"Perempuan itu juga mengatakannya." Guruh setengah berteriak.
"Aku tidak tahu alasan mengapa aku ditinggalkan pasukan saat kendaraanku terjebak lumpur dan menjadi tawanan orang goa di waktu lampau. Tetapi jika kalian berdua menjadi diriku, kekalahanku hari itu, juga kepahitanku, sesungguhnya anugrah dan impian untuk kalian. Semua manusia dan psudeo manusia yang ada di Babel terperangkap dalam dunia yang sangat mengerikan."
"Seperti apa?"
"Matriks itu membagi dunia atas tiga bagian. Manusia ada pada dunia bawah. Pseudo manusia pada dunia tengah. Mesin dan program komputer pada dunia atas. Persis seperti struktur Babel. Hanya mesin dan program komputer yang dapat menyeberangi semua matriks. Pseudo manusia memiliki akses terbatas. Manusia yang menghuni tingkat terbawah tidak memiliki akses ke dunia atas dan tundak pada aturan pemerintah tanpa syarat."
"Adakah pemerintah di dunia dystopia?"
"Pada tingkat tertinggi, semua system digerakan oleh korporasi yang saling bekerjasama. Dibawahnya terdapat pemerintah yang tunduk pada aturan korporasi. Tetapi itu terjadi hanya karena dunia dystopia sedang menuju kesempurnaan. Saat dunia itu benar-benar sempurna, hanya ada satu pemerintahan. Satu kekuasaan."
"Apa maksudmu dengan dunia yang mengerikan?"
"Tidak ada kata untuk melukiskannya dengan tepat. Â Tetapi aku memberi pada kalian sebuah contoh. Apakah menurut kalian umur yang panjang itu suatu anugrah?"
"Tentu saja," Suami Menik dan Guruh kompak merespons.
Lelaki bersorban menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berhenti sejenak. Kemudian membuka penjelasannya.
"Orang-orang Babel tidak saja berumur panjang. Mereka tidak dapat mati. Di dunia kita kematian dihindari dan manusia ingin berumur panjang. Dalam matriks seperti Babel, orang mencari kematian, tetapi kematian tidak ditemukan. Kamu berangkat tidur dan bangun besok pagi dalam waktu dan ruang yang sama dengan hari ini. Tidak ada kemarin. Tidak ada esok. Mereka menyebutnya keabadian."