“Ada apa ini?” kata seseorang dari belakangku, dia muncul begitu saja, sedetik kemudian aku mengenali sosok itu.
“Kamu…” ujarku dengan lemah.
“Maaf Pak, teman saya begitu ceroboh, dia membawa tidak melihat jalan, maafkan dia Pak.” katanya sambil menunduk dalam-dalam, orang itu segera pergi, tidak ingin menghabiskan waktu berdebat denganku, karena dia lebih mementingkan urusan perutnya.
“Terima kasih.” ujarku singkat setelah kerumunan orang yang melihati kami tadi sudah buyar. Dia tersenyum padaku.
“Kamu tidak usah berterima kasih. Kamu yang di lampu merah tadi kan?” Dia mengangkat alis sebelahnya, dia menyeret lenganku menuju kursinya, menyeret lembut, tidak ada kekerasan sedikitpun.
“Tapi, ayam gorengku…” Aku melihat ke arah ayam gorengku yang tergeletak di lantai. kotor sama seperti diriku. Tidak lama kemudian ayam goreng yang mengotori lantai sudah dibersihkan oleh bagian kebersihan restoran itu.
“Kamu makan saja ayam gorengku.” dia menyerahkan ayam gorengnya yang sepertinya masih baru dan tidak disentuhnya sama sekali. “Aku belum memakannya secuilpun. Makanlah!” dia menyodorkan nampannya ke hadapanku.
“Tapi, kamu?” aku merasa bersalah padanya.
“Setiap hari, aku bisa saja memakan ayam goreng itu, kapanpun aku mau, aku yakin, kamu pasti lebih menginginkannya daripada aku.”
Aku tertunduk lemas. “Terima kasih sekali lagi. Aku sudah merepotkanmu hari ini.”
“Kamu bukan suatu hal yang merepotkanku. Aku senang bisa membantumu…” katanya pelan. “Cuci dulu tanganmu sebelum makan, lalu kembali lagi ke sini.”
“Siap boss!” aku secepat kilat berlari ke arah wastafel dan mencuci tanganku dengan sabun. Lalu kembali lagi ke tempatku, terlihat dia sedang memainkan ponselnya. “Sebelum tanganku kotor, kenalkan namaku Claus, lebih lengkapnya Stuart Claus.” aku menyodorkan tanganku yang sudah bersih, masih basah di beberapa sisi. Dia meletakkan ponselnya dan membalas jabatan tanganku.