Langit cerah siang ini, tetapi bagi Minah langit terasa mendung kelabu. Perjalanan panjang telah dilalui sejak semalam dari kota hingga sampai ke desanya. Turun dari angkot, Minah masih harus melanjutkan perjalanan dengan naik ojek.
Suasana desa masih sama seperti ketika Minah meninggalkan desanya dua tahun lalu. Sawah-sawah masih nampak subur, ada yang baru saja ditanam, ada juga yang sudah siap dipanen. Sungguh berbeda dengan suasana di kota di mana sawah-sawah telah beralih fungsi dengan dibangunnya beragam perumahan di atasnya. Jalanan desa masih ditutup bebatuan bercampur tanah, entah kapan pemerintah akan mengaspal jalan ini.
Sesampai di rumah didapatinya rumah tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Minah meletakkan tas besarnya kemudian duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras rumah. Terlihat ibunya pulang dengan membawa sebilah pisau. Oh tahulah Minah bahwa ibunya baru saja rewangan atau membantu orang yang sedang punya hajat.
Ibunya heran melihat Minah tiba-tiba sudah ada di rumah. Lebih heran lagi tatkala melihat raut muka Minah yang tak biasa. Biasanya Minah selalu ceria menceritakan apa saja yang sedang dipikirkan, tapi kali ini mukanya tampak pucat dan tak sepatah kata pun yang terucap begitu melihat ibunya pulang.
“Kapan pulang? Ada apa Minah? Kok tumben-tumben ndak biasanya lho”, ibunya menyapa sambil duduk di sebelah Minah.
Minah masih diam saja, sekarang tatap matanya kosong. Pandangannya hanya lurus ke depan seperti orang ling-lung.
“Ada apa Minah? Katakan sama ibu kenapa kamu pulang tiba-tiba tanpa kabar dulu? Lagi pula ini kan bukan hari libur”, Bu Nando semakin khawatir dengan keadaan anaknya.
Diperhatikannya Minah lekat-lekat dari kepala sampai ke kaki.
“Kamu sekarang tambah gemuk. Enak ya kerja di Jakarta?”. Ditanya seperti itu Minah tetap diam saja. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada perut Minah yang tampak lebih besar. Tanpa disadari kaus yang dipakai Minah mencetak lekat ke perutnya sehingga nampak jelas perutnya yang membulat seperti orang hamil.
“Apa yang terjadi Minah? Kamu hamil ya? Siapa yang melakukan? Katakan pada ibu nduk!”, ibunya menggoncang-goncang kedua bahu Minah. Lagi-lagi Minah diam seribu bahasa.
Ibunya teringat dua tahun lalu Minah pamit mau kerja di Jakarta. Ini karena Tito tetangganya yang menjadi satpam di sebuah perumahan mewah di Jakarta mengatakan bahwa ada seorang ibu yang sangat membutuhkan asisten rumahtangga secepatnya. Ditawari gaji yang menggiurkan membuat Minah tanpa pikir panjang menyetujui untuk menjadi asisten rumah tangga di sana.
Minah memasuki sebuah rumah besar dan mewah dengan diantar Tito, tentu saja.
“Bagaimana Tito, sudah dapat orangnya?” Bu Soraya langsung bertanya begitu melihat ada seorang perempuan dibawa Tito ke rumahnya.
“Sudah bu. Ini namanya Minah” jawab Tito mantap.
“Baiklah Tito, tolong tinggalkan Minah sendirian dulu ya. Makasih ya” berkata demikian Bu Soraya mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah dan menyerahkannya pada Tito.
“Makasih bu”, Tito pamit keluar.
Setelah dilakukan wawancara secukupnya akhirnya Bu Soraya menerima Minah sebagai asisten rumah tangga. Di rumah yang besar ini sudah ada lima pegawai lainnya, yaitu Barno tukang kebun, Pak Sukir sopir, Tito dan Yadi satpam, dan Yu Siti bagian kebersihan rumah. Sementara tugas Minah adalah di bagian dapur, belanja, memasak dan menyajikannya.
Sebenarnya Minah adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan lalu lintas. Umurnya pun baru 20 tahun, masih muda. Tubuhnya sintal dan wajahnya pun menarik, maka tak heran kalau banyak pemuda di desanya yang menaruh hati padanya. Minah tak menanggapi pemuda-pemuda tersebut. Minah masih teringat pada Maman, suaminya yang telah meninggalkannya setahun lalu. Perkawinan yang dijalaninya baru empat bulan sebelum dia ditinggalkan suaminya selamanya.
Ajakan kerja di Jakarta sangat menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang langsung saja disanggupi tawaran Tito. Dan, sekarang dia berada di rumah mewah ini.
Minah mengagumi rumah beserta perabotan yang ada di dalam rumah. Minah baru selesai mengelap seperangkat sofa berlapis kulit asli ketika seorang pria memasuki rumah. Tak didengarnya suara mobil, tiba-tiba saja ada orang masuk. Minah mengangguk pelan yang disambut dengan senyuman Pak Bram.
“Orang baru?” tanya Pak Bram
“Iya pak, baru tadi pagi” jawab Minah sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Pak Bram adalah seorang perwira polisi, maka tak heran bila tubuhnya tinggi besar, tatap matanya berwibawa dan senyumnya ramah. Saat berjabat tangan tadi menimbulkan suatu rasa yang lain bagi Minah. Minah jarang bersalaman dengan lawan jenis, apalagi ini adalah majikannya sendiri. Maklumlah di desanya tak diperbolehkan berjabat tangan antar lawan jenis kecuali bila sudah mukhrim.
Sudah dua bulan Minah bekerja di rumah ini, perlakuan Pak Bram dan Bu Soraya baik sekali terhadap semua pegawai. Hal ini membuat Minah kerasan apalagi hubungannya dengan pegawai lainnya sudah seperti saudara, sering bercanda dan saling bantu.
Ini Hari Minggu, Tito pulang kampung, Barno yang tukang taman juga libur. Yu Siti juga ijin karena anaknya sedang sakit. Pak Sukir sedang mengantar Bu Soraya arisan. Hanya ada Yadi, satpam yang jaga di depan. Minah masih sibuk memukul-mukul daging yang akan dibuatnya rendang nanti sore.
Tanpa sepengetahuannya, Pak Bram memperhatikan Minah dari ruang tengah. Sejak berjabattangan dulu, Pak Bram sudah menaruh simpati pada Minah. Waktu berduaan di rumah seperti inilah yang ditunggu-tunggu Pak Bram.
Segera dipanggilnya Minah :”Minah tolong buatkan teh panas gak pake gula”
“Ya pak” Minah dengan cekatan membuat teh panas tawar dan mengantarkannya ke ruang tengah.
“Silahkan pak” kata Minah sopan sambil membungkuk.
“Makasih Minah”
“Eh sini sebentar Minah” seru Pak Bram begitu melihat Minah buru-buru mau berlalu. Minah membalikkan badannya.
“Duduklah di sini” tangan Pak Bram menunjuk sebelah sofa yang didudukinya.
“Tapi pak ....”
“Sudahlah ayolah duduk di sini tidak apa-apa”, kali ini Pak Bram bangkit dari sofa dan memegang bahu Minah menuntunnya untuk duduk di dekatnya.
“Nah begini kan lebih baik” kata Pak Bram begitu Minah sudah duduk di dekatnya.
“Bagaimana ...... emm kamu kerasan kerja di sini?”
“Iya pak saya kerasan kerja di sini” Minah menjawab dengan kepala menunduk untuk menutupi detak jantungnya yang berdegub-degub. Disembunyikannya dadanya agar tak terlihat gejolak hatinya yang memburu.
“Kata Tito kamu pernah menikah, benar begitu Minah?” bertanya begitu sambil tangan Pak Bram memegang tangan Minah.
“Iya memang benar pak” tangan Minah terasa bergetar.
“Kamu takut? Ndak usah takut. Aku tak akan menerkammu. Kamu tahu kenapa aku ndak ngantar ibu?”
Minah menggelengkan kepalanya.
“Badanku rasanya sakit-sakit, tolong Minah .... kamu bisa pijiti kan?” Pak Bram mengharap anggukan Minah.
“Hmm ..... tapi pak” Minah sebenarnya juga menunggu saat seperti ini, saat bisa berduaan dengan majikannya yang telah disukainya dalam hati.
Pak Bram bangkit dari duduknya, digandengnya Minah memasuki kamarnya. Setelah mengunci kamar, Pak Bram mengganti celana panjangnya dengan sarung dan kaus singlet siap dipijit. Kebetulan Minah juga ahli memijit, jadi tak heran bila Pak Bram merasakan enaknya dipijit Minah.
Pada saat Pak Bram membalikkan badan agar dipijil badan bagian depan, matanya tak lepas dari memandangi Minah. Minah hanya tersipu malu tapi tetap memijit. Sekarang Minah memijit tangat kirinya, tiba-tiba saja tangan kanan Pak Bram meraih Minah ke pelukannya. Minah tak meronta. Saat seperti inilah yang diinginkannya sebenarnya.
Sekujur tubuhnya seolah meminta kehangatan dari pria segagah Pak Bram.
Gelora keduanya sama, maka terjadilah yang tak seharusnya terjadi. Perselingkuhan antara majikan dan asisten rumah tangganya.
Mereka melakukan di saat keadaan memungkinkan. Keduanya sama-sama bergairah melakukannya., maka tak heran bila keduanya pun ketagihan.
Kemudian sesuatu terjadi. Tak ada yang mengetahui, sampai suatu ketika didengarnya Minah muntah-muntah di washtafel. Tanpa Minah sadari beberapa pasang mata memperhatikannya, namun tak timbul kecurigaan di antara mereka. Mereka hanya mengira Minah kurang sehat karena pekerjaan belanja dan di dapur yang melelahkan. Hanya Pak Bram dan Minahlah yang cemas.
Sorenya Pak Bram membawakan Minah sebuah testpack. Pagi harinya Minah membuka kemasan testpack tersebut dan meletakkannya pada sebuah wadah kecil yang berisi urine-nya. Harap-harap cemas. Hatinya deg-degan tak menentu. Lalu tak sadar Minah berteriak saat melihat ada dua garis di testpack tersebut. Itu menandakan dirinya positif hamil. Bingung bercampur takut menyelimuti hatinya.
Segera diberitahukannya hal ini pada Pak Bram, tentu saja pada saat tak ada siapapun yang melihat. Wajah Pak Bram tetap tenang, mungkin karena pendidikan kemiliteranlah yang membuatnya berlaku demikian.
“Bagaimana kalo kamu pulang kampung saja, Minah” Minah hanya bisa sesenggukan menahan tangis. Tak mengira bila kejadiannya sampai sedemikian pelik. Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya, juga pada Bu Soraya yang begitu baiknya.
Minah merasa sangat bersalah pada mereka berdua. Pak Bram berjanji akan menikahinya di desa.
Sebenarnya Pak Bram belum mempunyai anak kandung, Bonita adalah anak angkat yang diambilnya dari panti asuhan. Bonita sedang melanjutkan kuliah di UGM.
Namun pada akhirnya berita kehamilan Minah sampai ke telinga Bu Soraya juga. Bu Soraya marah besar. Dimaki-makinya Minah, kemarahannya tak terkira apalagi mengetahui bahwa yang menghamili Minah adalah suaminya sendiri. Saat itu juga Minah diusirnya keluar rumah begitu saja.
Minah terpaksa meminjam uang dari Tito untuk pulang ke desanya. Tito yang kasihan mengantar Minah sampai ke terminal.
Sore hari, Bu Soraya sudah menunggu suaminya di dekat pintu masuk, tentu saja dengan muka yang geram. Begitu dilihatnya suaminya pulang langsung dihampirinya, kemarahannya tumpah ruah.
“Kenapa papi tega berbuat kayak binatang seperti ini? Dia itu cuma pembantu pi. Mestinya papi tahu. Kenapa sih pi? Kamu tega banget sama mami yang tak bisa punya anak ini. Mami memang mandul pi ndak bisa kasih papi anak, tapi kenapa papi tega .....? Kemarahan Bu Soraya berapi-api.
“Ma .. af ...kan papi .... maafkan papi mi ....... “ Pak Bram memeluk istrinya untuk meredakan kemarahannya. Pak Bram memeluk istrinya sambil berlinangan airmata, antara kasihan dan merasa bersalah. Dipeluk begitu kemarahan istrinya luruh, berganti tangis yang keras seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya.
Minah masih belum bisa diajak bicara. Bu Nando memapah anaknya masuk ke dalam rumah langsung menuju kamarnya. Bu Nando membawa masuk segelas teh panas beserta pisang goreng yang digorengnya tadi pagi. Dibiarkannya Minah sendirian. Bu Nando ke dapur memasak sebentar.
Malamnya ketika dilihatnya Minah sudah bisa diajak bicara, kembali ditanyakannya pertanyaan tadi siang :”Siapa yang menghamilimu nak? Ibu tidak marah, tapi tolong katakan siapa laki-laki itu nak?” Minah tersadar dari kebingungannya, air matanya menetes deras ke pipinya.
“Pak Bram ....... “ Minah menjawab lirih hampir tak terdengar. Namun bagi Bu Nando, berita itu bagai sambara petir di siang hari.
“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Mengapa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu sama Pak Bram?. Oalah nduk nduk, kenapa akhirnya malah jadi seperti ini?” Minah hanya membisu. Rasa bersalah itu jelas kentara di wajahnya. Makian Bu Soraya tadi pagi masih jelas di telinganya. Belum sempat dia meminta maaf pada Bu Soraya, sudah diusirnya keluar rumah tanpa membawa apa pun. Rasa sedih dan nelangsa menghinggapi dirinya.
“Entah bagaimana nasibku nanti. Jelas Bu soraya tidak mau memperkerjakan aku lagi. Lalu bagaimana aku menghidupi anakku kelak? Bagaimana dengan persalinanku? Di mana? Aku merasa malu bila harus melahirkan di sini tanpa suami. Pak Bram yang tunduk pada istrinya, mana mungkin akan memenuhi janji untuk menikahiku?” Minah hanya membatin. Tak tega dia membagi beban pada ibunya yang tak tahu-menahu tentang hal ini. Rasanya kepulangannya hanya untuk menambah beban ibunya saja, beban mental, beban malu sekaligus beban ekonomi.
“Ini adalah rasa yang salah, sangat salah. Bagaimana mungkin aku membiarkan perasaanku liar mencintai majikanku sendiri?” batin Minah tak habis-habis. Hari demi hari Minah hanya berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu kalau harus keluar rumah, perutnya sudah makin membesar saja. Hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Hari Minggu pagi yang cerah, Bu Nando terburu-buru masuk rumah memberitahu Minah kalau ada sebuah mobil sedan bagus memasuki halaman rumahnya. Diberitahu begitu, Minah malah ketakutan, takut kalau Bu Soraya yang datang dan jadi menuntutnya ke pengadilan seperti makinya dulu itu. Minah berusaha membesarkan hatinya, jikalau dia memang dituntut dan dihukum rajam sekali pun, Minah bersedia. Dia ingin menebus dosanya terutama terhadap Bu Soraya dan ibunya.
Tapi ternyata yang datang adalah Pak Bram ditemani Tito. Pak Bram mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bu Nando bahwa dia ingin menikahi Minah secara siri. Seketika kelegaan nampak di wajah Bu Nando dan Minah, tentu saja. Bu Nando menarik nafas panjang seolah sudah terlepas segala beban hidupnya.
Acara pernikahan siri dilakukan di rumah Minah secara sederhana dengan dihadiri kerabat dekat Minah dan para tetangga dekat. Pak Bram yang seorang PNS tentu tidak bisa sembarangan untuk menikah yang kedua kalinya. Untuk itulah dilakukan pernikahan siri ini. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab Pak Bram terhadap Minah.
Pernikahan inipun belum diketahui Bu Soraya. Entah apakah pernikahan siri ini akan diberitahukan kepada Bu Soraya ataupun tidak. Entah bagaimana nanti saja. Semua akan mengalir dengan berjalannya waktu.
Fiksi lainnya dapat dilihat di http://catatanpunyarose.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H