam memberikan pelayanan klasifikasi disabilitas sesuai dengan perkembangan metode klasifikasi yang ada, mengingat sumber acuan untuk klasifikasi disabilitas telah tersedia, tenaga medis yang terbiasa dalam mendedah keilmuan yang terkait erat dengan disabilitas pun telah ada, terlebih apabila Sport Clinic terkait memiliki tenaga medis yang berpengalaman sebagai National Classifier.

Bagi induk organisasi olahraga disabilitas pada tataran tingkat provinsi, apabila kemudahan pelayanan klasifikasi disabilitas bisa didapatkan melalui keberadaan Sport Clinic yang ada di setiap provinsi, tentu menjadi hal yang baik bagi induk organisasi olahraga disabilitas di Indonesia. Mengingat pada saat INAPGOC menyelenggarakan Test Event dalam rangka menghadapi Asian Para Games 2018 dengan mengundang paralimpian yang tersebar di berbagai provinsi yang ada di Indonesia, kala itu terdapat salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh paralimpian berupa isian kelengkapan berkas yang sangat diperlukan untuk membantu Classifier dalam menentukan kelas perlombaan dan pertandingan bagi paralimpian yang bersangkutan, dan untuk pengisian kelengkapan berkas tersebut, paralimpian yang bersangkutan harus melalui pemeriksaan tenaga medis (dokter) terlebih dahulu di daerahnya masing-masing.

Berdasarkan dari pengalaman paralimpian kami dengan kelompok disabilitas daksa (phsycal impairment) yang mendapatkan undangan untuk mengikuti Test Event pada cabang olahraga Atletik

Kala itu saat memeriksakan diri pada salah satu rumah sakit di Provinsi Jawa Timur dengan membawa kelengkapan berkas yang harus diisi oleh pemeriksa, tenaga medis (dokter) yang memeriksa menyatakan ketidaksediaannya untuk mengisi kelengkapan berkas dengan sejumlah alasan yang diberikan, meski sebenarnya menurut kami untuk jenis dan tingkat disabilitas daksa pada paralimpian yang bersangkutan tidaklah rumit.

Dengan keberadaan Sport Clinic yang dapat memberikan pelayanan klasifikasi disabilitas bagi paralimpian, tentu preseden buruk seperti demikian tak perlu terulang kembali, bahkan dengan keberadaan Sport Clinic akan mampu memberikan pelayanan klasifikasi disabitas yang kompleks sekalipun untuk jenis dan tingkat disabilitasnya, seperti pada disabilitas daksa dengan kelemahan fisik yang mempunyai subjenis paling banyak, di antaranya terdapat jenis disabilitas karena kekuatan otot yang menurun, gerakan sendi yang menurun, defisiensi anggota gerak, perbedaan panjang kaki, postur tubuh pendek (achondoplasia), kekakuan otot, ataksia, hingga athetosis.

Peran Sport Clinic dalam Pelayanan Medis

Selama ini Sport Clinic yang dikembangkan oleh RSUD Dr. Soetomo menangani pasien yang merupakan atlet nondisabilitas yang berada di bawah naungan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) saat mengalami cedera olahraga, serta pasien umum atau masyarakat yang mengalami cedera olahraga dengan membawa surat rujukan.

Namun, mulai saat ini Sport Clinic bisa menambahkan pada daftar pelayanan medisnya untuk pasien yang bisa ditangani, selain atlet nondisabilitas, ada pula paralimpian (atlet disabilitas) yang berada di bawah naungan National Paralympic Committee Indonesia (NPCI). Begitu pula sebaliknya bagi induk organisasi olahraga disabilitas di Indonesia, bisa menjadikan Sport Clinic sebagai pusat pelayanan medis yang dapat menolong untuk menyembuhkan paralimpian saat mengalami cedera olahraga (upaya kuratif) , serta dapat memberikan pemulihan bagi paralimpian pada keadaan yang semula seperti sebelum mengalami cedera olahraga (upaya rehabilitatif). Selain sebagai pusat pelayanan medis yang memiliki upaya kuratif dan rehabilitatif, Sport Clinic dapat berperan pula untuk memberikan penyuluhan mengenai cedera olahraga (upaya promotif), serta mengadakan pelatihan bagi praktisi (pelatih, tim medis, dll.) dalam olahraga disabilitas tentang penanganan komprehensif dasar cedera olahraga pada paralimpian (upaya preventif).

Keempat peran (kuratif, rehabilitatif, promotif dan preventif) yang dimiliki oleh Sport Clinic tersebut sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas. Mengingat selama ini, dengan adanya fungsi gerak yang berbeda sesuai dengan jenis dan tingkat disabilitasnya, seorang paralimpian akan lebih rentan mengalami cedera olahraga dibanding dengan atlet nondisabilitas.

Ironisnya saat seorang paralimpian mengalami cedera olahraga, tenaga medis (dokter) masih menjadi momok yang menakutkan, berpikirnya saat harus mendapatkan pelayanan medis pasti akan dioperasi. Kemudian dalam konteks pemusatan latihan---baik dalam pemusatan latihan jangka pendek, menengah maupun panjang---yang sedang dipersiapkan untuk menghadapi sebuah kompetisi olahraga, saat mengalami cedera olahraga, maka paralimpian memiliki kecenderungan mengalami trauma untuk bisa bebas bergerak seperti semula, bahkan pada kasus tertentu paralimpian akan mengalami ketakutan untuk memulai latihan kembali, akibatnya program latihan yang telah dirancang sedemikian rupa tidak akan bisa mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Di sinilah letak pentingnya keberadaan Sport Clinic bagi pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas. Sport Clinic dapat menjadi rujukan bagi setiap paralimpian yang mengalami cedera olahraga, tindakan yang diberikan tidak selalu dengan operasi, karena jenis dan lokasi cedera olahraga yang dialami menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan tindakan, tindakan tanpa operasi seperti fisioterapi dan massage pun termasuk dalam pelayanan medis yang bisa diberikan.

Bahkan sebisa mungkin upaya pelayanan medis yang diberikan berupa konsep treatment yang menggunakan dasar dari gerakan, sehingga bukan hanya passive treatment, melainkan juga active treatment, mengarahkan paralimpian yang sedang mengalami cedera untuk tetap bisa berlatih hingga mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Banyak paralimpian yang bermasalah dengan kebugaran saat mengalami cedera, kebugaran paralimpian menurun jauh, oleh sebab itu paralimpian tetap membutuhkan latihan selama masa treatment untuk menjaga kebugaran di bawah program latihan yang dianjurkan dan diawasi oleh tenaga medis (dokter).

Sport Clinic saat ini pun makin berkembang, terutama dengan adanya dukungan dari tenaga medis yang memiliki konsentrasi pada bidang ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi (d.h rehab medik), tentu akan sangat mempengaruhi dalam kualitas pelayanan, hal ini dapat dilihat dari sisi pelayanan yang berbasis riset dan mengandalkan teknologi.

Dengan adanya pendekatan ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi, pelayanan medis yang bisa diberikan oleh Sport Clinic tidak hanya terbatas pada penanganan cedera olahraga, melainkan lebih dari itu, pembatas-pembatas yang dimiliki oleh paralimpian pun bisa dikurangi dengan menggunakan riset dan teknologi.

Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi akan dapat melihat (secara holistis) sistem keseluruhan sebagai satu kesatuan dari diri paralimpian, melihat fungsi yang masih ada dari tubuh paralimpian sehingga dapat dimaksimalkan untuk berprestasi, serta meminimalkan hambatan yang dimiliki oleh paralimpian sesuai dengan jenis dan tingkat disabilitasnya.

Pelayanan medis yang diberikan mulai dari mendiagnosis, kemudian memberikan evaluasi dan penilaian, hingga selanjutnya melakukan intervensi. Intervesi yang dilakukan tidak hanya intervensi dalam bentuk keterapian fisik, tetapi juga melakukan intervensi dengan menggunakan teknologi. Pelayanan medis di dalam Sport Clinic ini akan dikerjakan bersama oleh tim, mulai dari dokter, fisioterapis, psikolog dan ortotis prostetis. Sehingga pelayanan medis yang didapatkan oleh paralimpian bersifat luas dan lengkap, meliputi seluruh aspek.

Peran Sport Clinic dalam Pelayanan Pendampingan

Induk organisasi olahraga disabilitas yang berada pada tataran pengurus provinsi di Indonesia---setidaknya yang terjadi di Provinsi Jawa Timur---selama ini masih mengalami kendala dalam program pencarian bakat (talent scouting) untuk mencari bibit maupun regenerasi paralimpian yang berusia pelajar di bawah delapan belas tahun dari kelompok disabilitas daksa (phsycal impairment), terutama pada klasifikasi kehilangan fungsi anggota gerak (limb deficiency).

Berbeda halnya dengan bibit maupun regenerasi paralimpian dari kelompok disabilitas netra (visual impairment) dan disabilitas intelektual (intelectual impairment), kedua kelompok disabilitas ini lebih mudah didapatkan dalam program pencarian bakat (talent scouting) melalui sekolah-sekolah luar biasa dengan kekhususan bagian A (untuk disabilitas netra) dan bagian C (untuk disabilitas intelektual), serta panti-panti sosial bina netra.

Berangkat dari kendala yang dialami oleh induk organisasi olahraga disabilitas tersebut, maka Sport Clinic yang dikembangkan oleh sebuah rumah sakit dapat berperan dalam program pencarian bakat (talent scouting) paralimpian dengan memanfaatkan pangkalan data rekam medis pasien yang wajib dimiliki oleh setiap rumah sakit---dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 dinyatakan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (terdapat tiga jenis rekam medis yang diatur yaitu rekam medis untuk pasien rawat jalan, pasien rawat inap maupun pasien gawat darurat).

Melalui pangkalan data rekam medis, memungkinkan Sport Clinic untuk mendapatkan pemberitahuan melalui sistem informasi yang ada saat terdapat pasien---baik pasien rawat inap maupun pasien gawat darurat---dengan kriteria (1) masih berusia pelajar di bawah delapan belas tahun, dan (2) mengalami kehilangan fungsi anggota gerak (limb deficiency), seperti tidak adanya tulang atau sendi secara keseluruhan maupun sebagian pada bagian tangan, lengan dan kaki sebagai konsekuensi dari trauma (contohnya akibat kecelakaan, bermain petasan, dll.), atau bisa pula sebagai konsekuensi dari penyakit (contohnya akibat kanker tulang hingga harus diamputasi, dll.).

Mengingat rekam medis adalah milik pasien yang kerahasiaan informasinya harus dijaga oleh pihak rumah sakit, sehingga tidak bisa diberikan kepada sembarang pihak (termasuk kepada induk organisasi olahraga disabilitas), maka Sport Clinic yang akan banyak berperan dalam melakukan upaya pendekatan kepada pasien.

Upaya pendekatan yang bisa dilakukan oleh Sport Clinic yakni dengan memberikan pelayanan pendampingan kepada pasien yang memiliki prospek dalam olahraga disabilitas untuk masuk pada klasifikasi kehilangan fungsi anggota gerak (limb deficiency).

Pelayanan pendampingan bagi pasien ini bisa dilakukan oleh tim Sport Clinic yang memiliki konsentrasi pada bidang ilmu psikologi klinis, di samping perawatan medis yang diberikan oleh tenaga medis (dokter dan perawat) untuk aspek fisik pasien, pelayanan pendampingan pun bisa diberikan oleh psikolog klinis untuk membantu pemulihan aspek mental pasien akibat kehilangan fungsi anggota gerak (limb deficiency).

Di dalam pelayanan pendampingan ini, psikolog klinis---peran tersebut bisa pula dilakukan oleh siapa pun tenaga medis (dokter dan perawat) yang terpanggil---dapat membangun harapan hidup pasien dengan memberikan kesadaran bahwa menjadi disabilitas bukan akhir dari segalanya, karena dengan menjadi disabilitas saatnya untuk mulai bisa melakukan hal-hal dengan cara yang luar biasa, bukan lagi dengan cara yang biasa-biasa saja seperti sebelumnya.

Melakukan hal-hal yang luar biasa itu salah satunya bisa melalui olahraga untuk meraih prestasi yang setinggi-tingginya sesuai dengan cabang olahraga yang diminati dalam wadah yang telah tersedia yakni National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) dengan berbagai tingkat kepengurusan mulai dari pengurus kota dan kabupaten, serta pengurus provinsi yang melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas di seluruh Indonesia.

Dengan adanya pelayanan pendampingan yang diberikan hingga pada tahap mengarahkan pasien untuk bergabung ke dalam pembinaan olahraga disabilitas seperti demikian, maka program pencarian bakat (talent scouting) paralimpian dapat terus berjalan, sehingga bibit maupun regenerasi paralimpian dari kelompok disabilitas daksa (phsycal impairment) dapat terus tersedia, teristimewa akan banyak sesama yang tertolong untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik melalui olahraga---baik dalam konteks berolahraga untuk meraih prestasi setinggi-tingginya yang akan diikuti dengan kesejahteraan, maupun berolahraga sebagai gaya hidup untuk senantiasa mendapatkan kebugaran.

Ruang Kuliah Anatomi 1, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga (Sabtu, 31 Agustus 2019) - dokpri
Ruang Kuliah Anatomi 1, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga (Sabtu, 31 Agustus 2019) - dokpri
Penutup

Dalam manajemen organisasi olahraga, sebuah keberhasilan organisasi olahraga selalu dikaitkan dengan seberapa jauh prestasi yang dicapai dan seberapa besar prestise yang didapatkan dari bonus (diukur dengan uang) yang diraih oleh olahragawan. Saat organisasi olahraga dapat menjalankan fungsi manajemen dengan baik, maka olahragawan akan mencapai prestasi yang baik dan mendapatkan prestise yang besar. Sedangkan realitas yang ada selama ini, berjalannya fungsi manajemen dalam sebuah organisasi olahraga sangat dipengaruhi pada level mana organisasi maupun olahragawan berada.

Menurut penulis, setidaknya terdapat tiga level dalam dunia olahraga yang sangat mempengaruhi jalannya fungsi manajemen organisasi, di antaranya; (1) olahraga professional, (2) olahraga amatuer dan (3) olahraga volunteer.

Di dalam olahraga professional, olahragawan melakukan kemahiran berolahraga untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang (contohnya pada klub-klub sepak bola yang pemainnya terikat dengan kontrak dan mendapatkan gaji secara rutin).

Selanjutnya di dalam olahraga amatuer, olahragawan melakukan kemahiran berolahraga untuk memperoleh bonus pada saat berhasil menyabet medali dalam sebuah kompetisi olahraga yang diikuti (contohnya pada saat Pekan Olahraga Nasional, Sea Games, Asian Games dan Olympic Games).

Sedangkan di dalam olahraga volunteer, olahragawan melakukan kemahiran berolahraga atas dasar kegemaran untuk memperoleh manfaat yang baik melalui olahraga, tanpa ada prestise karena tanpa ada bonus yang bisa diraup, meski olahragawan telah berhasil menyabet medali dalam sebuah kompetisi olahraga yang diikuti (contohnya pada induk-induk organisasi olahraga fungsional atau perkumpulan-perkumpulan olahraga tertentu yang olahragawannya memiliki kepentingan yang sama yakni menggemari olahraga).

Bagi induk organisasi olahraga disabilitas sendiri, pada tataran pengurus pusat sebenarnya telah berada pada level olahraga amatuer, hal ini terbukti dari bonus yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada paralimpian yang berhasil menyabet medali dalam kompetisi olahraga disabilitas yang diikuti (contohnya pada saat Asean Para Games, Asian Para Games dan Paralympic Games)---nominal bonus yang diterima oleh paralimpian sepadan dengan atlet nondisabilitas yang berada di bawah naungan KONI.

Namun, keadaan yang serupa belum dialami oleh induk organisasi olahraga disabilitas yang ada pada tataran pengurus provinsi, karena bentuk perhatian yang diberikan oleh setiap Pemerintah Provinsi berbeda-beda kepada paralimpian yang berhasil menyabet medali dalam kompetisi olahraga disabilitas yang diikuti (contohnya pada saat Pekan Paralimpik Nasional).

Ada Pemerintah Provinsi yang sudah memberikan perhatian penuh bagi paralimpian yang berprestasi, tetapi sebagian besar Pemerintah Provinsi belum memberikan perhatian yang layak bagi paralimpian yang berprestasi, termasuk bentuk perhatian dari setiap Pemerintah Provinsi kepada induk organisasi olahraga disabilitas untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan baik dalam usaha pembinaan dan pengembangan olahraga disabilitas.

Berdasarkan dari pengertian ini, karena induk organisasi olahraga disabilitas pada tataran pengurus provinsi masih berada pada level olahraga volunteer, maka sampai sejauh ini pihak-pihak yang menjalankan fungsi manajemen organisasi hanyalah para relawan yang terpanggil untuk menjadi pengurus, pelatih, dan sebagainya yang berkontribusi tanpa imbalan.

Selanjutnya apabila dalam sesi ini penulis bisa bertatap muka dengan audiens simposium dari segmen medis, tentu bukanlah suatu kebetulan, karena tidak menutup kemungkinan setelah berakhirnya simposium melalui sesi ini akan banyak yang terpanggil menjadi relawan yang menjalankan fungsi manajemen organisasi untuk memberikan pelayanan klasifikasi disabilitas, pelayanan medis dan pelayanan pendampingan.

Mengingat pada mulanya sebuah kompetisi olahraga disabilitas yang merupakan embrio dari Paralympic Games diciptakan oleh seorang tenaga medis (dokter neurologis) yang bernama Sir Ludwig Guttmann yang terpanggil melakukan metode terapi olahraga kepada tentara-tentara Inggris yang mengalami cedera tulang belakang untuk membangun kekuatan fisik dan juga membangun self-respect mereka.

Begitu pula di Indonesia, pada mulanya induk organisasi olahraga disabilitas yang merupakan embrio dari National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) pun didirikan oleh seorang tenaga medis (dokter ahli bedah tulang) yang bernama R. Soeharso yang terpanggil untuk memberdayakan insan disabilitas supaya memiliki kehidupan yang lebih baik dengan olahraga.

Oleh sebab itu, perjuangan yang telah diawali oleh The Founding Fathers tersebut, layak untuk diteruskan perjuangannya oleh para tenaga medis lain dengan menjadikan insan disabilitas sebagai yang paling akrab dalam hidupnya.

Akhir kata, berawal dari dua tenaga medis yang telah meletakan fundamen dalam olahraga disabilitas, kini peradaban insan disabilitas menjadi lebih baik. Melalui kesempatan ini, penulis pun mendorong para tenaga medis lain untuk berjuang bersama dengan tidak membiarkan peradaban yang ada mengalami keruntuhan, melainkan terus membina dan mengembangkan.

Teristimewa berjuang bersama bagi Indonesia yang merupakan bangsa yang besar dengan gotong royong sebagai akar peradabannya, dan sebagai bangsa besar yang makin tinggi peradabannya, maka harus makin tinggi kepeduliannya terhadap insan disabilitas. Mari bergandengan tangan turut serta dalam usaha pembangunan olahraga disabilitas di Indonesia.

---

*Roy Agustinus Soselisa, S.Pd., M.Pd. adalah Wakil Ketua II National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Provinsi Jawa Timur, serta Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Daerah Special Olympics Indonesia (SOIna) Provinsi Jawa Timur. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada program studi Magister Pendidikan Olahraga, Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya dengan konsentrasi tesis dalam bidang olahraga disabilitas. Surel: roympd@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun