Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Pembaca sastra (novel; cerpen; esai), pendengar kajian filsafat dan musik, penonton kearifan lokal; sepak bola timnas Indonesia; kartun, pemain game Mobile Legends. Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paskibra

30 Agustus 2024   18:09 Diperbarui: 31 Agustus 2024   23:06 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1

Mata Tolik berkilat-kilat menatap mereka yang berpakaian elok dan serasi; rancak menggerakkan tangan dan kaki serempak; serta cantik-cantik dan tampan-tampan. Ingin sekali bocah tanggung yang mulutnya menganga, berpakaian compang-camping tanpa alas kaki itu, melihat lebih dekat. 

Tentu saja tak akan mungkin. Satpam berwajah ngantuk yang menjaga gerbang itu akan mengusirnya. 

Tolik ingin suatu hari bisa seperti mereka. Berpakaian rapi: seragam putih, berpeci hitam, bersarung tangan putih, bersampir merah, dan bersepatu hitam. Bergerak serentak: tangan yang diangkat ke depan lalu diturunkan mengayun-ayun, kaki yang berderap dengan langkah-langkah kompak, tatapan mata tajam dan lurus ke depan, kepala dan badan tegak. 

Tadi, sebelum sampai di depan pagar tembok yang celah-celahnya bisa meloloskan mata Tolik memandang ke dalam, Tolik mencuri dengar para tukang ojek berbincang-bincang di pangkalan, di depan sepiring pisang goreng baru matang yang aroma sedapnya berdansa-dansa. Kata golongan itu, sekaranglah 17 Agustus. 

Tolik menguras otaknya. Mencerna maksud pria-pria ojek itu. Tapi, sekejap saja. Dia tak mengambil premis apapun dari hasil berpikir, karena perutnya melilit-lilit. Pisang goreng yang kriuk-kriuk itu menggodanya. Kemudian, Tolik berdiri di depan para tukang ojek. Dia menengadahkan tangan. Dengan jujur bilang: 

"Om, minta makanannya Om. Tolik lapar." Dia mengiba. 

Para tukang ojek itu prihatin. Seorang di antara mereka, bernama Durtom, menyarankan pada mereka agar memberi dua atau tiga pisang goreng pada bocah kecil yang ingusnya sedikit mengintip dari lubang hidungnya. Dua pisang goreng dikasih ke bocah itu. Dia tersenyum. Deretan gigi kuningnya bersilau diterpa sinar matahari kota yang panas. 

Bendera itu dihormati, lalu dinaikkan pada tiang. Tolik ingat bendera yang teronggok sebagai alas tidur di gerobak bapaknya---gerobak itu rumah keduanya---persis dengan bendera yang berkibar-kibar diterpa angin itu. Tapi, bendera merah putih di gerobak bapaknya bentuknya lebih besar. Tolik tak tahu kalau bendera itu diporeloh dari mencuri. Merdeka! Seharusnya kedua manusia tak berumah itu lebih terhormat daripada lambang tak bernyawa itu! 

2

Di hadapan pasukan baris-berbaris itu, Gunandar bermuka masam. Matanya memandang getir. Kalau saja bapaknya punya uang untuk membeli seragam putih dan atribut-atributnya itu, maka Gunandar akan bergerak dan menderapkan langkah di barisan mereka. Sayang sekali. Badannya cukup bagus sebagai paskibra. Dia tinggi dan tegap. Hanya saja, dia lahir dari keluarga tak berpunya. 

"Kaubisa sekolah di SMA swasta itu saja, meski bayaran SPP saban bulan menunggak-nunggak adalah keberuntungan, Nak," tandas bapaknya. 

Kalimat itu diucapkan bukan di waktu makan malam bersama di atas meja. Tak ada meja makan di rumah Gunandar. Adiknya, bapaknya, emaknya, dan dirinya bisa makan di mana saja, di dalam rumah yang sempit---sekadar dua kamar: dapur berbareng kamar mandi dan kamar serbaguna---atau di depan rumah.

Bapaknya, bernama Durtom. Hanyalah tukang ojek pangkalan yang ketinggalan zaman. Dia tak punya smartphone seperti kebanyakan orang. Handphone di rumahnya cuma satu: Nokia butut. Motornya pun sudah butut meski mati-matian dia rawat. Dan, tukang ojek itu kalah saing dengan ojek online.   

Sumbangan 35 ribu pada Pak RT untuk keperluan lomba Agustus saja dia uring-uringan. Belum lagi utang yang selalu berbunga harus dibayar karena dahulu pernah meminjam uang pada rentenir tatkala istrinya sakit parah. Terjadilah, dia tak memasang bendera merah putih---karena mesti membeli---di depan rumahnya.

Gunandar sebenarnya terpilih menjadi anggota paskibra. Tapi, karena tak mampu membeli atribut-atribut itu, dia digantikan oleh siswa lain. Merdeka! Kemerdekaan baginya begitu pahit atau apakah sebenarnya kepahitannya dan kepahitan keluarganya adalah kemerdekaan? 

3

Sepekan yang lalu, ayah dan ibu Aprilia sudah membeli seragam paskibra. Harga atribut-atribut itu mudah saja dibeli oleh dompet keduanya. Ya, apapun yang dikehendaki anak tunggal itu selalu bisa dituruti keduanya. Padahal kadang tak selalu begitu keinginan Aprilia. Tapi, kini dia bukan berdiri di barisan paskibra di depannya. Wajahnya gusar. Dia tak terima nasib yang menimpanya. Dia tak percaya diri.

Entah apa urusan kantor ayah dan ibunya. Keduanya terus menerus sibuk. Jarang ada waktu untuk anak semata wayangnya. Barangkali itulah penyebab Aprilia tak punya adik. Mengapa? Barangkali karena keduanya sibuk, maka tak sempat berhubungan intim lagi selepas kelahiran Aprilia.

Aprilia bodo amat dengan pekerjaan keduanya. Dia tak pernah bertanya ini itu urusan bisnis keduanya. Aprilia tidur terpisah di kamarnya. Kadang kali Aprilia makan malam duluan---di atas meja mewah yang terpahat dari kayu trembesi---karena kedua orang tuanya belum pulang atau karena keduanya mendadak ada urusan di luar kota. 

Yang mengurus Aprilia, 24 jam, adalah pembantu rumah yang berjumlah lima. Rumah Aprilia yang luas, berlorong-lorong, dan berliku-liku, tak cukup hanya diurus satu pembantu. 

Lagi-lagi keinginan yang memendar di depannya tak bisa digapai. Karena lima hari yang lalu, Aprilia membonceng di motor pacarnya lalu motor itu terjatuh di tikungan jalan hingga membuat beberapa bagian tubuhnya yang seputih lilin lecet. Untung saja keduanya yang terguling di aspal terempas ke pinggir jalan. Sebatas menyisakan luka-luka merah. Tak ada tabrakan. 

Dia baik-baik saja. Masih dapat ikut paskibra. Kaki dan tangannya tak terkilir. Tapi, guru olahraga mencoretnya dari daftar anggota paskibra, karena codet di pipi kanannya membuat penampilannya kurang menarik sebagai paskibra putri. Murung di wajah Aprilia waktu itu terbawa sampai hari ini. Benarkah gadis kaya ini merdeka di hari 17 Agustus ini?      

4

Dua hari yang lalu, Minan, guru olahraga mencoret dua siswa yang tak dapat ikut paskibra untuk upacara sekarang. Iyalah Gunandar dan Aprilia. Tidak sulit mencari pengganti keduanya. Tinggal memasukkan kembali di antara mereka yang tak lolos seleksi paskibra. 

Lanskap di depannya mengingatkannya pada masa sekolah dulu. Dia juga pernah menjadi paskibra.  

Dulu semasa sekolah dasar, Minan bagian dari pasukan baris-berbaris. Sekolahnya mendapuk piala tatkala dia dan teman-temannya berlomba di kabupaten tingkat provinsi. Saat SMP, Minan tergabung di ekskul basket. Saat itu sekolahnya di peringkat I pertandingan basket tingkat provinsi. Dan, saat SMA, Minan ikut ekskul sepak bola. Lagi-lagi dia turut menorehkan juara tingkat provinsi mewakili sekolah. Tibalah masa kuliah, Minan ikut kegiatan unit mahasiswa pencak silat. Saat dirinya dilombakan silat mahasiswa tingkat provinsi, sekonyong-konyong dia menang, juara III, berhasil membawa pulang medali dan piala.          

Namun, pasca sarjana, Minan tak menjadi atlet apapun. Tidak paskibraka; tidak pemain basket; tidak pemain bola; dan tidak atlet pencak silat. Ketololannya yang tak memperdalam dan fokus di satu bidang olahraga itu, belakangan disesalinya.  

Kini, Minan sekadar guru honorer yang gaji saban bulannya 800 ribu. Dia punya tiga anak. Syukur saja, istrinya membuka usaha warung makan. Penghasilan istrinya lebih banyak daripada guru olahraga itu. 

Tak ayal Minan diam saja saat dimarahi istrinya yang cerewetnya minta ampun di rumah. Maka, dia akan pergi keluar. Menuju pangkalan ojek. Dan mengobrol dengan para tukang ojek termasuk Durtom. Benarkah guru honorer berbadan buncit---tak seperti badan atlestisnya dulu saat remaja, yang menatap murid-murid paskibra ini, merasakan sebenar-benarnya kemerdekaan? 

5

Barangkali jika keempat tokoh itu tak benar-benar merasakan arti kemerdekaan, mungkin pembina upacara bertubuh kecil dan kurus bernama Nusman, yang menjadi kepala sekolah karena dia putra pemilik sekolah swasta itu, yang merasakan makna kemerdekaan menjalar di sekujur kulitnya. 

Tak ada riwayat Nusman menjadi paskibra semasa sekolah dulu. Badannya kecil hingga tongkat stand microphone mesti dipendekkan. Beberapa hari yang lalu dia dan istrinya berlibur ke Korea Selatan. Mulus sekali jalan hidupnya. Meski tak punya bakat mengelola yayasan, sekonyong-konyong dia menjadi pewaris pemilik yayasan. Dia anak cowok sendiri di keluarganya, dan paling tertua.

Nusman melangkah. Tubuhnya digagah-gagahkan menantang matahari, padahal tubuhnya tak pantas berjalan begitu. Langkah kakinya diderap-derapkan, dan tampak kaku gerakannya. Menaiki tangga gelanggang. 

Sebelumnya, dia telah menghafal kertas pidato yang dikarang oleh kawannya seorang penulis. Akan membacakannya saat ini. Dia juga sudah tahu apa-apa yang mesti dilakukan pembina upaca, lewat menontonnya di Youtube. Karena kalau bertanya ke guru-guru---bawahannya---akan sangat malu. 

Dia mengecek microphone, "cek cek cek," lalu menyampaikan salam dan penghormatan. Di tengah-tengah pidatonya, sekonyong-konyong dia menatap suatu yang ganjil. Serangga-serangga seolah mengerubungi kepalanya. Dia menatap kepala guru-guru honorer itu meleleh, serupa es batu mencair di bawah matahari. Murid-murid di seberang sana, terperangah. Baik yang menjadi paskibra atau anggota upacara. Ingatannya mengembara pada uang sekolah yang dia korupsi untuk keperluan hasratnya. Dan, jiwanya terganggu. Dia selalu diliputi rasa bersalah hingga sering berhalusinasi. Apakah demikian suatu kemerdekaan?         

Surabaya, 30 Agustus 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun