Pukulan ganda menciptakan robekan disudut bibir. Darah menetes. Gigiku goyah. Sialan! Aku tak terima. Balasan aku lesakkan bertubi-tubi. Jangkauan tanganku sanggup menyentuh muka Poleng. Ia geragapan, mundur terhuyung-huyung. Daya juangnya sungguh diacungi jempol. Kaki Poleng menjejak kuat. Ia menerjang kearahku. Sebelum perkelahian itu berlanjut, puluhan tangan menahan kami. Leherku tercekik krah yang ditarik paksa. Duel dipaksa redup.
"Uwis! Uwis!", Teriak kang Bani, "Gerangan ra nggenah!"Â
Degup jantungku memutar kencang. Napasku terengah-engah. Keringat bertimbulan. Tanganku masih gemetar. Keadaan Poleng sama saja. Semrawut. Corong matanya menyala. Kobarannya menyimpan gemeretak kebencian. Siap mengunyahku sehancur mungkin.
Perseteruan kami timbul sejak aku mengumbar kata Bajingan sebagai perlawanan. Itu dipicu kata sindiran yang ia dengung-dengungkan, "Profesorre teko"(profesornya datang). Poleng terkekeh, "Halo, Prof. Pintermu sepiro(seberapa)?"
Sejak aku membawa buku ketika jatah ronda, ia tidak suka.
"Agek iki, wong ronda nggowo buku. Padune ben dianggap pinter. Padahal pekok"Â (baru sekarang, orang ronda bawa buku. Seakan biar dianggap pinter. Padahal goblok)
Semacam itulah kalimat yang Poleng umbar. Aku tidak mengerti bahkan bingung, hanya karena buku omongannya bikin tensi membuncah.
"Dasar putu(cucu) bajingan", balasku sengit.
Darah Poleng naik, "Kowe ngomong opo? Coba balenono!" (Kamu ngomong apa? Coba diulangi)
"Dasar putu bajingan!", Teriakku kencang.