Di hadapan pasukan baris-berbaris itu, Gunandar bermuka masam. Matanya memandang getir. Kalau saja bapaknya punya uang untuk membeli seragam putih dan atribut-atributnya itu, maka Gunandar akan bergerak dan menderapkan langkah di barisan mereka. Sayang sekali. Badannya cukup bagus sebagai paskibra. Dia tinggi dan tegap. Hanya saja, dia lahir dari keluarga tak berpunya.Â
"Kaubisa sekolah di SMA swasta itu saja, meski bayaran SPP saban bulan menunggak-nunggak adalah keberuntungan, Nak," tandas bapaknya.Â
Kalimat itu diucapkan bukan di waktu makan malam bersama di atas meja. Tak ada meja makan di rumah Gunandar. Adiknya, bapaknya, emaknya, dan dirinya bisa makan di mana saja, di dalam rumah yang sempit---sekadar dua kamar: dapur berbareng kamar mandi dan kamar serbaguna---atau di depan rumah.
Bapaknya, bernama Durtom. Hanyalah tukang ojek pangkalan yang ketinggalan zaman. Dia tak punya smartphone seperti kebanyakan orang. Handphone di rumahnya cuma satu: Nokia butut. Motornya pun sudah butut meski mati-matian dia rawat. Dan, tukang ojek itu kalah saing dengan ojek online. Â
Sumbangan 35 ribu pada Pak RT untuk keperluan lomba Agustus saja dia uring-uringan. Belum lagi utang yang selalu berbunga harus dibayar karena dahulu pernah meminjam uang pada rentenir tatkala istrinya sakit parah. Terjadilah, dia tak memasang bendera merah putih---karena mesti membeli---di depan rumahnya.
Gunandar sebenarnya terpilih menjadi anggota paskibra. Tapi, karena tak mampu membeli atribut-atribut itu, dia digantikan oleh siswa lain. Merdeka! Kemerdekaan baginya begitu pahit atau apakah sebenarnya kepahitannya dan kepahitan keluarganya adalah kemerdekaan?Â
3
Sepekan yang lalu, ayah dan ibu Aprilia sudah membeli seragam paskibra. Harga atribut-atribut itu mudah saja dibeli oleh dompet keduanya. Ya, apapun yang dikehendaki anak tunggal itu selalu bisa dituruti keduanya. Padahal kadang tak selalu begitu keinginan Aprilia. Tapi, kini dia bukan berdiri di barisan paskibra di depannya. Wajahnya gusar. Dia tak terima nasib yang menimpanya. Dia tak percaya diri.
Entah apa urusan kantor ayah dan ibunya. Keduanya terus menerus sibuk. Jarang ada waktu untuk anak semata wayangnya. Barangkali itulah penyebab Aprilia tak punya adik. Mengapa? Barangkali karena keduanya sibuk, maka tak sempat berhubungan intim lagi selepas kelahiran Aprilia.
Aprilia bodo amat dengan pekerjaan keduanya. Dia tak pernah bertanya ini itu urusan bisnis keduanya. Aprilia tidur terpisah di kamarnya. Kadang kali Aprilia makan malam duluan---di atas meja mewah yang terpahat dari kayu trembesi---karena kedua orang tuanya belum pulang atau karena keduanya mendadak ada urusan di luar kota.Â
Yang mengurus Aprilia, 24 jam, adalah pembantu rumah yang berjumlah lima. Rumah Aprilia yang luas, berlorong-lorong, dan berliku-liku, tak cukup hanya diurus satu pembantu.Â