Malam kian dingin membuat mereka sedikit menggigil.
"Tidak adakah minuman hangat buat kami?"
"Buatkan keinginan mereka", perintah seorang kapten. Dia menunjuk anak buahnya.
Sebelas orang pesakitan itu ditempatkan pada suatu rumah dengan kepungan rapat, sebelum nantinya diangkut dengan truk menuju suatu arah. Meringkus mereka membutuhkan waktu hingga lika-liku penyergapan. Sutan menyeruput minuman panas dari cangkir blirik. Ditiupnya pinggiran cangkir. Ada perasaan lega ketika cairan itu disesap lidah sebelum menyisir tenggorokan. Pikirannya menerawang menyibak kabut hidup.
"Bagaimana Djaenah dan anak-anakku?". Tatapan anak sulung dari tujuh bersaudara beradu nanar dengan dinding retak bangunan. Pikirannya menaik menggulat impresi. Jemari tangan menyugar rambut ikalnya sampai di tuntun pada tengkuk, kemudian dia pijit-pijit. Suara binatang malam menggerik menambah suasana tertekan kelam. Dia menunggu kejadian selanjutnya. Pikirannya berkecamuk di penuhi fragmen-fragmen kilas balik. Al Kitab penuh coretan pemberian kawannya ketika menempuh studi di Leiden dipegang erat, seerat keyakinannya pada langkah perjuangan. Mencoba membuka lembaran-lembaran untuk menatap firman Tuhan.
"Jangan kau paksa matamu menyisir kalimat-kalimat itu". Seorang diantara mereka mengingatkan dirinya. " Tidak baik buat penglihatanmu, Mir. Tak ada sinar terang"
Diluar, keheningan membeku.
"Kita tidak tahu nasib kita selanjutnya, bung. Sebagai seorang Kristen, aku hanya mencoba menjalankan ajaran agama sesuai kitab yang saya pelajari". Amir mencoba menjelaskan.
"Aneh. Bagaimana mungkin seorang Kristen menjadi komunis?"
"Bagaimana pula seorang muslim yang sudah menjalankan ibadah haji menjadi pengurus partai komunis?"