Sementara UU Jaminan Produk Halal memandatkan sertifikasi halal mencakup produk berbentuk barang dan jasa. Kelompok barang meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, bahan kimia, biologi, dan genetika serta barang gunaan.
Perbedaan signifikan lainnya, sebelumnya sertifikasi halal oleh MUI tidak menyentuh aspek produk jasa. Produk jasa dimaksud mencakup pembelian, penyimpanan, pengolahan, distribusi, pengemasan, penjualan, dan penyajian.
Perluasan lingkup ini berdampak semakin banyak variasi aspek standar halal. Setiap jenis produk atau kelompok produk hampir bisa dipastikan memiliki standar dan titik kritis kehalalan berbeda dengan produk lainnya.
Standar inilah yang mesti ditetapkan dan dimiliki sebagai instrumen pembakuan. Dan standar tersebut menjadi acuan yang mesti dipatuhi seluruh stakeholder, pelaku usaha, Penyelia Halal, pengawas, LPH dan MUI.
Dari kesiapan ini, maka ada kebijakan pentahapan. Jadi meskipun kewajiban akan sertifikat halal sudah diketok sejak 2019 lalu, bukan berarti seluruh produk wajib kantong sertifikat halal saat itu. Semua berjalan bertahap sampai batas waktu tertentu.
Produk makanan dan minuman diberikan batas hingga tahun 2024, kosmetik tahun 2026, dan obat hingga tahun 2034.
Berlaku 4 Tahun
Perbedaan berikutnya ada pada masa berlaku. Sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH berlaku selama empat tahun. Ini berbeda dengan sertifikat halal terbitan MUI sebelumnya yang hanya berlaku dua tahun.
Dengan masa izin lebih panjang ini, jelas memberikan angin segar kepada pelaku usaha. Mereka tidak harus setiap dua tahun mengeluarkan sumber daya urus sertifikat halal.
Namun di sisi lain, pengawasan berarti harus dilakukan lebih baik, sistematis dengan mekanisme memadai. Sehingga proses kehalalan produk dari pelaku usaha tetap terjamin.
Karena panjangnya masa berlaku, maka setiap pelaku usaha harus membuka diri untuk dilakukan pengawasan secara periodik oleh BPJPH. Selain juga, Penyelia Halal membuat laporan atas pelaksanaan proses produksi.