"Berarti, mbah Kabul kau tuduh bajingan?"
"Kenyataannya mbah Kabul memang bajingan", terangku.
"Ojo nggawe kisruh kampung iki, Yu". Margono naik darah. "Lambemu kepingin dikrau?"
"Lha, gimana sih kalian?". Aku tak habis pikir. "Kalau tidak percaya, tanya mbah Kabul"
"Jangan sok! Ayo temui mbah kabul". Ajakan mereka aku iyakan. Bergeraklah kami kerumah pembuat batu bata. Beliau menyambut kami sembari mempersilahkan duduk ditikar. Kami ungkapkan permasalahannya. Mbah Kabul mendengarkan dengan cermat sambil sesekali menyesep teh hangat.
"Wahyu benar", kata mbah Kabul, "Aku memang bajingan".
Para penggeruduk dibuat kelu, seperti paku digedor palu. Diam membisu....lama. Aku menaikkan dagu. Mulutku melancip. Tanda kemenangan tergenggam.
"Dari bajingan, simbah bisa menghidupi anak isteri". Kata-kata mbah Kabul seperti tebasan parang. Menjadikan muka mereka hilang.
"Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, kepiawaian, serta keahlian untuk menjadi bajingan", lanjut mbah Kabul. "Sebenarnya, anak-anak simbah, terutama Prapto-bapaknya Poleng-menyuruh agar berhenti jadi bajingan, tapi aku tolak". Omongan lelaki berumur 78 tahun menyihir sekumpulan.
"Aku tidak menyangka kalau mbah Kabul seorang bajingan", batin Margono.
"Dulu, profesi bajingan merupakan kebanggaan, karena dibutuhkan banyak orang", lanjut mbah Kabul.