Hart terkenal karena perdebatan dengan Ronald Dworkin tentang apakah hukum seharusnya murni berdasarkan aturan atau juga harus mengandung prinsip moral. Dalam era sekarang, di mana isu-isu seperti hak privasi, kebebasan berbicara, dan keadilan sosial menjadi sorotan, pemikiran Hart tetap relevan, meskipun banyak yang mulai menganggap bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari prinsip moral.
Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia
1. Pemikiran Max Weber
Birokrasi dalam Sistem Hukum Indonesia: Sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh konsep birokrasi Weber, khususnya dalam bentuk hierarki dan pembagian kekuasaan di lembaga-lembaga hukum, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setiap lembaga memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas, dan struktur ini mencerminkan pola hukum rasional-legal yang berakar pada aturan formal.
Kritik Terhadap Birokrasi yang Kaku: Salah satu tantangan hukum di Indonesia adalah birokrasi yang sering kali dianggap kaku dan kurang efisien, sehingga menghambat proses hukum dan penegakan keadilan. Kegagalan birokrasi dalam merespons perubahan dengan cepat telah menyebabkan banyaknya tumpang tindih regulasi dan ketidakpastian hukum. Misalnya, dalam reformasi peraturan hukum pidana atau regulasi digital, Indonesia menghadapi tantangan untuk menyesuaikan hukum yang terlalu birokratis dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat.
Otoritas dan Karisma dalam Politik Hukum: Indonesia juga menghadapi fenomena otoritas karismatik di kalangan pemimpin politik yang mempengaruhi kebijakan hukum. Figur-figur seperti presiden atau tokoh masyarakat sering kali dianggap memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik dan keputusan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa selain otoritas rasional-legal, otoritas karismatik masih berperan dalam perkembangan hukum Indonesia.
2. Pemikiran H.L.A. Hart
Aturan Primer dalam Hukum Indonesia: Aturan primer dalam hukum Indonesia meliputi undang-undang yang mengatur perilaku masyarakat, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Lalu Lintas, dan berbagai peraturan daerah. Namun, dalam penerapannya, terdapat masalah ketidakselarasan antara aturan-aturan primer ini dengan konteks lokal atau norma adat yang masih kuat di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, peraturan adat yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain sering kali bertabrakan dengan aturan hukum nasional, yang menunjukkan bahwa aturan primer ini sering kali masih memerlukan penyesuaian lokal.
Aturan Sekunder dan Kelemahan Institusional: Aturan sekunder, seperti prosedur legislatif di Indonesia, menunjukkan kekuatan dan kelemahan institusi pembuat hukum, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga yudikatif. Misalnya, dalam pembuatan undang-undang, terkadang proses legislasi terburu-buru dan tidak sepenuhnya transparan, yang menunjukkan bahwa aturan sekunder dalam sistem hukum Indonesia masih membutuhkan perbaikan agar hukum lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pengaruh Positivisme Hukum: Positivisme hukum Hart menekankan bahwa hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat, bukan karena moralitas. Dalam konteks Indonesia, meskipun undang-undang sudah disahkan oleh negara, penegakan hukumnya sering kali tidak merata atau kurang dihormati, terutama jika dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum formal di Indonesia masih perlu dipadukan dengan prinsip-prinsip lokal agar dapat lebih diterima oleh masyarakat luas.
Kesimpulan