"Uwis to", ucap mbah Kabul. Pria itu mencoba menengahi. "Wahyu benar"
"Pripun to, mbah? Wahyu kok dibela?". Margono melotot tidak terima.
"Dasar sumbu pendek", batinku
 "Kamu juga benar, Mar", sambung mbah Kabul.
 "Rasah ngeyel nek dikandani wong tuwo", kataku. Pandanganku bersitatap bengis. Margono bersiap meladeni.
 "Nek gelut neng kene tak keplak"(kalau berkelahi disini saya pukul), ancam Lik Tarjo.
"Orang Temanggung menyebut kudapan ini 'bajingan', sedangkan orang Solo sekitarnya memberi nama 'ande-ande lumut'. Paham?". Mata mbah Kabul menyiangi kumpulan wajah-wajah ketidaktahuan.
"Mosok bajingan?". Margono sakit hati, sangat tidak terima. Karena ibunya jika pagi hari jualan singkong berbalut gula jawa. Dia kuatir, kalau Wahyu membeli akan menyebut bajingan dengan intonasi keras. Dia minta dukungan.
"Kenyataannya memang begitu, Mar", kata mbah Kabul.
"Kalau tidak percaya, suruh ke Temanggung", kataku. Margono tambah meradang. Dia terpancing. Aku senang.
Mbah Kabul menatapku. "Sudah...sudah". Mata pembuat batu bata mengkode agar aku mengalah.