Selain proses pembuatannya yang runut, batik juga mengandung filosofi dalam motifnya. Menurut Wiyoso Yudoseputro, ornament yang sering digunakan di dalam batik mempunyai lambang tertentu. Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung. Lidah api melambangkan kekuatan. Baito (perahu) melambangkan air dan kehidupan di air. Burung melambangkan alam atas atau udara. Pohon melambangkan alam tengah. Kupu-kupu melambangkan alam atas. Pusaka melambangkan kegembiraan atau ketenangan. Garuda melambangkan  matahari atau pusat kekuatan.
Sri Sultan Hamengku Buwana X menyebutkan bahwa sejak lahir menjalani hidup di dunia hingga meninggal diselimuti dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan khususnya dalam lingkungan keluarga. Sri Sultan juga menyebutkan bahwa seni batik bukan sekedar untuk melatih ketrampilan melukis dan sungging, tetapi sesungguhnya pendidikan etika dan estetika bagi wanita zaman dahulu. Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran hidup masyarakat.
Selain itu batik juga punya makna dalam menandai peristiwa penting dalam kehidupan budaya Jawa yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai etis dan estetis dalam berpakaian. Pepatah Jawa mengatakan "Ajining Diri Saka Lati Ajining Raga Saka Busana" . Kehormatan diri terletak pada ucapan, kehormatan raga terletak pada pakaian.
Sebagai busana, kain batik digunakan sebagai jarit, sarung, kemben (penutup dada). Sebagai busana tambahan batik digunakan sebagai selendang pundak, selendang gendongan, serta iket atau udheng (ikat kepala). Selain itu, ada kain batik yang digunakan sebagai busana upacara baik di keratin maupun di luar keraton.
Alat peraga
Budaya Jawa terkenal memiliki banyak upacara adat. Batik dalam berbagai upacara adat merupakan salah satu alat peraga untuk menjelaskan berbagai makna kehidupan. Â Mitoni, salah satu tradisi untuk mendoakan kelahiran bayi menggunakan tujuh motif batik sebagai alat peraga untuk menerangkan makna hidup.
Pertama, motif sidomulyo. Melambangkan kemuliaan dan kemakmuran. Ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai kemakmuran perlu diawali dulu dengan kemuliaan. Hidup mulia akan mendapatkan bonus dari Tuhan Yang Maha Esa berupa kemakmuran untuk negara dan kesejahteraan untuk rakyat.
Kedua, motif sidoluhur. Mengajak manusia untuk menjaga keluhuran budi pekerti. Budi pekerti harus dibiasakan bahkan sejak dalam kandungan pun orang tua  sudah mendoakan agar sang bayi ketika menghirup udara dunia  pertama  kali sampai akhir nanti tetap menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti.
Motif sidoluhur diciptakan Ki Ageng Henis, kakak Panembahan Senapati pendiri Kerajaan Mataram Islam, serta cucu dari Ki Ageng Selo. Konon motif ini dibuat khusus untuk anak keturunannya. Harapannya, agar si pemakai selalu ingat untuk berhati dan berpikir luhur sehingga dapat berguna untuk masyarakat.
Ketiga, motif sidoasih. Menyeru manusia untuk  hidup dengan mengusung bendera welas asih. Mengasihi sesama manusia sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Menjauhi sifat dengki yang menjadi sumber kebencian dan amarah kepada sesame manusia. Ironisnya, saat ini komunikasi yang ada di media social sering didominasi oleh rasa dengki dan benci karena berbeda bendera partai, bendera idola, bendera calon kepala daerah dan bendera lain yang menjadi sumber permusuhan.
Keempat, motif sidomukti. Melambangkan  kebahagiaan. Mengandung harapan besar bagi sang jabang bayi agar tetap menempuh jalur kebahagiaan hakiki bukan kebahagiaan semu yang selalu menggoda untuk menghalalkan segala cara. Kebahagiaan bukan bersumber pada kemewahan dunia melainkan bersumber pada pengabdian secara total kepada Pencipta Alam Semesta.Sidomukti memiliki filosofi lebih dalam, bukan hanya harapan-harapan agar mukti, mulyo, dan sebagainya tetapi juga mengungkapkan keseimbangan atau harmoni..