Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Haji Ilegal, Berangkat Haji Juga Mesti Melek Hukum

19 Juli 2024   22:58 Diperbarui: 19 Juli 2024   23:01 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemaah Haji Indonesia sedang menuju Masjidil Haram (sumber: dokumentasi pribadi)

Musim haji 2024 telah usai. Namun meninggalkan luka mereka yang gagal berangkat akibat terganjal visa haji.

Saat musim haji 2024 berlangsung, diberitakan ada 24 orang warga negara Indonesia ditangkap pemerintah Saudi Arabia lantaran tidak memegang visa haji. Berita terakhir menyebut ada 203 orang terkatung-katung di Jeddah, tidak bisa masuk Mekah lantaran tidak mengantongi visa haji.

Visa haji memang jadi ketentuan pemerintah Saudi sebagai syarat administrasi haji. Setiap warga negara asing yang hendak masuk kota Mekah dan Arafah saat musim haji wajib membawa visa haji.

Ketentuan ini sudah dipahami dan harus dipatuhi seluruh negara pengirim jemaah haji ke sana. Artinya siapa pun, warga dari negara mana pun jika melanggar ketentuan tersebut bisa dikenakan hukum.

***

Kasus jemaah haji terlantar atau tertipu bukan hal baru. Setiap musim, sejak puluhan tahun lalu ada saja kasus serupa. Seakan jadi bercak hitam atas berbagai tantangan keberhasilan penyelenggaraan haji.

Tidak sedikit warga negara Indonesia jadi korban. Mereka tidak punya kuasa saat berhadapan dengan kenyataan. Kerugian moril, materiil sampai berhadapan hukum negara setempat. Bahkan travel yang berangkatkan sering bungkam dan menghilang.

Anehnya fenomena itu tidak membuat masyarakat kecut. Animo berhaji secara 'ilegal' tak kunjung surut. Menjelang musim haji sering dipakai sebagai momen beberapa WNI untuk tetap tinggal di Saudi. Tidak sedikit atas iming-iming dari travel. Berharap bisa masuk Mekah dan Arafah kemudian berhaji.

Uniknya saat tatkala gagal berangkat, jemaah cenderung bungkam. Gagalnya berangkat dianggap sebagai aib. Pasrah atas kenyataan merenggut keadilan. Meski tidak sedikit jemaah bersuara, muncul di permukaan mencari pihak bertanggungjawab.

Apakah ini harus dibiarkan. Sistem mana yang salah? Lantas bagaimana jemaah dan para pihak seharusnya menyikapi?

***

Ibadah haji merupakan penutup rukun Islam. Berangkat ke tanah suci menjadi impian. Setiap umat Islam tidak cukup meletakkan ibadah ini sebagai kewajiban semata. Tapi sebuah kerinduan sangat dalam akan bisa langsung bertemu Kabah sebagai fase terakhir dalam kehidupan.

Syariat mengajarkan bahwa kewajiban menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup, bila mampu. Kondisi mampu di sini, sering dimaknai sebatas keuangan. Siapa mampu bayar, mereka bisa berangkat. Ibadah disetarakan peristiwa transaksional.

Terbatasnya kuota tidak sebanding dengan semangat keinginan berhaji. Akibatnya berbagai cara dilakukan meski melanggar aturan. Kondisi membuka celah sisi gelap, kemudian dimanfaatkan oknum mencari pundi. Sisi menjadi incaran bisnis mengambil keuntungan secara finansial. Perjalanan spiritual ibadah yang mestinya sakral bergeser menjadi bisnis menggiurkan.

Kondisi di lapangan ternyata berhaji tidak cukup mampu sekadar punya duit. Ada mampu dalam kesehatan. Dalam arti jemaah punya kemampuan jiwa dan raga melaksanakan rangkaian ibadah. Tidak memiliki gangguan kesehatan selama proses ibadah.

Ada pula mampu secara ibadah. Jemaah mampu menjalani ibadah secara baik. Memahami dan mampu memenuhi serta bedakan batas syarat, rukun, wajib dan sunah dalam rangkaian haji. Termasuk di dalamnya mampu menjalani setiap tahapan ibadah secara baik dan tertib.

Namun di luar itu, penulis ingin mengulas sedikit terkait kemampuan jemaah yang sering dilupakan, yakni taat terhadap konstitusi. Loh kok? Apa hubungannya?

Pada dasarnya taat konstitusi dapat dimaknai kepatuhan jemaah dalam hal ini warga negara terhadap regulasi penyelenggaraan ibadah haji. Sebuah kesadaran dan kemampuan yang bermula dari literasi terhadap hukum negara dalam penyelenggaraan ibadah haji, baik di Indonesia maupun Arab Saudi.

Sebuah Fenomena

Fenomena jemaah tanpa visa haji tidak muncul dengan sendirinya. Peristiwa tersebut umumnya ditopang oleh sejumlah aktivitas berpola serupa. Pola berkembang dan dilakukan berulang banyak oknum. Ada kecenderungan eskalasi meningkat dalam berbagai tingkatan.

Sebut saja praktik umrah di akhir bulan Syawal dan sengaja tinggal lebih lama (over stay). Jenis visa yang mereka pegang pastinya bukan visa haji. Jika mereka pegang visa umrah, Pemerintah Saudi telah tetapkan musim umrah tahun 2024 ini berakhir pada 23 Mei 2024. Artinya visa tersebut sudah tidak berlaku dan keberadaan mereka melanggar kedaulatan negara setempat.

Praktik ini sangat berisiko. Tidak jarang mereka bersembunyi di Jeddah sementara waktu. Bahkan ada yang tinggal di kolong jembatan di sekitaran kota Mekah. Main petak umpet dengan aparat. Kecil kemungkinan menginap di hotel dengan visa kadaluarsa.

Praktik lainnya apa yang sering disebut haji backpacker. Berangkat haji bermodal visa turis atau visa kunjungan. Seringnya mereka masuk melalui berbagai kota di Saudi dan melanjutkan perjalanan ke Mekah dengan transportasi darat.

Proses berikutnya hampir sama dengan praktik over stay sebelumnya. Menunggu momen tepat untuk menyelinap berharap masuk ke Mekah dan Arafah. Namun yakinlah Pemerintah Saudi tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Praktik berikutnya adalah visa palsu. Maraknya semangat berhaji, juga tak jarang dimanfaatkan oknum menjual visa haji palsu. Tipu-tipu mengatasnamakan undangan atau visa wisata disulap serupa visa haji.

Tidak sedikit orang kemudian terjebak pada praktik ini. Tergiur kemudian membeli dengan harga tinggi, tertipu lantaran karena tidak jeli dan minim pengetahuan bedakan visa asli dan palsu. Akhirnya hampir bisa dipastikan terlantar. Bisa terlantar di Jakarta, atau kota transit pesawat.

Apa yang salah dalam sistem?

Jika digali lebih dalam, akan didapati fakta bahwa praktik tersebut tidaklah muncul tanpa sebab. Fenomena muncul secara berulang dalam berbagai bentuk, menunjukkan adanya celah sistem. Artinya ada persoalan dalam sistem yang memberi kesempitan munculnya praktik dimaksud.

Pertama, menurut penulis adalah regulasi. Hadirnya haji mujamalah dalam undang-undang satu sisi memberi angin segar atas putaran bisnis haji di Indonesia. Namun minimnya kendali, justru muncul celah ketidakpastian. Meski praktiknya penipuan haji sudah ada jauh sebelum mujalamah, namun belakangan maraknya penipuan sering mengatasnamakan haji langsung berangkat ini.

Kedua, sejalan itu belum adanya kebijakan batas atas dan batas bawah tarif haji khusus dan haji mujamalah ikut memberi warna pasar bebas. Travel dan oknum bisa mainkan harga, sementara jemaah tidak mengetahui harga pasar atas layanan yang ditawarkan.

Ketiga, kultur umat Islam Indonesia yang memiliki semangat tinggi dalam beragama. Umumnya merasa belum jadi orang Islam jika belum berhaji. Sehingga mereka berlomba-lomba termasuk menghalalkan segala cara. Selain haji juga dianggap memiliki nilai tinggi dalam status sosial. Menaikkan derajat dalam berbagai interaksi sosial di masyarakat. Hal itu sering diperkuat adanya paradigma meninggal di Tanah Suci merupakan sebuah kebaikan.

Keempat, ada sebagian anggapan urusan rumit bisa mudah diselesaikan dengan uang. Saat uang bicara, akan melabrak bahkan mengaburkan rambu-rambu peraturan. Mengutip judul film komedi "itu bisa diatur", membuka ruang pertemuan oknum dan korban menjadi pasar menggiurkan. Oknum mulai menebar janji manis meyakinkan calon korban.

Kelima, penegakkan hukum terhadap pelaku masih dianggap belum optimal. Tidak membuat jera para pelaku, atau bahkan mungkin tidak tersentuh.

Sikap Jemaah

Bahwa di medsos atau masyarakat ada cerita mereka berhasil beribadah haji secara 'ilegal', bukan berarti contoh untuk ditiru. Itu hanya sedikit dari sekian banyak kegagalan. Berhasilnya mereka mau disebut sebagai takdir, silahkan. Tapi yang jelas dia telah melanggar konstitusi.

Keberhasilan haji 'ilegal' yang dilakukan sejumlah oknum sebenarnya telah menciderai diri sendiri, nama baik bangsa dan negara. Sebagai orang beriman tidak sepantasnya melanggar konstitusi. Apalagi untuk urusan ibadah. Jemaah tidak perlu mengatasnamakan agama untuk melanggar konstitusi.

Melanggar konstitusi artinya melanggar hukum. Setiap pelanggaran hukum tentu punya konsekuensi. Apa jadinya bila itu justru dilakukan oleh mereka yang mestinya memberi teladan taat terhadap konstitusi. Berarti secara tidak langsung mereka telah merendahkan martabat bangsa di mata negara lain.

Yakinlah regulasi disusun bukan untuk menyusahkan, tapi untuk melindungi warga negara sebagai jemaah. Regulasi disusun untuk memberi rasa keadilan agar setiap umat Islam dapat melaksanakan ibadah secara baik, tanpa ada halangan.

Karena itu, saatnya umat Islam perlu mengubah cara pandang dalam beribadah haji. Bekali diri dengan ilmu. Haji adalah ibadah, selain taat hukum syariat Islam, juga harus taat hukum negara.

Sikap Pemerintah

Haji 'ilegal', muncul karena adanya celah dalam sistem. Pada sisi lain mereka juga tak jarang mengganggu sistem. Kehadirannya sangat diresahkan jemaah resmi. Misalnya karena tidak punya paket layanan di Arafah dan Mina, akhirnya menyelinap di antara jemaah masuk tenda. Hal ini salah satu penyebab kenapa tiba-tiba tenda terisi oleh jemaah tidak dikenal dan melebihi kapasitas.

Menyikapi berbagai penyimpangan pelaksanaan ibadah haji, sudah mestinya pemerintah memberikan teladan taat pada konstitusi. Ini yang mesti dijaga para penyelenggara negara.

Menyusun regulasi pada prinsipnya untuk keadilan dan kemaslahatan umum. Bukannya malah sengaja mencari celah regulasi guna melegalkan tindakan untuk mendahulukan kelompok tertentu, apalagi mencari keuntungan pribadi.

Praktik di lapangan selalu saja bertemu persoalan. Alih-alih mencari solusi, seringkali justru memanfaatkan celah regulasi untuk berlaku diskriminatif.

Melindungi warga di mana pun berada menjadi tugas negara. Setiap WNI yang meninggalkan negara menuju Saudi Arabia pastinya tercatat di imigrasi. Baik mereka pemegang visa umrah maupun wisata. Sebagian besar mereka berangkat di bawah bendera travel. Karenanya perlu penegakan hukum pada travel nakal.

Terakhir, rasanya pemerintah juga perlu mengevaluasi haji mujamalah. Bagaimanapun haji mujamalah telah dilegalkan dalam undang-undang. Sayangnya haji ini memiliki area gelap, tidak mudah disentuh dan sering dipakai sebagai kedok penipuan.

Penyelenggaraan haji mujamalah berjalan di luar pantauan pemerintah. Sejak perolehan kuota, penyusunan dan penetapan harga paket, transaksi jual beli, sistem layanan, semua praktis minim laporan sampai ke meja Kemenag.

Cukuplah masyarakat mengenal dua jenis, haji reguler dan haji khusus. Haji reguler dikelola penuh oleh pemerintah. Haji khusus dikelola masyarakat dengan aturan relatif mapan. Keduanya mendapat pelindungan dan keadilan setara dari pemerintah serta ada kepastian berangkat.

Itulah beberapa sisi gelap di balik pelaksanaan haji 'ilegal'. Semoga ke depan tidak ada lagi air mata kekecewaan tumpah dirasakan jemaah haji akibat keteledoran sendiri. Mereka dimanfaatkan oknum peraih pundi. Semoga tidak ada lagi praktik berhaji 'ilegal' berbalut kenyamanan berujung penelantaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun