Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Falsafah Hidup dari Batik Indonesia

11 Maret 2018   13:59 Diperbarui: 11 Maret 2018   16:58 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut situs resmi Kementerian Perindustrian RI, nilai ekspor batik Indonesia sepanjang tahun 2015 lalu telah menembus angka 3,1 miliar dollar AS atau mencapai hampir Rp 41 triliun. Angka ini merupakan kenaikan 6,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun pasar ekspor utama batik Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan terus meluas. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, pertumbuhan itu tidak terlepas dari adanya pengakuan UNESCO yang mengukuhkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanityasal Indonesia, pada 2 Oktober 2009 lalu.

Pertumbuhan batik juga ditopang antusiasme masyarakat untuk menggunakan batik, baik dari pegawai pemerintahan, BUMN ataupun swasta serta masyarakat secara luas dari berbagai kalangan dan usia, sehingga meningkatkan permintaan produk batik yang mendorong tumbuhnya industri batik nasional. Namun demikian, Menperin mengingatkan saat ini yang perlu diwaspadai adalah persaingan dengan Malaysia, China dan Singapura yang juga telah memproduksi batik.

Batik adalah budaya asli Indonesia. Asti Musman dan Ambar B Arini (2011) mengungkapkan bahwa agar bisa dimengerti, kebudayaan harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk indrawi, difungsikan, dan dimaknai secara spiritual. Makna budaya dapat membuka suatu cakrawala bila manusia mampu menempatkan diri (grewes, Jawa). Salah satu wujud kebudayaan itu adalah batik. Batik di Indonesia merupakan suatu keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak  2 Oktober 2009. Sejak itulah, tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik di tanah air.

Berdasarkan etimologi dan terminologinya, batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik.  Mbat dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau berarti melempar berkali-kali. Sedangkan tik berasal dari kata titik. Jadi, membatik berarti melempar titik-titik berkali-kali pada kain. Sehingga akhirnya bentuk-bentuk titik tersebut menjadi garis. Menurut seni rupa, garis adalah kumpulan titik-titik. Selain itu, batik juga berasal dari kata mbatyang merupakan kependekan dari kata membuat, sedangkan tik berarti titik.

Pelukis batik, Tulus Warsito, mengungkapkan setidaknya ada dua pengertian batik. Pertama, batik merupakan teknik tutup-celup dalam pembentukan gambar kain, menggunakan lilin sebagai perintang dan zat pewarna bersuhu dingin  sebagai bahan pewarna desain pada katun. Kedua, batik adalah sekumpulan desain yang sering digunakan  dalam pembatikan pada pengertian pertama, yang kemudian berkembang menjadi ciri khas desain tersendiri walaupun   desain tersebut tidak lagi dibuat di atas katun dan tidak lagi menggunakan lilin.

Menurut Prof. Dr R.M Sutjipto Wirjosaputra sebagaimana dikutip Adi Kusrianto (2013),  sebelum masuknya kebudayaan bangsa India yang dibawa pedagang dari Gujarat  ke pulau Jawa, berbagai daerah Nusantara ini telah mengenal teknik membuat "kain batik". Beberapa literatur yang ditulis  oleh para budayawan mengistilahkan periode ini sebagai "batik primitif".  Nenek moyang pada masa itu membuat hiasan pada kain dengan teknik perintang warna dengan menggunakan bahan-bahan yang dikenal pada zamannya.

Banyak kain yang diproses menggunakan teknik perintang warna di Nusantara. Misalnya, di Sumatera Selatan, di zaman Sriwijaya, di Banten, pada zaman Tarumanegara. Mereka membuat pola ragam hias batik menggunakan pasta yang terbuat dari tepung ketan maupun sejenis getah yang digambarkan di atas sehelai kain menggunakan kuas dari stik bambu. Sebagai pewarna merah mereka menggunakan akar pohon mengkudu yang dikuwaskan ke permukaan kain yang tidak tertutup oleh pasta ketan.

Sementara  penggunaan  malam baru dikenal di Nusantara sekitar abad ke -- 10 dengan ditemukannya malam.  Penggunaan pasta ketan dan getah digantikan dengan malam yang lebih tahan air. Namun, penggunaannya masih menggunakan kuas dari bambu. Sementara penggunaan canting untuk menggoreskan cairan lilin baru dikenal di Pulau Jawa, tepatnya di Kediri, Jawa Timur, pada abad ke -- 12.

Hal ini dikemukakan oleh arkeolog Belanda G.P Rouffaer, yang juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah ada pada abad ke 12 di Kediri. Ia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting yang kita kenal sekarang. Sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Istilah "batik" atau "hambatik" baru digunakan dengan jelas pada Babad Sengkala yang ditulis pada tahun 1663 (abad ke 17 ) dan juga pada Hikayat Panji Jaya Lengkara yang ditulis pada tahun 1770 (Anshori, Kusrianto, 2011).

Batik dalam masyarakat Jawa memang tidak terlepas dari ajaran filsafat Jawa yang secara tersirat menjelaskan hubungan mikrokosmos, metakosmos, dan makrokosmos. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari alam semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagad raya ini. 

Metakosmos yang biasa disebut "mandala" adalah konsep yang mengacu pada dunia perantara antara manusia dan pencipta semesta (Tuhan). Sementara itu, mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam diri manusia. Motif-motif batik klasik mengandung beberapa arti bagi orang Jawa. Motif pada batik harus mampu memberikan keindahan jiwa. Susunan ornamen dan tata warnanya harus mampu memberikan gambaran yang utuh tentang kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun