Kelas bubar. Mata kuliah sosiologi selesai. Hari sabtu yang melelahkan.
"Yang. Ntar malam ya," kata Tiwi pada kekasihnya.
"Oce. Aku jemput ya," jawab Dimas sambil mengedipkan mata.
Hubungan terlarang. Bukan oleh orang tua, tapi oleh cowok Gang Rumpun. Tak boleh ada cewek gangnya yang disunting cowok lain. Jika ada yang berani, siap-siap tanggung akibatnya.
Beberapa kali terbukti. Cowok yang berani datang apel malam mingguan, babak belur diamuk pemuda gang Rumpun. Tak hanya orangnya, kendaraannya juga.
"Siapa sih sebenarnya yang jadi komandan geng di Gang Rumpun," tanya Dimas pada Tiwi.
"Gak tau. Ada aja kelakuan mereka. Pokoknya jika ada cowok yang apel, pasti saja pulangnya dijaga sama mereka. Entah ngumpul di mana mulanya. Tiba-tiba saja banyak."
"Seberapa banyak sih?"
"Banyak banget, Yang. Pokoknya kamu jangan jemput aku di rumah. Kita ketemuan saja di jalan poros. Jangan juga di depan Gang. Mereka mengawasi sampai di depan Gang."
"Sebenarnya aku gak takut sih. Cuma mending menyingkir daripada buat masalah dengan mereka."
Mereka berpisah di depan kampus. Tiwi dijemput ayahnya. Dimas naik motor beda arah.
+++++
Hampir setengah jam Dimas menanti di tempat biasa mereka ketemuan. Tiwi tak juga terlihat tanda-tanda datang. Ditelepon tidak diangkat. Dichatt tidak dibalas. Contreng satu. Artinya gawai Tiwi mati. Apa yang terjadi? Tak ada berita sama sekali.
Satu jam kemudian Dimas pulang. Dongkolnya berkepanjang. Janji pacaran, batal. Terbayang mesra-mesra gagal. Akh, malam minggu tak berjalan seperti biasa. Dimas sungguh kecewa. Ini pertama kali Tiwi mengingkari janji. Padahal selama dua tahun pacaran tak pernah ingkar janji.
Apakah aku ke rumahnya saja ya? Tapi mengapa tidak tadi saja. Sekarang sudah pulang. Masak harus kembali lagi. Sudah mulai malam. Gerimis pula. Biarlah esok pagi saja. Bila sampai esok pagi Tiwi tak ada beritanya, pokoknya aku harus datang ke rumahnya.
+++++
Pagi-pagi, rumah Dimas diketuk orang. Bapak dan ibunya kebetulan lagi liburan ke luar kota. Dimas sendirian. Mata masih mengantuk. Karena ada yang mengetuk, terpaksa Dimas ke luar kamar menghampiri pintu.
"Maaf, Mas. Anda Dimas?"
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Orang tua Anda ada?"
"Lagi ke luar kota. Memangnya ada apa, Pak."
"Kami ingin menjemput anda, ke kantor polisi. Mau minta keterangan. Ini surat perintahnya."
Dimas kaget tak terkira. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku disuruh ke kantor polisi, pikir Dimas dalam hati. Mengapa tiba-tiba ada tiga polisi datang ke rumahnya? Salahnya apa? Apakah ini sebuah penangkapan? Tentang apa ini?
"Ayo, Mas. Kita sedang terburu-buru."
"Boleh saya ganti baju, Pak?"
"Gak usah. Sebentar saja kok. Mari kita berangkat."
Bahu Dimas diraih oleh salah seorang polisi. Dimas pasrah mengikuti. Bahkan pintu pun tak sempat ia kunci. Tak rerpikir olehnya membawa gawai atau perlengkapan lainnya. Pikirannya kosong.
+++++
Tadi pagi di Gang Rumpun telah terjadi kegemparan. Ditemukan seorang mayat perempuan di sebuah rumah kosong. Mayat Tiwi. Sepertinya korban pembunuhan disertai perkosaan.
Beberapa polisi mengevakuasi korban setelah mendapat laporan ketua RT. Saat ini mayat masih berada di rumah sakit untuk dipalakukan otopsi.
Keluarga Tiwi sungguh terpukul. Anak cewek satu-satunya telah menjadi korban keganasan cowok Gang Rumpun. Sekejam itukah cowok Gang Rumpun? Bahkan tetangga sendiri dimakan juga. Jadi sasaran kebejatan napsu biadab mereka. Bagaimana orang tua mereka di sana mendidik anak-anaknya.
Walau pun keluarga Tiwi bukan penduduk asli. Setidaknya mereka telah menghuni Gang Rumpun hampir dua puluh tahun. Bahkan Tiwi dilahirkan di Gang Rumpun. Artinya Tiwi adalah bagian dari mereka. Tapi mengapa Tiwi jadi korban?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi hati keluarga Tiwi. Kesedihan dan amarah bercampur jadi satu. Main hakim sendiri? Siapa yang jadi sasaran? Siapa yang melakukan?
+++++
Di ruang pemeriksaan Dimas mengetahui, bahwa Tiwi menjadi korban pembunuhan disertai perkosaan. Hatinya sangat sedih. Cewek tang begitu dicintainya telah tiada. Korban perkosaan pula. Amarahnya meledak. Sedihnya bergejolak.
Sekarang malah dirinya dicurigai jadi tersangka. Terkurung dalam kamar pemeriksaan. Sudah setengah jam didiamkan. Sendiri. Tak ada interaksi. Dimas merenungi apa yang telah terjadi. Juga tentang penantiannya tadi malam. Tentang marahnya karena janji yang tidak ditepati. Hingga marahnya terbawa dalam mimpi.
"Ini, Mas. Silakan sarapan dulu." kata seorang anggota polisi berpakaian preman masuk ruangan membawa nasi bungkus dan teh hangat dari gelas plastik.
"Terima kasih, Pak," kawan Dimas meraih nasi bungkus dan memakannya.
Dimas kemudian ditinggalkan sendirian lagi menghabiskan sarapannya. Hingga beberapa menit kemudian dua orang memasuki ruangan pemeriksaan lagi.
"Kita mau melakukan penyelidikan. Silakan, Mas jawab secara jujur ya. Katakan saja apa yang Mas ketahui. Tak usah ada yang ditutupi. Akan kami bantu sebisa kami."
"Iya, Pak."
"Nama lengkap?"
"Dimas Pranata."
"Umur?"
"21 tahun."
Seluruh data diri Dimas ditanyakan. Dimas menjawab dengan jujur. Tak ada satu pertanyaan pun mengarah pada kejadian tadi malam.
"Sudah berapa lama kau mengenal Tiwi?"
"Tiwi pacar saya, Pak. Sejak pertama kuliah. Sekitar dua tahun kami jadian."
"Tadi malam kamu ada di mana?"
"Saya janjian dengan Tiwi akan jalan-jalan. Karena takut pemuda Gang Rumpun akan menggebuki siapa pun yang datang apel malam minggu, maka saya selama ini hanya berani menunggunya di jalan poros."
"Sampai jam berapa kamu di sana?"
"Janjiannya habis Isya, Pak. Kira-kira jam 20.00 lebih sedikit. Biasanya terlambatnya sepuluh hingga limabelas menit. Tapi tadi malam hingga satu jam lebih Tiwi tak datang. Jadi saya pun pulang."
"Kau tidak datang ke rumahnya?"
"Tak diizinkan Tiwi, Pak. Daripada bikin masalah. Jadi saya mengalah."
"Sampai jam berapa kamu tiba di rumah?"
"Kurang lebih pukul 23.00, Pak."
"Baiklah, kamu sekarang boleh pulang. Tapi kami beritahukan agar kamu diharapkan untuk tidak ke luar kota. Siapa tau kami butuh keterangan lanjutannya. Terimakasih atas kerja samanya ya. Jika mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan, silakan hubungi kami."
"Siap, Pak."
Dimas pun pulang di antar petugas kepolisian hingga di depan rumahnya.
+++++
Pukul 18.00 lebih sedikit di Gang Rumpun beberapa cowok berkumpul di pos ronda. Biasa. Tempat inilah satu-satunya yang tersisa untuk mengkalnya cowok yang ada di Gang Rumpun.
Sebagian main gaplek dengan jepitan ditelinga. Sambil bercanda kartu domino dilempar dan disusun. Saling olok. Saling ejek.
Di sebelahnya sepasang cowok serius memegang kepala. Main catur. Asap rokok mengepul. Dan beberapa lain duduk menunduk memegang gawai. Main game rupanya.
Waktu terus berjalan. Tak ada pergerakan. Tak ada yang datang dan pergi. Empat orang yang main domino tak berganti-ganti. Pemain catur juga tetap itu-itu saja. Beberapa orang yang main game juga tak bergerak.
Sampai pukul dua pagi. Mereka tak peduli. Satu pun tak ada yang beringsut dari tempatnya. Sorak kalah dan menang, serta umpatan-umpatan kadang nyaring kadang pelan. Pukul 5 pagi mereka bubar.
Saat itulah kegemparan dimulai. Salah seorang dari mereka menemukan rumah kosong terbuka. Biasanya terkunci. Merasa curiga masuk dan menemukan ada mayat Tiwi dalam ruangan.
Lalu siapa yang dengan kejam melakukan perkosaan dilanjutkan dengan pembunuhan itu? Bukankah cowok Gang Rumpun yang sudah terkenal tukang gebuki orang yang apel malam minggu di Gang itu?
Atau barangkali ada tempat mangkal lain dengan geng Gang Rumpun yang lain?
+++++
Karena takut akan dijadikan tersangka, Dimas menelepon Bapaknya beberapa saat setelah sampai di rumah.
"Yah. Kapan Pulang?"
"Emangnya kenapa? Tumben biasanya tak pernah nanya. Aku dan ibu baik-baik saja. Masih tiga hari lagi. Urusan ayah belum selesai."
"Dimas dapat masalah, Yah."
"Masalah apa? He, jangan buat Ayah khawatir. Ayo cerita."
"Tiwi, Yah."
"Tiwi kenapa? Tiwi cewekmu itu ya?"
"Tiwi tadi malam ditemukan tewas dibunuh, Yah. Sebelumnya diperkosa. Begitu cerita yang aku dengar."
"Terus hubungannya denganmu apa?"
"Tadi pagi aku diminta ke kantor polisi. Ditanya macam-macam. Sekarang aku boleh pulang. Tapi tak boleh ke luar kota. Aku takut dijadikan tersangka. Padahal bukan aku pelakunya."
"Biasanya malam minggu kan Tiwi bersamamu?"
"Tadi malam kami janjian. Tapi Tiwi tak datang."
"Ya sudah. Nanti kami segera pulang bila urisan ayah telah selesai. Dimas jaga diri ya. Jangan berkelakuan macam-macam. Asal buka Dimas pelakunya tak usah kahawatir. Nanti Ayah coba urus ke kantor polisi."
"Iya Ayah. Baik ayah."
"Ayah tutup ya. Nih langsung Ayah telpon kantor polisinya."
"Iya ayah. Makasih Ayah."
Gundah hati Dimas berkurang. Merasa dapat dukungan dari ayahnya. Ayah Dimas adalah pengusaha. Banyak kenal orang-orang dari kepolisian. Teman-temannya banyak juga yang dari kejaksaan.
Back Street, Korban Pembunuhan (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H