Oleh: Hironimus Galut
Abstrak
Dalam panggung politik, kekuasaan negara yang otoriter selalu membawa dampak pada pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Akibatnya, pada masa pergantian kekuasaan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis seringkali meninggalkan luka berupa pelanggaran berat terhadap HAM. Kondisi ini kemudian diperparah dengan ketidakmampuan lembaga peradilan untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Berhadapan dengan potret buram itu, Konsep Keadilan Restoratif dan transisional dinilai menjadi alternatif jawaban atas persoalan tersebut serentak sanggup menciptakan perdamaian bersama. Artikel ini akan menganalisis konsep Keadilan Restoratif dan Transisional dalam upaya menangani pelanggaran berat HAM masa lalu yang kunjung mendapat titik terang. Berdasarkan analisis yang digunakan, ditemukan bahwa penerapan konsep keadilan restoratif dan transisional bisa dilakukan jika pemerintah, akademisi atau sejarawan, dan masyarakat mampu mengungkapkan kebenaran tentang persoalan HAM yang terjadi pada masa lalu secara jujur dan terbuka melalui Komisi Kebanaran dan Rekonsiliasi.
Kata Kunci: Keadilan Restoratif; Keadilan Transisional; Pelanggaran HAM; Rekonsiliasi Politik
Abstract
In the arena of politics, authoritarian power of state always brings violations on human rights. Consequently, the transitional period from authoritarian power to democratic system of governance often leaves scars in the form of huge number of violations on human rights by the government. The condition is exacerbated by the inability of the judiciary to enhance senses of justice for the victims. In this article, I propose the concept of Restorative Justice and Transitional Justice as the best response to avoid such crimes and to create common peace. It is then found that the application of the concept of Restorative Justice and Transitional Justice could be done to overcome the violations on human rights when an institution called the Truth and Reconciliation Commission is available. In addition, restorative and trantitional justice could only be totally brought to realization if the government, scholars, historians, and society enable theirselves to speak honestly of the truth and of the problem of human rights happened in the past.
Keywords: Restorative Justice; Transitional Justice; Violations on Human Rights; Political Reconciliation
I.Pendahuluan
Tak dapat dimungkiri, konstelasi politik pada awal abad ini selalu dihantui oleh pengalaman-pengalaman buram masa lalu sekaligus pelanggaran-pelanggaran HAM yang tak kunjung berakhir. Kekejaman rezim otoritarian yang menelan banyak kerugian bahkan sampai melahap nyawa sedang dilujuti secara serius seiring dengan proses pendewasaan demokrasi. Berhadapan dengan pelanggaran HAM tersebut, keadilan transisional hadir sebagai usaha konstruktif untuk menciptakan perdamaian yang tidak saja ditempuh melalui jalur pengadilan, melainkan juga melalui mekanisme non pengadilan. Sejalan dengan itu, keadilan restoratif muncul sebagai upaya pemulihan terhadap permasalahan HAM yang terjadi melalui jalur yang serupa. Dalam konteks ini, keadilan restoratif dan transisional menjadi jalan yang positif untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Namun, dalam upaya-upaya penerapannya tercuat beragam argumen yang konstruktif sekaligus destruktif. Pada satu sisi tak sedikit orang selalu menghukum rezim masa lalu sebagai sebuah kejahatan yang paling kejam. Pada sisi lain, banyak orang juga memandang secara sedikit positif serentak membiarkan masa lalu sebagai masa lalu itu sendiri. Berhadapan dengan estimasi ganda itu, keadilan restoratif dan transisional muncul sebagai wacana untuk menyelesaikan suatu problematik besar yang sedang dihadapi dengan perspektif politik demokratis saat ini serentak sebagai usaha positif mewujudkan rekonsiliasi. Untuk itu, tulisan sederhana ini didesain dengan judul: 'Keadilan Restoratif dan Transisional dalam Usaha Mencapai Rekonsiliasi'.
II.Konsep Keadilan dan Rekonsilisasi
2.1.Konsep Keadilan
Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Seseorang tidak pernah menyebutkan atau mempersoalkan keadilan bagi dirinya sendiri, melainkan keadilan bagi orang lain. Keterarahan terhadap orang lain itulah yang menjadi hakikat dari keadilan. Lebih dari itu, keadilan tidak hanya terkait dengan pemberian hak, melainkan juga pengakuan atas nilai-nilai mendasar yang melekat di dalam diri seseorang seperti keunikan, pikiran, aspirasi serta segala kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya dan menghindari diri dari kesewenang-wenangan. Berdasarkan pemahaman itu, K. Bertens lalu merumuskan tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan. Pertama, keadilan tertuju kepada orang lain. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Ketiga, keadilan menuntut persamaan.
2.1.1.Keadilan Restoratif
Dalam perspektif historis, keadilan restoratif diperkenalkan pertama kali oleh Albert Eglash. Ia menerangkan keadilan restoratif sebagai pertanggungjawaban pelaku dalam memulihkan penderitaan korban dengan tidak mengesampingkan kepentingan rehabilitasi dari pelaku itu sendiri serta menjunjung tinggi iklim kesejahteraan bersama. Namun, jauh sebelum Albert Eglash menyatakan gagasannya, tradisi dan peradaban Yunani, Arab dan Romawi Kuno telah mengenal adanya keadilan restoratif bagi kejahatan nyawa. Begitupun dikalangan masyarakat Tao, Budha dan Konfusius sudah sejak lama memakai keadilan restoratif untuk menyelesaikan persoalan hukum mereka.
Selanjutnya, Wesley Cragg menghubungkan teori retributif atau pembalasan dalam hukum pidana dengan kemunculan keadilan restoratif. Dalam pemikirannya, teori pembalasan kurang begitu berhasil dalam menekan terjadinya kejahatan. Lebih dari itu, retributif juga tidak mampu memperbaiki kerugian yang dialami oleh korban. Dengan demikian, lahir sebuah upaya untuk mengubah paradigma dari pembalasan menuju pemulihan (restoratif). Dalam konteks ini, keadilan restoratif memandang pentingnya anggota masyarakat, khususnya korban untuk mendorong pertanggungjawaban pelaku terhadap kejahatan yang dibuat, pemulihan kerugian material dan emosional serta mendorong negosiasi untuk menyelesaikan masalah sehingga masyarakat terhindar dari konflik berkepanjangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka keadilan restoratif dapat dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah melalui jalur non pengadilan dengan menggunakan pendekatan intensional antara pelaku dan korban. Dalam keadilan restoratif, korban dan terdakwa menggelar pertemuan untuk saling bercerita mengenai problematik yang terjadi, membahas pihak yang dirugikan karena kejahatan dan selanjutnya bermusyawarah tentang hal yang harus dilakukan oleh pelaku untuk menebus kesalahannya. Dalam pertemuan ini kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Beberapa hal yang bisa dicapai yakni, pemberian ganti rugi kepada korban, permintaan maaf, atau tindakan-tindakan pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Melalui jalur ini, korban dan terdakwa bisa memperoleh jalan keluar yang konstruktif apabila keduanya secara ekplisit dan jujur menjelaskan persoalan-persoalan real yang terjadi.
2.1.2. Keadilan Transisional
Keadilan transisional sebenarnya telah digaungkan pasca Perang Dunia II di Eropa melalui pembentukan Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg serta berbagai program de-Nazifikasi di Jerman dan persidangan tentara Jepang di Pengadilan Tokyo. Dalam Pengadilan Nuremberg, pasukan sekutu yang menang memperluas peradilan pidana kepada tentara Jepang, Jerman dan para pemimpin mereka atas kejahatan perang yang dilakukan selama perang. Hal inilah yang menandai awal mula munculnya keadilan transisi. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dan 1980-an keadilan transisional fokus pada promosi hak asasi manusia. Hal ini mengarah pada konteks global dan kebangkitan rezim hak asasi manusia secara progresif yang berpuncak pada pembentukan hukum dan konvensi hak asasi manusia internasional.
Penekanan keadilan transisi terhadap pelanggaran hak asasi manusia saat itu hanya fokus pada penuntutan hukum dan pidana. Akibatnya, literatur awal tentang keadilan transisi didominasi oleh pengacara, hukum, dan hak hukum. Namun, pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an terjadi pergeseran fokus keadilan transisional. Keadilan transisional kemudian muncul sebagai bidang studi baru dalam demokratisasi. Dalam hal ini, elemen keadilan transisional telah memperluas cetakan awal yurisprudensi pasca perang. Kerangka keadilan transisional telah mendapatkan keuntungan dari para aktivis demokrasi yang berusaha untuk mendukung demokrasi yang masih muda dan menyelaraskannya dengan kewajiban moral dan hukum yang diartikulasikan dalam konsensus hak asasi manusia internasional. Salah satu inovasi khusus adalah munculnya komisi kebenaran untuk menyelesaikan persoalan berat masa lalu.
 Bertitik tolak pada sejarah di atas, maka keadilan transisional dapat dimngerti sebagai upaya penyelesaian palanggaran HAM berat masa lalu untuk menciptakan perdamaian serentak melahirkan bonum commune dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengalami transisi. Hal yang sama ditegaskan oleh Tosa Hiroyuki, seorang Profesor di Kobe University, bahwa keadilan transisional ditempuh untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokrasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial yakni, lewat Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi (KKR). Selain itu, Sekjen PBB memutlakkan pentingnya pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM atas tindakannya pada masa lampau untuk mencapai keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Dalam usaha mencapai tujuan mulia itu, sangat diperlukan adanya suatu proses yudisial maupun non-yudisial. Dengan demikian, keadilan transisional hadir sekaligus menyediakan ruang yang cukup luas untuk menyelesaikan berbagai problematik dari suatu sistem otoritarian menuju sebuah iklim politik baru yang disebut demokrasi.
2.2.Rekonsiliasi
Istilah rekonsiliasi pertama kali digunakan dalam Gereja Katolik saat berhadapan dengan perpecahan historis dan kontemporer yang mendalam di Eropa. Rekonsiliasi bertautan dengan berbagai proses untuk meluruskan situasi yang tidak adil sekaligus kacau. Term rekonsiliasi ini kemudian diadopsi dalam bahasa publik, termasuk politik ketika berhadapan dengan permasalahan HAM berat masa lalu. Dalam hal ini, rekonsiliasi politik seringkali dihubungkan dengan upaya menetralisir kejahatan-kejahatan negara masa lalu. Dengan demikian, kata rekonsiliasi memiliki pengertian yang lebih dalam dari sekedar pengampunan, sebagaimana dipraktekkan dalam Gereja. Rekonsiliasi selalu berupaya untuk menciptakan perdamaian setelah terjadinya konflik. Selain adanya pengampunan, rekonsiliasi menghendaki adanya situasi damai dan perubahan ke arah yang positif-konstruktif agar peristiwa sebelumnya tidak terulang kembali.
Dalam nada yang lebih tajam, Arendt memposisikan rekonsiliasi sebagai satu-satunya cara paling tepat saat berurusan dengan kejahatan masa lampau, hal ini dikarenakan rekonsiliasi sanggup memunculkan konsep baru tentang solidaritas (Arendt, 1958, p. 237). Â Dalam konsep ini, rekonsiliasi menjadi penting dalam suatu masyarakat yang selalu dihantui oleh sejarah buruk masa lampau. Konsep baru tentang solidaritas yang lahir dari suatu rekonsiliasi ini menjadi suatu gerakan perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, rekonsiliasi mampu meluruskan situasi yang tidak adil akibat peristiwa masa lalu. Tindakan ini tenju saja bertujuan untuk mengatasi dampak negatif dari persoalan masa lalu yang masih dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu pada masa sekarang.
III.Keadilan Restoratif dan Transisional sebagai usaha Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Falsafah lahirnya keadilan transisional dalam lintas ilmu hukum dan ilmu politik pada dasarnya untuk mewujudkan rasa keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Konsep keadilan transisional merupakan tuntutan dalam menjawab persoalan atau peristiwa hukum yang berkembang dengan jatuhnya suatu rezim utama, yakni rezim otoriter dengan menerapkan kekuasaan tidak berdasar atas nilai-nilai hukum dan demokrasi dalam suatu negara. Keadilan transisional (transisional juctice) dalam penyelesaian kasus HAM diselesaikan melalui prosedur yudisial misalnya lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional serta prosedur non yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Prosedur yudisial menitikberatkan pada keadilan retributif (retributive justice) dan prosedur non pengadilan melalui KKR lebih menitikberatkan pada keadilan restoratif (restorative justice). Pada titik ini, keadilan restoratif memiliki peluang yang sangat besar dalam wacana keadilan transisional. Bahkan, keadilan restoratif menjadi jalur yang kuat dalam upaya menyelesaikan persoalan masa lalu yang menjadi intensi besar dalam suatu pemerintahan transisi.
Prosedur non yudisial melalui jalur keadilan transisional dalam negara yang baru keluar dari rezim otoritarian atau represif dan mulai masuk dalam sistem demokrasi membutuhkan sebuah kesediaan total untuk mengelola pengalamanan buruk masa lalu secara eksplisit. Hal ini selalu didasarkan pada keinginan kuat untuk menata masa depan secara lebih baik dan matang. Ernest Renan menilai bahwa pembangunan sebuah bangsa sesungguhnya adalah bukan apa yang berakar pada masa silam melainkan apa yang dikembangkan di masa depan dengan membangun hasrat untuk bersatu padu dalam musyawarah di masa kini untuk berani berkorban demi terciptanya masa depan yang gemilang. Rekonsiliasi diibaratkan sebagai pisau bermata dua yakni forget dan forgive yang mengarah pada impunitas. Dalam konteks ini, stabilitas negara amat bergantung pada kedaulatan mutlak pada kepercayaan publik atas tatanan hukum. Dengan demikian, apabila berurusan dengan keadilan transisional, negara harus berani menatap sejarah masa lalu secara jujur sekaligus secara eksplisit mengungkapkannya dalam ruang yang terbuka.
Proses pengungkapan kejahatan di masa lalu itu bisa ditempuh pemerintah melalui pembentukan tim formil yang sering disebut KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Komisi ini hadir untuk mencari fakta yang alamiah (nature fact) atas kejahatan masa lalu tersebut. Selanjutnya, kehadiran sejarahwan dan akademisi sangat urgen untuk menerangkan secara logis melalui pola pikir yang sistematis tentang kebenaran dari berbagai kejahatan masa lalu. Selain itu, keterlibatan masyarakat umum dalam menangani problem kejahatan masa lalu menjadi sebuah keharusan, sebab mereka adalah dasar dan tujuan negara. Dengan demikian, upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam mengungkapkan kebenaran masa lalu merupakan sebuah reparasi menuju tatanan negara demokrasi yang lebih baik di masa sekarang dan untuk masa depan.
Pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang disebut juga sebagai mekanisme non pengadilan dengan cara mengungkapkan kebenaran dan permintaan maaf pelaku, serta pemulihan terhadap korban menjadi langkah konkret menciptakan perdamaian. Berbeda halnya dengan cara pencapaian keadilan di luar proses pidana yang cirinya melakukan pembalasan. Keadilan restoratif memposisikan pihak-pihak tidak secara terpisah namun secara bersama-sama tentunya berupaya menjalin hubungan yang harmoni dan tidak terpecah bela. Proses keadilan restoratif mengarah pada penyelesaian masalah antar pihak dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Hasilnya integrasi pelaku di satu sisi dan korban serta masyarakat di sisi lain sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi dan hubungan baik dalam bermasyarakat. Dalam hal ini pendekatan keadilan restoratif tidak saja berfokus pada pelaku, akan tetapi lebih berfokus pada kepentingan dan kebutuhan korban.
Proses pengungkapan kejahatan masa lalu pernah dilakukan secara simbolik oleh Kanselir Jerman, Willy Brandt ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Polandia. Ia meletakan karangan bunga di tugu pemberontakan Warsawa. Selanjutnya, ia melakonkan adegan yang tidak lazim, yaitu membungkukan kepala sebagai tanda hormat, lalu berlutut. Tidak mengherankan, tindakan yang tak terdugakan sebelumnya ini segera menjadi sumber perbantahan. Mark Edelmann, salah seorang yang selamat dari peristiwa pemberontakan di Warsawa, berbicara atas nama rekannya yang lain. Dia menerangkan bahwa aksi itu merupakan suatu tindakan yang mulia. Belajar dari gerak isyarat ini, orang-orang Jerman terdorong secara moral untuk menghormati para korban. Tindakan Brandt kemudian dilihat sebagai tindakan kolektif warga Jerman. Pada titik ini jelas bahwa pengungkapan kejahatan masa lalu bukan merupakan sebuah kebodohan atau penghinaan terhadap martabat pelaku. Brandt telah menunjukan pengungkapan simbolik yang menandakan kerendahan hati sekaligus penyesalan sebagai nilai humanis dan sebuah nilai moralitas tertinggi. Pengungkapan kesalahan sesungguhnya menunjukan bahwa pelaku menghargai kemanusiaan manusia.
Pada titik demikian, keadilan transisional dan restoratif memiliki keterkaitan satu sama lain dalam upaya mencapai rekonsiliasi. Keadilan transisional melalui lembaga KKR berusaha meneliti secara mendalam akar permasalahan HAM pada masa lalu. Sejurus dengan itu, keadilan restoratif hadir untuk melengkapi proses non peradilan dengan mengedepankan pemulihan dan tanggung jawab. Pengungkapan kebenaran dan tanggung jawab itu menciptakan iklim kedamaian dalam sebuah negara sekaligus menyembuhkan luka-luka yang dialami. Namun demikian, keadilan transisional dan restoratif yang menjadi kerinduan besar dari demokrasi untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan terhadap kesalahan masa lalu tersebut ternyata memiliki banyak tantangan dan kendala yang rumit. Tantangan itu justru muncul dari elite-elite pemegang kekuasaan atas motivasi kepentingan tertentu. Akibatnya, kehadiran mereka di kursi kekuasaan jauh dari intensi bonum commune. Kegagalan dalam mewujudkan keadilan transisional itu dengan sendirinya juga meruntuhkan serentak menutup pintu tercapainya rekonsiliasi.
Tantangan-tantangan itu bahkan lebih besar dari peluang. Hal itu dikarenakan, elite-elite politik yaitu penguasa yang sedang berkuasa seringkali ditemukan sebagai pelaku kejahatan. Atas dasar itu, mereka selalu berusaha membentengi diri melalui melalui modus jabatan di ruang publik. Tendesi buruk ini selalu berangkat dari nafsu untuk berkuasa yang didasari oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Selain itu, pembatasan ruang berinovasi bagi akademisi atau intelektual untuk mengekspresikan kemampuannya di ruang publik menjadi penghalang dalam usaha mengungkapkan kebenaran akan masalah masa lalu. Efek keberlanjutan dari kendala-kendala tersebut adalah terciptanya masyarakat minus nalar. Masyarakat seringkali pasrah dan menikmati kondisi ketertindasannya tanpa sedikit pun berjuang untuk keluar dari ketertindasan itu. Masih banyak masyarakat yang minim pengatahuan sejarah dan juga minus nalar, sehingga para elite dengan mudah melanggengkan nafsu bejatnya dengan memanfaatkan kelemahan dari masyarakat sipil itu sendiri. Seruan rekonsiliasi dari masyarakat sipil menjadi kehilangan arah dan tak kunjung terwujud.
IV.Keadilan Restoratif dan Transisional sebagai Usaha Bersama untuk mewujudkan RekonsiliasiÂ
Berdasarkan uraian sebelumnya di atas dapat dimengerti bahwa keadilan transisional dan keadilan restoratif sebagai pendukungnya sangat berdaya tranformatif mewujudkan cita-cita bersama yang amat mulia, yaitu rekonsiliasi. Untuk itu, pengungkapan kejahatan sistematis sebagai faktor pendukung rekonsiliasi mesti menjadi usaha bersama suatu bangsa. Dalam konteks ini semua elemen dalam sebuah  bangsa yang menyebut diri sebagai komunitas politik dituntut secara moral juga bertanggungjawab dalam usaha menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan terhadap kemanusiaan. Rekonsiliasi hanya mungkin apabila kebenaran bisa terkuak dan keadilan bagi para korban dapat ditegakkan secara serius. Â
Hannah Arendt dengan begitu baik menjelaskan kelemahan dari tindakan manusia yakni unpredictable dan irreversible. Unpredictable merujuk pada tindakan manusia yang tidak bisa diramalkan sepenuhnya sekaligus semua hasil atau konsekuensinya. Hal ini membuat orang takut untuk bertindak. Saat semua orang berada pada titik ini, maka 'janji' akan membantu mengobati apa yang tidak bisa diramalkan. Selanjutnya, irreversible menerangkan tindakan manusia yang tidak bisa dikembalikan pada titik nol dan untuk mengobatinya perlu pengampunan." Dengan demikian, dalam konteks kejahatan HAM masa lalu, Arendt sesungguhnya menegaskan bahwa kita tidak pernah tahu dengan pasti konsekuensi dari apa yang kita lakukan, karena kejadian itu telah lewat dan peristiwa itu tidak bisa diulang lagi. Untuk itu, satu-satunya cara adalah forgiveness atau pengampunan. Pengampunan mengandaikan adanya janji sehingga dapat membuka kesempatan untuk memulai yang baru.
Proses rekonsiliasi melalui jalur keadilan transisional dan restoratif dengan memberi kepercayaan kepada KKR sebagai lembaga non pengadilan harus dibarengi dengan sikap menerima proses forgiveness secara mutlak. Rekonsiliasi mengandaikan impunitas dan dengan demikian proses amnesti bisa berjalan baik. Untuk memuluskan maksud itu, setiap orang harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dengan memperjuangkan sebuah transformasi kritis dan radikal. Tanggung jawab yang dimaksud tidak saja melibatkan pelaku kejahatan. Dalam konteks ini, pemahaman tentang keadilan restoratif dan keadilan transisional memiliki relasi yang intens dengan term tanggung jawab. Hal ini sangat mendesak karena kesadaran akan tanggung jawab menjadi dasar yang kokoh dalam proses mewujudkan cita-cita bersama. Artinya, semua kalangan dalam sebuah komunitas politik memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kejahatan itu walaupun tidak terlibat di dalamnya.
Tanggung jawab terhadap korban kejahatan HAM pernah ditunjukan oleh sekelompok mantan serdadu yang pernah bertempur untuk angkatan perang Hitler di Belorusia dalam perang dunia II. Mereka memutuskan untuk kembali ke negara itu lima puluh tahun kemudian dan membuat suatu yang produktif seperti membangun sebuah rumah untuk anak-anak korban bencana nuklir chernobyl. Tindakan yang dilakukan serdadu Jerman di atas memang memberi kepuasan tersendiri bagi pihak korban karena penghormatan, penghargaan dan penyesalan yang mendalam dari para pelaku. Pengampunan yang diterima juga memberi kepuasan tersendiri bagi pelaku. Keadilan restoratif mengandaikan pihak yang menjadi korban pada masa lalu seperti, kehilangan harta benda materil dan trauma psikologis dilayani dan dipulihkan. Keadilan restoratif membungkus perjuangan itu dengan memfasilitasi segala aspek yang hilang dari para korban. Dengan demikian, dalam rangka mendukung berbagai langkah atau syarat untuk mencapai rekonsiliasi tersebut, penulis memproposalkan beberapa upaya konstruktif melalui usaha-usaha konkret yang bisa dilakonkan oleh pemerintah, masyarkat, akademisi, kaum muda dan atau mahasiswa dalam merancang keadilan restoratif dan transisional.
Pertama, pemerintah. Pemerintah yang terdiri dari elite-elite politik pemegang kekuasaan harus berani menanggalkan berbagai kepentingan personal serentak berani mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan buram di masa lampau, baik yang dilakukan oleh pemerintah yang sementara berkuasa maupun yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan korban-korban dan pelaku-pelaku kejahatan. Selanjutnya pemerintah mesti getol memperkenalkan maksud rekonsiliasi kepada ruang publik melalui sosiliasi yang konstruktif. Lebih dari itu, pemerintah juga harus berani menghadirkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai ruang yang tepat untuk mengungkapkan berbagai kebenaran dari permasalahan masa lalu.
Kedua, akademisi/sejarahwan. Permasalahan buram yang terjadi pada masa lalu sebenarnya menjadi tanggung jawab besar para akademisi dan sejarahwan untuk mengusahakan pengungkapan kebenaran secara original. Dalam konteks ini, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi persoalan akademis. Untuk itu, kaum akademisi dan sejarahwan harus berusaha sejauh mungkin mencari ruang yang legal dalam kerja sama yang solid dengan pemerintah untuk melakukan berbagai upaya penelitian akademis terhadap kasus pelanggaran yang terjadi pada masa lalu itu. Hal ini sangat krusial sekaligus mendesak berhadapan dengan usaha mewujudkan keadilan restoratif dan transisional yang manaruh harapan besar pada kebenaran akan permasalahan masa lalu itu.
Ketiga, kaum muda dan atau mahasiswa. Kaum muda atau mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa secara otomatis akan berhadapan dengan permasalah-permasalahan yang sama apabila tidak ada jalan keluar yang tepat dalam menyelesaikan berbagai problematik HAM masa lalu. Untuk itu, kaum muda atau mahasiswa harus mampu menyuarakan perdamaian secara lebih intens melalui sikap kritis serentak mendesak pemerintah sebagai garda terdepan untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM masa lalu. Hal ini dapat dilakukan dengan menyumbangkan berbagai ide-ide kritis dan solutif dalam tulisan yang dapat dikonsumsi oleh publik, terutama pemerintah.
Keempat, Masyarakat sipil. Masyarakat sipil sebagai cita-cita demokrasi harus mampu memahami dengan baik eksistensinya dalam bernegara sekaligus kondisi negaranya. Gerakan akar rumput atau masyarakat sipil dalam menyuarakan kedamaian sangatlah penting. Daerah Nenggro Aceh Derusalam dapat menjadi contoh bagi masyarakat sipil bagaimana pentingnya peran mereka demi tercapainya kedamaian dalam hidup bernegara. Proses rekonsiliasi akan semakin berjalan mulus tatkala masyarakat bersatu padu sebagai demos untuk menciptakan kedamaian dan memperbaiki tatanan kehidupan demokrasi yang lebih baik.
V.Penutup
Konsep Keadilan Trasisional dihadirkan karena kesadaran akan adanya masalah yang serius yang melekat pada sistem peradilan umum dalam menyelesaikan kejahatan terhadap HAM apalagi bila peristiwanya terjadi pada masa lalu dan terjadi dalam skala yang amat luas, dan sistemik. Sejurus dengan itu, keadilan restoratif juga muncul sebagai sarana yang cocok untuk memberi titik terang akan persoalan berat tersebut. Dalam konteks ini dapat dipahami keadilan restoratif dan keadilan transisional memiliki relasi yang sangat intens sekaligus berdaya tranformatif dalam menciptakan perdamaian. Keadilan transisional memberi ruang kepada keadilan restoratif serentak menjadi bagian integral dari usaha mewujudkan keadilan transisional itu sendiri. Dalam upaya ini, tuntutan keadilan bagi korban dicapai dalam suatu peralihan pemerintahan dari sistem otoriter atau represif menuju sistem negara yang mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi. Titik ultim dari keadilan restoratif dan transisional tersebut adalah rekonsiliasi. Dengan demikian, pengungkapan kebenaran akan masalah-masalah berat masa lalu menjadi sebuah kemendesakan. Kebenaran itu dapat tercapai apabila pemerintah, akademisi, sejarahwan, masyarakat dan kaum muda menyadari rekonsiliasi sebagai sesuatu yang urgen untuk menciptakan keadilan bersama. Perlu dipahami bahwa jalur-jalur yang ditempuh dalam mencapai rekonsiliasi adalah keadilan restoratif dan transisional.
DAFTAR PUSTAKA
Arendt, Hannah. "Human Condition" pdf. The University of Chicago Press. 1998.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. 2010.
Koten, Yosef Keladu. Etika Keduniawian, Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt. Maumere: Penerbit Ledalero. 2018.
---------------------------."Elemen-elemen Penting dalam Rekonsiliasi Politik", dalam Seminar Rekosiliasi Politik pada 10 September 2020.
Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia?. Maumere: Penerbit Ledalero. 2011.
Muler-Fahrenholz, Geiko. Rekonsiliasi, Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam Masyarakat. Maumere: Penerbit Ledalero. 2005.
Sihotang, Kasdin. Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Sofyan dan Abdul Syatar. "Restorative Justice Dalam Upaya Penyelesaian Kejahatan Hak Asasi Manusia Perspektifhukum Islam". Shautuna.Vol.1, No 1, Januari 2020.
Wikipedia., diakses pada 2 Oktober 2020.
Wikipedia., diakses pada tanggal 2 Oktober 2020.
Hiroyuki, Tosa. "Keadilan Transisional yang terabaikan? Tinjauan Ulang Masalah Indonesia-Timur Leste", diakses pada tanggal 4 Oktober 2020.
 "Teori Kebangsaan Hans Kohn Ernest Renant dan Ratzel", diakses pada tanggal 3 Oktober 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H