II.Konsep Keadilan dan Rekonsilisasi
2.1.Konsep Keadilan
Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Seseorang tidak pernah menyebutkan atau mempersoalkan keadilan bagi dirinya sendiri, melainkan keadilan bagi orang lain. Keterarahan terhadap orang lain itulah yang menjadi hakikat dari keadilan. Lebih dari itu, keadilan tidak hanya terkait dengan pemberian hak, melainkan juga pengakuan atas nilai-nilai mendasar yang melekat di dalam diri seseorang seperti keunikan, pikiran, aspirasi serta segala kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya dan menghindari diri dari kesewenang-wenangan. Berdasarkan pemahaman itu, K. Bertens lalu merumuskan tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan. Pertama, keadilan tertuju kepada orang lain. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Ketiga, keadilan menuntut persamaan.
2.1.1.Keadilan Restoratif
Dalam perspektif historis, keadilan restoratif diperkenalkan pertama kali oleh Albert Eglash. Ia menerangkan keadilan restoratif sebagai pertanggungjawaban pelaku dalam memulihkan penderitaan korban dengan tidak mengesampingkan kepentingan rehabilitasi dari pelaku itu sendiri serta menjunjung tinggi iklim kesejahteraan bersama. Namun, jauh sebelum Albert Eglash menyatakan gagasannya, tradisi dan peradaban Yunani, Arab dan Romawi Kuno telah mengenal adanya keadilan restoratif bagi kejahatan nyawa. Begitupun dikalangan masyarakat Tao, Budha dan Konfusius sudah sejak lama memakai keadilan restoratif untuk menyelesaikan persoalan hukum mereka.
Selanjutnya, Wesley Cragg menghubungkan teori retributif atau pembalasan dalam hukum pidana dengan kemunculan keadilan restoratif. Dalam pemikirannya, teori pembalasan kurang begitu berhasil dalam menekan terjadinya kejahatan. Lebih dari itu, retributif juga tidak mampu memperbaiki kerugian yang dialami oleh korban. Dengan demikian, lahir sebuah upaya untuk mengubah paradigma dari pembalasan menuju pemulihan (restoratif). Dalam konteks ini, keadilan restoratif memandang pentingnya anggota masyarakat, khususnya korban untuk mendorong pertanggungjawaban pelaku terhadap kejahatan yang dibuat, pemulihan kerugian material dan emosional serta mendorong negosiasi untuk menyelesaikan masalah sehingga masyarakat terhindar dari konflik berkepanjangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka keadilan restoratif dapat dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah melalui jalur non pengadilan dengan menggunakan pendekatan intensional antara pelaku dan korban. Dalam keadilan restoratif, korban dan terdakwa menggelar pertemuan untuk saling bercerita mengenai problematik yang terjadi, membahas pihak yang dirugikan karena kejahatan dan selanjutnya bermusyawarah tentang hal yang harus dilakukan oleh pelaku untuk menebus kesalahannya. Dalam pertemuan ini kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Beberapa hal yang bisa dicapai yakni, pemberian ganti rugi kepada korban, permintaan maaf, atau tindakan-tindakan pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Melalui jalur ini, korban dan terdakwa bisa memperoleh jalan keluar yang konstruktif apabila keduanya secara ekplisit dan jujur menjelaskan persoalan-persoalan real yang terjadi.
2.1.2. Keadilan Transisional
Keadilan transisional sebenarnya telah digaungkan pasca Perang Dunia II di Eropa melalui pembentukan Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg serta berbagai program de-Nazifikasi di Jerman dan persidangan tentara Jepang di Pengadilan Tokyo. Dalam Pengadilan Nuremberg, pasukan sekutu yang menang memperluas peradilan pidana kepada tentara Jepang, Jerman dan para pemimpin mereka atas kejahatan perang yang dilakukan selama perang. Hal inilah yang menandai awal mula munculnya keadilan transisi. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dan 1980-an keadilan transisional fokus pada promosi hak asasi manusia. Hal ini mengarah pada konteks global dan kebangkitan rezim hak asasi manusia secara progresif yang berpuncak pada pembentukan hukum dan konvensi hak asasi manusia internasional.
Penekanan keadilan transisi terhadap pelanggaran hak asasi manusia saat itu hanya fokus pada penuntutan hukum dan pidana. Akibatnya, literatur awal tentang keadilan transisi didominasi oleh pengacara, hukum, dan hak hukum. Namun, pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an terjadi pergeseran fokus keadilan transisional. Keadilan transisional kemudian muncul sebagai bidang studi baru dalam demokratisasi. Dalam hal ini, elemen keadilan transisional telah memperluas cetakan awal yurisprudensi pasca perang. Kerangka keadilan transisional telah mendapatkan keuntungan dari para aktivis demokrasi yang berusaha untuk mendukung demokrasi yang masih muda dan menyelaraskannya dengan kewajiban moral dan hukum yang diartikulasikan dalam konsensus hak asasi manusia internasional. Salah satu inovasi khusus adalah munculnya komisi kebenaran untuk menyelesaikan persoalan berat masa lalu.
 Bertitik tolak pada sejarah di atas, maka keadilan transisional dapat dimngerti sebagai upaya penyelesaian palanggaran HAM berat masa lalu untuk menciptakan perdamaian serentak melahirkan bonum commune dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengalami transisi. Hal yang sama ditegaskan oleh Tosa Hiroyuki, seorang Profesor di Kobe University, bahwa keadilan transisional ditempuh untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokrasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial yakni, lewat Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi (KKR). Selain itu, Sekjen PBB memutlakkan pentingnya pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM atas tindakannya pada masa lampau untuk mencapai keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Dalam usaha mencapai tujuan mulia itu, sangat diperlukan adanya suatu proses yudisial maupun non-yudisial. Dengan demikian, keadilan transisional hadir sekaligus menyediakan ruang yang cukup luas untuk menyelesaikan berbagai problematik dari suatu sistem otoritarian menuju sebuah iklim politik baru yang disebut demokrasi.