Mohon tunggu...
Hironimus Galut
Hironimus Galut Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penikmat Kata. Merusak yang terbaik adalah hal yang paling buruk.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keadilan Restoratif dan Transisional dalam Usaha Mencapai Rekonsiliasi

14 Maret 2021   08:29 Diperbarui: 14 Maret 2021   10:08 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2.2.Rekonsiliasi

Istilah rekonsiliasi pertama kali digunakan dalam Gereja Katolik saat berhadapan dengan perpecahan historis dan kontemporer yang mendalam di Eropa. Rekonsiliasi bertautan dengan berbagai proses untuk meluruskan situasi yang tidak adil sekaligus kacau. Term rekonsiliasi ini kemudian diadopsi dalam bahasa publik, termasuk politik ketika berhadapan dengan permasalahan HAM berat masa lalu. Dalam hal ini, rekonsiliasi politik seringkali dihubungkan dengan upaya menetralisir kejahatan-kejahatan negara masa lalu. Dengan demikian, kata rekonsiliasi memiliki pengertian yang lebih dalam dari sekedar pengampunan, sebagaimana dipraktekkan dalam Gereja. Rekonsiliasi selalu berupaya untuk menciptakan perdamaian setelah terjadinya konflik. Selain adanya pengampunan, rekonsiliasi menghendaki adanya situasi damai dan perubahan ke arah yang positif-konstruktif agar peristiwa sebelumnya tidak terulang kembali.

Dalam nada yang lebih tajam, Arendt memposisikan rekonsiliasi sebagai satu-satunya cara paling tepat saat berurusan dengan kejahatan masa lampau, hal ini dikarenakan rekonsiliasi sanggup memunculkan konsep baru tentang solidaritas (Arendt, 1958, p. 237).  Dalam konsep ini, rekonsiliasi menjadi penting dalam suatu masyarakat yang selalu dihantui oleh sejarah buruk masa lampau. Konsep baru tentang solidaritas yang lahir dari suatu rekonsiliasi ini menjadi suatu gerakan perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, rekonsiliasi mampu meluruskan situasi yang tidak adil akibat peristiwa masa lalu. Tindakan ini tenju saja bertujuan untuk mengatasi dampak negatif dari persoalan masa lalu yang masih dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu pada masa sekarang.

III.Keadilan Restoratif dan Transisional sebagai usaha Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Falsafah lahirnya keadilan transisional dalam lintas ilmu hukum dan ilmu politik pada dasarnya untuk mewujudkan rasa keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Konsep keadilan transisional merupakan tuntutan dalam menjawab persoalan atau peristiwa hukum yang berkembang dengan jatuhnya suatu rezim utama, yakni rezim otoriter dengan menerapkan kekuasaan tidak berdasar atas nilai-nilai hukum dan demokrasi dalam suatu negara. Keadilan transisional (transisional juctice) dalam penyelesaian kasus HAM diselesaikan melalui prosedur yudisial misalnya lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional serta prosedur non yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Prosedur yudisial menitikberatkan pada keadilan retributif (retributive justice) dan prosedur non pengadilan melalui KKR lebih menitikberatkan pada keadilan restoratif (restorative justice). Pada titik ini, keadilan restoratif memiliki peluang yang sangat besar dalam wacana keadilan transisional. Bahkan, keadilan restoratif menjadi jalur yang kuat dalam upaya menyelesaikan persoalan masa lalu yang menjadi intensi besar dalam suatu pemerintahan transisi.

Prosedur non yudisial melalui jalur keadilan transisional dalam negara yang baru keluar dari rezim otoritarian atau represif dan mulai masuk dalam sistem demokrasi membutuhkan sebuah kesediaan total untuk mengelola pengalamanan buruk masa lalu secara eksplisit. Hal ini selalu didasarkan pada keinginan kuat untuk menata masa depan secara lebih baik dan matang. Ernest Renan menilai bahwa pembangunan sebuah bangsa sesungguhnya adalah bukan apa yang berakar pada masa silam melainkan apa yang dikembangkan di masa depan dengan membangun hasrat untuk bersatu padu dalam musyawarah di masa kini untuk berani berkorban demi terciptanya masa depan yang gemilang. Rekonsiliasi diibaratkan sebagai pisau bermata dua yakni forget dan forgive yang mengarah pada impunitas. Dalam konteks ini, stabilitas negara amat bergantung pada kedaulatan mutlak pada kepercayaan publik atas tatanan hukum. Dengan demikian, apabila berurusan dengan keadilan transisional, negara harus berani menatap sejarah masa lalu secara jujur sekaligus secara eksplisit mengungkapkannya dalam ruang yang terbuka.

Proses pengungkapan kejahatan di masa lalu itu bisa ditempuh pemerintah melalui pembentukan tim formil yang sering disebut KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Komisi ini hadir untuk mencari fakta yang alamiah (nature fact) atas kejahatan masa lalu tersebut. Selanjutnya, kehadiran sejarahwan dan akademisi sangat urgen untuk menerangkan secara logis melalui pola pikir yang sistematis tentang kebenaran dari berbagai kejahatan masa lalu. Selain itu, keterlibatan masyarakat umum dalam menangani problem kejahatan masa lalu menjadi sebuah keharusan, sebab mereka adalah dasar dan tujuan negara. Dengan demikian, upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam mengungkapkan kebenaran masa lalu merupakan sebuah reparasi menuju tatanan negara demokrasi yang lebih baik di masa sekarang dan untuk masa depan.

Pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang disebut juga sebagai mekanisme non pengadilan dengan cara mengungkapkan kebenaran dan permintaan maaf pelaku, serta pemulihan terhadap korban menjadi langkah konkret menciptakan perdamaian. Berbeda halnya dengan cara pencapaian keadilan di luar proses pidana yang cirinya melakukan pembalasan. Keadilan restoratif memposisikan pihak-pihak tidak secara terpisah namun secara bersama-sama tentunya berupaya menjalin hubungan yang harmoni dan tidak terpecah bela. Proses keadilan restoratif mengarah pada penyelesaian masalah antar pihak dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Hasilnya integrasi pelaku di satu sisi dan korban serta masyarakat di sisi lain sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi dan hubungan baik dalam bermasyarakat. Dalam hal ini pendekatan keadilan restoratif tidak saja berfokus pada pelaku, akan tetapi lebih berfokus pada kepentingan dan kebutuhan korban.

Proses pengungkapan kejahatan masa lalu pernah dilakukan secara simbolik oleh Kanselir Jerman, Willy Brandt ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Polandia. Ia meletakan karangan bunga di tugu pemberontakan Warsawa. Selanjutnya, ia melakonkan adegan yang tidak lazim, yaitu membungkukan kepala sebagai tanda hormat, lalu berlutut. Tidak mengherankan, tindakan yang tak terdugakan sebelumnya ini segera menjadi sumber perbantahan. Mark Edelmann, salah seorang yang selamat dari peristiwa pemberontakan di Warsawa, berbicara atas nama rekannya yang lain. Dia menerangkan bahwa aksi itu merupakan suatu tindakan yang mulia. Belajar dari gerak isyarat ini, orang-orang Jerman terdorong secara moral untuk menghormati para korban. Tindakan Brandt kemudian dilihat sebagai tindakan kolektif warga Jerman. Pada titik ini jelas bahwa pengungkapan kejahatan masa lalu bukan merupakan sebuah kebodohan atau penghinaan terhadap martabat pelaku. Brandt telah menunjukan pengungkapan simbolik yang menandakan kerendahan hati sekaligus penyesalan sebagai nilai humanis dan sebuah nilai moralitas tertinggi. Pengungkapan kesalahan sesungguhnya menunjukan bahwa pelaku menghargai kemanusiaan manusia.

Pada titik demikian, keadilan transisional dan restoratif memiliki keterkaitan satu sama lain dalam upaya mencapai rekonsiliasi. Keadilan transisional melalui lembaga KKR berusaha meneliti secara mendalam akar permasalahan HAM pada masa lalu. Sejurus dengan itu, keadilan restoratif hadir untuk melengkapi proses non peradilan dengan mengedepankan pemulihan dan tanggung jawab. Pengungkapan kebenaran dan tanggung jawab itu menciptakan iklim kedamaian dalam sebuah negara sekaligus menyembuhkan luka-luka yang dialami. Namun demikian, keadilan transisional dan restoratif yang menjadi kerinduan besar dari demokrasi untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan terhadap kesalahan masa lalu tersebut ternyata memiliki banyak tantangan dan kendala yang rumit. Tantangan itu justru muncul dari elite-elite pemegang kekuasaan atas motivasi kepentingan tertentu. Akibatnya, kehadiran mereka di kursi kekuasaan jauh dari intensi bonum commune. Kegagalan dalam mewujudkan keadilan transisional itu dengan sendirinya juga meruntuhkan serentak menutup pintu tercapainya rekonsiliasi.

Tantangan-tantangan itu bahkan lebih besar dari peluang. Hal itu dikarenakan, elite-elite politik yaitu penguasa yang sedang berkuasa seringkali ditemukan sebagai pelaku kejahatan. Atas dasar itu, mereka selalu berusaha membentengi diri melalui melalui modus jabatan di ruang publik. Tendesi buruk ini selalu berangkat dari nafsu untuk berkuasa yang didasari oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Selain itu, pembatasan ruang berinovasi bagi akademisi atau intelektual untuk mengekspresikan kemampuannya di ruang publik menjadi penghalang dalam usaha mengungkapkan kebenaran akan masalah masa lalu. Efek keberlanjutan dari kendala-kendala tersebut adalah terciptanya masyarakat minus nalar. Masyarakat seringkali pasrah dan menikmati kondisi ketertindasannya tanpa sedikit pun berjuang untuk keluar dari ketertindasan itu. Masih banyak masyarakat yang minim pengatahuan sejarah dan juga minus nalar, sehingga para elite dengan mudah melanggengkan nafsu bejatnya dengan memanfaatkan kelemahan dari masyarakat sipil itu sendiri. Seruan rekonsiliasi dari masyarakat sipil menjadi kehilangan arah dan tak kunjung terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun