Sore hari, Bu Soraya sudah menunggu suaminya di dekat pintu masuk, tentu saja dengan muka yang geram. Begitu dilihatnya suaminya pulang langsung dihampirinya, kemarahannya tumpah ruah.
“Kenapa papi tega berbuat kayak binatang seperti ini? Dia itu cuma pembantu pi. Mestinya papi tahu. Kenapa sih pi? Kamu tega banget sama mami yang tak bisa punya anak ini. Mami memang mandul pi ndak bisa kasih papi anak, tapi kenapa papi tega .....? Kemarahan Bu Soraya berapi-api.
“Ma .. af ...kan papi .... maafkan papi mi ....... “ Pak Bram memeluk istrinya untuk meredakan kemarahannya. Pak Bram memeluk istrinya sambil berlinangan airmata, antara kasihan dan merasa bersalah. Dipeluk begitu kemarahan istrinya luruh, berganti tangis yang keras seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya.
Minah masih belum bisa diajak bicara. Bu Nando memapah anaknya masuk ke dalam rumah langsung menuju kamarnya. Bu Nando membawa masuk segelas teh panas beserta pisang goreng yang digorengnya tadi pagi. Dibiarkannya Minah sendirian. Bu Nando ke dapur memasak sebentar.
Malamnya ketika dilihatnya Minah sudah bisa diajak bicara, kembali ditanyakannya pertanyaan tadi siang :”Siapa yang menghamilimu nak? Ibu tidak marah, tapi tolong katakan siapa laki-laki itu nak?” Minah tersadar dari kebingungannya, air matanya menetes deras ke pipinya.
“Pak Bram ....... “ Minah menjawab lirih hampir tak terdengar. Namun bagi Bu Nando, berita itu bagai sambara petir di siang hari.
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Mengapa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu sama Pak Bram?. Oalah nduk nduk, kenapa akhirnya malah jadi seperti ini?” Minah hanya membisu. Rasa bersalah itu jelas kentara di wajahnya. Makian Bu Soraya tadi pagi masih jelas di telinganya. Belum sempat dia meminta maaf pada Bu Soraya, sudah diusirnya keluar rumah tanpa membawa apa pun. Rasa sedih dan nelangsa menghinggapi dirinya.
“Entah bagaimana nasibku nanti. Jelas Bu soraya tidak mau memperkerjakan aku lagi. Lalu bagaimana aku menghidupi anakku kelak? Bagaimana dengan persalinanku? Di mana? Aku merasa malu bila harus melahirkan di sini tanpa suami. Pak Bram yang tunduk pada istrinya, mana mungkin akan memenuhi janji untuk menikahiku?” Minah hanya membatin. Tak tega dia membagi beban pada ibunya yang tak tahu-menahu tentang hal ini. Rasanya kepulangannya hanya untuk menambah beban ibunya saja, beban mental, beban malu sekaligus beban ekonomi.
“Ini adalah rasa yang salah, sangat salah. Bagaimana mungkin aku membiarkan perasaanku liar mencintai majikanku sendiri?” batin Minah tak habis-habis. Hari demi hari Minah hanya berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu kalau harus keluar rumah, perutnya sudah makin membesar saja. Hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Hari Minggu pagi yang cerah, Bu Nando terburu-buru masuk rumah memberitahu Minah kalau ada sebuah mobil sedan bagus memasuki halaman rumahnya. Diberitahu begitu, Minah malah ketakutan, takut kalau Bu Soraya yang datang dan jadi menuntutnya ke pengadilan seperti makinya dulu itu. Minah berusaha membesarkan hatinya, jikalau dia memang dituntut dan dihukum rajam sekali pun, Minah bersedia. Dia ingin menebus dosanya terutama terhadap Bu Soraya dan ibunya.
Tapi ternyata yang datang adalah Pak Bram ditemani Tito. Pak Bram mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bu Nando bahwa dia ingin menikahi Minah secara siri. Seketika kelegaan nampak di wajah Bu Nando dan Minah, tentu saja. Bu Nando menarik nafas panjang seolah sudah terlepas segala beban hidupnya.