Sejalan itu, ulama asal Saudi Syaikh DR. Khalid al-Musyaiqih berpendapat asap kayu gaharu bukanlah makanan atau minuman, dan tidak dihukumi makanan atau minuman.
Sementara ahli fiqih kontemporer Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat rokok adalah minuman - tidak diragukan lagi asap rokok masuk ke dalam rongga dan perut. Dan setiap apa yang sampai ke perut itu membatalkan puasa.
Terlepas dari kondisi masuk atau tidak dalam makanan atau minuman, rokok merupakan produk. Produk ini masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Dan menurut UU Jaminan Produk Halal, produk tersebut wajib mengantongi sertifikat halal.
Titik Kritis Sertifikat Halal Rokok
Pada dasarnya rokok berbahan dasar daun tembakau. Untuk mendapatkan efek rasa atau aroma tertentu, tidak jarang rokok diberikan bahan tambahan berupa cengkih atau saus.
Daun tembakau, merupakan bagian dari tumbuhan. Peraturan jaminan produk halal menyebut bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal.
Namun lebih lanjut peraturan tersebut menyebut untuk tumbuhan yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya, masuk dalam kategori bahan yang diharamkan.
Nah di sinilah titik kritis yang mesti menjadi perhatian semua pihak. Rokok tidak mungkin masuk dalam "whitelist", aman beredar tanpa melalui sertifikat halal. Pun tidak mudah ulama memberikan label halal pada rokok, apalagi haram.
Selain itu, label "halal" atau "tidak halal" dalam proses sertifikasi halal menempel pada produk. Artinya jika pun diterapkan, label itu harus menempel di setiap produk dan kemasan. Jadi UU tidak masuk ranah perbuatan.
Akankah polemik fatwa rokok bisa berakhir. Mari kita serahkan urusan ini sepenuhnya kepada ulama ahli fiqih dan Pemerintah. Tentu bukanlah di seorang seperti saya, yang kini sudah putus hubungan dengan rokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H