"Sangat disayangkan juga bahwa kita tidak bisa menjelaskan secara akurat mengenai sejarah perkembangan teori musik tradisional Indonesia karena minimnya informasi dan bukti-bukti sejarah."Â
Di zaman modern, nada-nada yang digunakan berbagai musik tradisional Indonesia dicoba untuk dikomparasi dengan nada-nada yang dimiliki teori musik barat. Hasilnya, jelas tidak sama. Kegiatan komparasi (perbandingan) ini dilakukan juga antara musik barat dengan musik-musik tradisional bangsa lain seperti Asia, Afrika dan Timur Tengah. Hasilnya, juga tidak sama.
Para ahli kemudian menemukan letak perbedaannya, yakni nada-nada musik tradisional bangsa-bangsa menggunakan frekuensi yang berbeda, walaupun ada nada-nada yang mendekati frekuensi yang sama dengan nada musik barat.
Selain itu, interval (jarak antara nada satu dengan yang lain) yang digunakan musik-musik tradisional lebih kecil dibandingkan dengan nada-nada musik Barat.
Contohnya seperti nada-nada scale Pelog dari Gamelan berbeda dengan musik Barat, kita hanya bisa mendapatkan perkiraannya saja:
"Intermezzo: Sebenarnya istilah Microtonal diambil dari sejarah perkembangan teori musik Barat juga, namun sekarang, istilah ini lebih condong untuk menjelaskan musik-musik tradisi."
Contoh musik tradisional yang merupakan musik Microtonal
Banyak. Contohnya musik Gamelan Bali, Gamelan Jawa dan musik Karawitan Sunda. Itu semua berbeda dengan teori musik Barat. Ukuran interval yang digunakan adalah Cent; berbeda dengan teori musik Barat yang menggunakan istilah Semitone.
Lain halnya dengan musik-musik tradisi Batak. Sebelum bangsa Barat (Portugis) masuk, musik Batak juga diduga kuat memiliki sistem nada Microtonal. Namun di masa kolonial Belanda, masyarakat Batak mulai beradaptasi dengan musik Barat tanpa menghilangkan jalur ciri khas budaya Batak.
Sehingga musik-musik tradisi Batak sudah menggunakan tangga nada Pentatonic yang diadopsi dari Barat sejak lama. Tapi tetap, masyarakat Batak memainkan musik dengan caranya sendiri, cara budaya orang Batak, sampai saat ini.