Praktik ini sangat berisiko. Tidak jarang mereka bersembunyi di Jeddah sementara waktu. Bahkan ada yang tinggal di kolong jembatan di sekitaran kota Mekah. Main petak umpet dengan aparat. Kecil kemungkinan menginap di hotel dengan visa kadaluarsa.
Praktik lainnya apa yang sering disebut haji backpacker. Berangkat haji bermodal visa turis atau visa kunjungan. Seringnya mereka masuk melalui berbagai kota di Saudi dan melanjutkan perjalanan ke Mekah dengan transportasi darat.
Proses berikutnya hampir sama dengan praktik over stay sebelumnya. Menunggu momen tepat untuk menyelinap berharap masuk ke Mekah dan Arafah. Namun yakinlah Pemerintah Saudi tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Praktik berikutnya adalah visa palsu. Maraknya semangat berhaji, juga tak jarang dimanfaatkan oknum menjual visa haji palsu. Tipu-tipu mengatasnamakan undangan atau visa wisata disulap serupa visa haji.
Tidak sedikit orang kemudian terjebak pada praktik ini. Tergiur kemudian membeli dengan harga tinggi, tertipu lantaran karena tidak jeli dan minim pengetahuan bedakan visa asli dan palsu. Akhirnya hampir bisa dipastikan terlantar. Bisa terlantar di Jakarta, atau kota transit pesawat.
Apa yang salah dalam sistem?
Jika digali lebih dalam, akan didapati fakta bahwa praktik tersebut tidaklah muncul tanpa sebab. Fenomena muncul secara berulang dalam berbagai bentuk, menunjukkan adanya celah sistem. Artinya ada persoalan dalam sistem yang memberi kesempitan munculnya praktik dimaksud.
Pertama, menurut penulis adalah regulasi. Hadirnya haji mujamalah dalam undang-undang satu sisi memberi angin segar atas putaran bisnis haji di Indonesia. Namun minimnya kendali, justru muncul celah ketidakpastian. Meski praktiknya penipuan haji sudah ada jauh sebelum mujalamah, namun belakangan maraknya penipuan sering mengatasnamakan haji langsung berangkat ini.
Kedua, sejalan itu belum adanya kebijakan batas atas dan batas bawah tarif haji khusus dan haji mujamalah ikut memberi warna pasar bebas. Travel dan oknum bisa mainkan harga, sementara jemaah tidak mengetahui harga pasar atas layanan yang ditawarkan.
Ketiga, kultur umat Islam Indonesia yang memiliki semangat tinggi dalam beragama. Umumnya merasa belum jadi orang Islam jika belum berhaji. Sehingga mereka berlomba-lomba termasuk menghalalkan segala cara. Selain haji juga dianggap memiliki nilai tinggi dalam status sosial. Menaikkan derajat dalam berbagai interaksi sosial di masyarakat. Hal itu sering diperkuat adanya paradigma meninggal di Tanah Suci merupakan sebuah kebaikan.
Keempat, ada sebagian anggapan urusan rumit bisa mudah diselesaikan dengan uang. Saat uang bicara, akan melabrak bahkan mengaburkan rambu-rambu peraturan. Mengutip judul film komedi "itu bisa diatur", membuka ruang pertemuan oknum dan korban menjadi pasar menggiurkan. Oknum mulai menebar janji manis meyakinkan calon korban.