Pengalaman pertama tidak berhenti di pesawat. Sesampainya di hotel, masih perlu penyesuaian. Tidak berani naik lift misalnya. Ini jelas persoalan serius. Mengingat hampir semua akses ke kamar hotel di Saudi gunakan lift. Pendingin ruangan di kamar, bagi sebagian jemaah tidak terbiasa.Â
Dalam kamar terdiri dari jemaah berbeda keinginan. Ada yang tidak betah dengan pendingin. Sementara satunya masuk angin ketika kena kipas. Lampu juga hampir sama dengan pendingin.Â
Ada jemaah yang bisa tidur dengan lampu menyala, sementara lainnya nyaman dalam gulita. Mandi berkali-kali karena panas dan keringatan, memasak dalam kamar, dan masih banyak lagi perilaku unik lainnya.
Dalam hal bagasi, masih saja didapati jemaah tidak mau mengerti dan tidak patuh peraturan dengan barang bawaan. Membawa uang dan rokok melebihi ambang batas, benda keramat, ramuan obat tradisional yang secara aturan jelas melanggar negara Saudi.
Ini terkait dengan paradigma, pengetahuan, atau tradisi jemaah terhadap proses berhaji. Anggapan bepergian haji tidak berbeda seperti bepergian ke kota-kota di Indonesia. Padahal sosialisasi dan pemahaman terkait adanya aturan lintas negara sudah disampaikan dalam berbagai kesempatan manasik.
Jika dilihat dari latar belakang pendidikan 39,7 persen jemaah mentok di SLTP. Dari jenis pekerjaan, jemaah haji didominasi lima kelompok besar. Pertama mereka yang mengaku sebagai ibu rumah tangga sebanyak 27,0 persen, disusul pegawai swasta 22,0 persen, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 20,1 persen, petani 12,0 persen, dan pedagang 8,8 persen. Sisanya kurang dari 10 persen ada dari TNI, Polri, BUMN, pensiunan, mahasiswa, dan lainnya.
Performa ketepatan waktu maskapai menjadi titik krusial berikutnya dalam proses keberangkatan. Penerbangan terlambat lebih dari lima jam berefek domino terhadap banyak hal. Bukan saja pada kedatangan jemaah di Saudi, tapi juga proses antrean terhadap kloter lainnya.Â
Kondisi asrama sudah disetel sedemikian rupa untuk menampung jemaah secara giliran. Keterlambatan satu kloter berdampak kapasitas asrama tidak tercukupi. Sistem antar jemput bus, katering, kesehatan adalah layanan yang berdampak ekstra. Selain juga kondisi tersebut berpengaruh terhadap mental dan kelelahan jemaah.
Tahun 2024, jemaah haji Indonesia diangkut oleh dua maskapai besar, Garuda Indonesia dan Saudi Airlines. Garuda Indonesia mengangkut 109.072 jemaah dalam 292 kloter dengan pesawat tipe B747-300, B777-300, A330-300, dan A340-300.Â