"Banyak banget, Yang. Pokoknya kamu jangan jemput aku di rumah. Kita ketemuan saja di jalan poros. Jangan juga di depan Gang. Mereka mengawasi sampai di depan Gang."
"Sebenarnya aku gak takut sih. Cuma mending menyingkir daripada buat masalah dengan mereka."
Mereka berpisah di depan kampus. Tiwi dijemput ayahnya. Dimas naik motor beda arah.
+++++
Hampir setengah jam Dimas menanti di tempat biasa mereka ketemuan. Tiwi tak juga terlihat tanda-tanda datang. Ditelepon tidak diangkat. Dichatt tidak dibalas. Contreng satu. Artinya gawai Tiwi mati. Apa yang terjadi? Tak ada berita sama sekali.
Satu jam kemudian Dimas pulang. Dongkolnya berkepanjang. Janji pacaran, batal. Terbayang mesra-mesra gagal. Akh, malam minggu tak berjalan seperti biasa. Dimas sungguh kecewa. Ini pertama kali Tiwi mengingkari janji. Padahal selama dua tahun pacaran tak pernah ingkar janji.
Apakah aku ke rumahnya saja ya? Tapi mengapa tidak tadi saja. Sekarang sudah pulang. Masak harus kembali lagi. Sudah mulai malam. Gerimis pula. Biarlah esok pagi saja. Bila sampai esok pagi Tiwi tak ada beritanya, pokoknya aku harus datang ke rumahnya.
+++++
Pagi-pagi, rumah Dimas diketuk orang. Bapak dan ibunya kebetulan lagi liburan ke luar kota. Dimas sendirian. Mata masih mengantuk. Karena ada yang mengetuk, terpaksa Dimas ke luar kamar menghampiri pintu.
"Maaf, Mas. Anda Dimas?"
"Iya, Pak. Ada apa?"